Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17 Kelinci Percobaan
Naomi melangkah penuh semangat menuju pantry kantor yang modern dan serba bersih itu.
Setelah bisikan instruksi dari Clara, dia merasa seperti agen rahasia yang mengemban misi penting. Membuat kopi untuk seorang Xander?
Ini pasti kesempatan emas untuk membuktikan kemampuannya.
Naomi membuka lemari, mengambil cangkir keramik paling mewah, dan mulai meracik. Dua sendok kopi, dua sendok gula, tanpa krimer.
Naomi memastikan airnya mendidih sempurna sebelum menuangkannya. Aroma kopi yang pekat langsung menyeruak, memenuhi pantry.
Naomi tersenyum puas. “Pasti Tuan Xander suka ini,” gumamnya yakin.
Dengan langkah mantap, Naomi membawa cangkir kopi itu ke ruangan Xander. Dia mengetuk pintu, menunggu izin masuk.
“Masuk!” suara Xander terdengar datar dari dalam.
Naomi masuk, meletakkan cangkir kopi di meja Xander dengan hati-hati. “Ini kopi Anda, Tuan.”
Xander mendongak dari dokumennya. Dia mengambil cangkir itu, menyesap sedikit, lalu mengerutkan kening.
Seketika, wajahnya langsung berubah masam. “Apa ini?” tanyanya, dengan dingin, nyaris seperti geraman.
Naomi terkesiap. “Kopi, Tuan.”
“Aku tahu ini kopi, Nona Naomi.” Xander menatapnya tajam. “Tapi ini bukan kopi.”
Xander meletakkan cangkir itu dengan sedikit keras, membuat Naomi tersentak.
“Ini terlalu pahit. Apa kamu tidak tahu cara membuat kopi?”
Naomi merasa tertampar. “Maaf, Tuan. Saya akan buatkan yang baru.” Dia buru-buru mengambil cangkir itu dan berlari kembali ke pantry.
Percobaan kedua, Naomi mengurangi sedikit porsi kopi. “Mungkin tadi terlalu banyak,” pikirnya.
Naomi kembali membawa kopi, dengan harapan kali ini Xander akan suka. Namun, hasilnya sama saja.
“Ini terlalu encer,” keluh Xander, bahkan sebelum Naomi sempat bertanya. Pria itu hanya menggelengkan kepala.
Naomi menggigit bibir. Dia kembali lagi ke pantry. Percobaan ketiga, keempat... Semuanya gagal.
Xander menolak mentah-mentah kopi buatannya, dengan alasan yang berbeda-beda. Terlalu manis, terlalu asam, terlalu dingin, terlalu panas.
Sudah lima kali Naomi mondar-mandir antara ruangan Xander dan pantry. Dia merasa frustasi. Keningnya berkeringat dingin.
“Memangnya selera pria menyebalkan itu kayak apa sih?” gerutu Naomi di pantry sambil mengacak rambutnya sendiri.
Naomi mengambil cangkir kopi yang kelima, yang baru saja ia buat. “Ini kan sudah pas, rasanya enak kok,” gumamnya.
Untuk memastikan, Naomi mencoba menyesap kopi itu. Matanya sedikit membelalak.
“Eh, enak banget! Aku kok baru tahu? Ternyata aku berbakat membuat kopi.”
Naomi menghabiskan sisa kopi itu dengan cepat, merasakan kafein menyebar di tubuhnya.
“Ini dia! Pasti Tuan Xander suka yang ini!” pikirnya penuh keyakinan. Dengan semangat baru, Naomi kembali membuat kopi yang keenam, persis seperti yang kelima yang baru saja ia cicipi.
“Tarik nafas, hembuskan. Jika dia masih tidak menyukainya aku akan menaruh racun di dalamnya!” gumam Naomi kembali ke ruangan Xander, membawa kopi yang keenam.
“Tuan, ini kopi yang keenam. Saya jamin, kali ini pasti pas!” ucap Naomi, nadanya sedikit terlalu percaya diri.
Xander mendongak, alisnya terangkat. “Keenam?” gumamnya mengambil cangkir itu. Xander melihat senyum lebar di wajah Naomi. “Kenapa kamu sangat yakin?”
“Karena saya sudah mencicipinya sendiri, Tuan! Rasanya enak sekali!” seru Naomi, wajahnya berseri-seri.
Xander langsung meletakkan cangkir itu kembali ke meja, matanya memicing menatap Naomi. Sebuah seringai tipis muncul di bibirnya.
“Jadi, aku ini kelinci percobaanmu, begitu?” tanyanya dengan nada dingin. “Ini pertama kalinya kamu mencoba kopi yang kamu buat untukku?”
Naomi terkesiap. Wajahnya langsung memerah padam. Dia tidak menyangka Xander akan menyadarinya. “Ti-tidak, Tuan! Bukan begitu maksud saya!”
“Oh, ya? Lalu kenapa baru sekarang kamu mencicipinya setelah lima kali gagal total?” Xander bersandar di kursinya, melipat tangan di dada, menatap Naomi dengan tatapan menyelidik.
Naomi menunduk, malu sekali. Dia tak bisa berkata-kata. Dia ingin sekali menghilang dari hadapan Xander saat ini juga.
“Kamu tahu, Nona Naomi.” Xander melanjutkan, suaranya sedikit mengejek. “Kopi ini... baunya sama dengan lima kopi sebelumnya yang gagal total.” Xander mendorong cangkir itu menjauh. “Dan aku tidak mau minum kopi yang sudah dicicipi orang lain. Apalagi kopi yang dibuat oleh asistenku yang baru belajar membuat kopi.”
Naomi mengangkat kepalanya, menatap Xander dengan kesal. “Tuan Xander! Saya tidak belajar membuat kopi! Saya sekretaris anda!” Dia merasa diremehkan. “Selera Tuan saja yang terlalu aneh!”
Xander tergelak pelan. Sebuah tawa yang jarang sekali terdengar di ruangan itu.
“Seleraku aneh? Atau kemampuanmu yang memang kurang?”
“Terserah Tuan saja!” Naomi memekik, dia sudah sangat kesal.
Naomi mengambil cangkir kopi itu dengan geram. “Saya akan buatkan yang terakhir! Kalau Tuan tidak suka juga, saya menyerah!”
Naomi berbalik, melangkah cepat keluar dari ruangan Xander, mengabaikan tawa pelan pria itu.
Xander hanya tersenyum tipis, menatap punggung Naomi yang menghilang di balik pintu. Xander tidak tahu kenapa, tapi melihat Naomi yang kesal dan panik seperti itu justru menghibur dirinya.
Sakit di kepalanya pun seolah sedikit mereda.
“Senang mengerjai mu gadis bar-bar,” batin Xander.