NovelToon NovelToon
PERJUANGAN PUTRI HUANG JIAYU

PERJUANGAN PUTRI HUANG JIAYU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam
Popularitas:27.8k
Nilai: 5
Nama Author: Athena_25

Putri Huang Jiayu putri dari kekaisaran Du Huang yang berjuang untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah membunuh keluarganya dengan keji.

Dia harus melindungi adik laki-lakinya Putra Mahkota Huang Jing agar tetap hidup, kehidupan keras yang dia jalani bersama sang adik ketika dalam pelarian membuatnya menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh.

Bagaimana kelanjutan perjuangan putri Huang Jiayu untuk membalas dendam, yuk ikuti terus kisah lika-liku kehidupan Putri Huang Jiayu.

🌹Hai.. hai.. mami hadir lagi dengan karya baru.
ini bukan cerita sejarah, ini hanya cerita HALU

SEMOGA SUKA ALURNYA..

JIKA TIDAK SUKA SILAHKAN DI SKIP.
JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR HUJATAN, KARENA AUTHOR HANYA MANUSIA BIASA YANG BANYAK SALAH.

HAPPY READING...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SUMPAH DI BAWAH FAJAR

Kuntum mawar di taman istana,

Layu disiram angin pengkhianatan.

Darah mengalir bagai sungai duka,

Mengikis senja, menyambut fajar nan muram.

Dua jiwa kecil bersembunyi lara,

Menyaksikan tahta hancur menjadi debu.

Dalam lorong gelap, satu sumpah terucap,

Dendam membara, menggantikan tangis yang raib.

Langit kelam menyimpan cerita,

Sebuah pelarian, sebuah pengintai.

Di ujung jalan, bahaya atau sobat?

Hanya waktu yang tahu akhirnya nanti.

🥭🥭🥭🥭

Istana Mawar

Jantung Xiao Lan berdetak kencang, bagai genderang perang yang memecah kesunyian malam. Setiap denyutnya menghunjam di tulang telinganya, mengalahkan derap kaki dan teriakan yang semakin mendekat.

Dadanya sesak, setiap tarikan napas terasa seperti pisau.

" Aku harus pergi, aku harus hidup" desisnya dalam hati, dipenuhi oleh bayangan tubuh Sang Kaisar yang roboh tak bernyawa. " Aku harus segera mengabari Yang Mulia Permaisuri dan yang lain!"

Dia berlari tanpa alas kaki, tanpa arah yang jelas, hanya mengandalkan naluri untuk menyelamatkan nyawa. Telapak kakinya yang halus, tak pernah tersentuh kasar bumi, kini tercabik oleh kerikil tajam dan pecahan marmer yang bertebaran.

Rasa pedih menyengat, tetapi itu tak ada artinya dibandingkan kengerian yang baru saja disaksikan matanya. Dia terus melesat, laksana rusa yang diburu panah, menyusuri koridor-koridor megah yang kini berubah menjadi labirin maut.

Napasnya tersengal-sengal, uapnya membubung putih dalam hawa dingin malam, menuju satu tujuan: Istana Mawar

Saat pintu istana Mawar terbuka, dia hampir terjatuh. Seorang dayang senior, Dayang Mu, langsung menegur dengan suara bergetar penuh amarah dan ketakutan.

"Xiao Lan! Di mana sopan santunmu? Berani-beraninya kau menerobos masuk seperti orang kalap!"

Xiao Lan tak peduli. Dia menjatuhkan diri ke lantai, berlutut dengan tubuh gemetaran.

" Celaka Yang Mulia! Istana... istana sedang diserang! Pangeran Kedua... dia melakukan kudeta! Dan Kaisar Huang Jinglong... dia..." Isaknya memutus ucapannya. Dia tak sanggup mengulang pemandangan itu. Darah. Begitu banyak darah.

Wajah Permaisuri Xu yang semula murka berubah pucat pasi. Namun, tak ada waktu untuk panik. Sebagai permaisuri, tulang punggung istana telah patah, dan kini dialah yang harus bertindak.

Matanya, yang biasanya lembut, menjadi tajam dan penuh kewibawaan.

" Dayang Mu, Dayang Li, Cepat! Bawa Putri Jiayu dan Pangeran Jiang ke tempat aman! Kabari juga para selir yang masih hidup! Cepat!" perintahnya, suaranya dingin bagai baja, meski tangannya yang terkepal gemetar halus.

"Tapi, Yang Mulia, Anda juga harus ikut bersembunyi!" protes Dayang Mu, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Permaisuri Xu menggeleng, senyum tipis dan getar menghiasi bibirnya. "Tidak. Aku akan tetap di sini. Aku adalah Permaisuri, dan Permaisuri tidak lari dari takdir. Jika aku harus mati, biarlah aku mati dengan kepala tegak."

Dia menatap para dayangnya dengan tatapan terakhir penuh makna. "Aku akan menemani suamiku, di mana pun dia berada. Sekalipun itu neraka."

Suara derap sepatu besi yang berirama dan menggetarkan lantai marmer menghentikan semua ucapan. Pasukan Jendral Lan Guo, sang pengkhianat, telah tiba. Mereka mengelilingi Permaisuri dan dayang-dayangnya bagai serigala mengelilingi mangsa.

"Salam Permaisuri," ucap Lan Guo dengan suara datar, tak ada hormat di dalamnya.

"Hamba diperintah untuk mengawal Anda menuju Istana Naga untuk menemui Kaisar Huang Rong."

Permaisuri Xu mendongak, menatapnya dengan pandangan penuh kebencian dan penghinaan. "Cih! Kau pikir aku akan menuruti ucapan pengkhianat seperti dia? Dan seperti kau?"

Suaranya meninggi, penuh tantangan.

"Kalaupun aku harus menjadi hantu penunggu Istana Mawar, aku tidak akan pernah tunduk kepada kalian para Bajingan!"

Lan Guo menghela napas palsu. "Jika itu keputusan Permaisuri, kami tidak punya pilihan lain." Pedangnya berkilat di bawah cahaya lampu, menghunus cepat. Sebuah garis merah menyayat udara.

Dari balik celah sempit pintu rahasia di balik tirai permadani, dua pasang mata menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Jiayu, putri sulung yang beranjak remaja, menutup mulut adiknya, Jiang, yang masih kecil. Tangannya yang lain menekan dada adiknya, merasakan detak jantung kecilnya yang berdebar kencang seperti burung yang terkurung. Napas mereka ditahan, dicekik oleh horror yang tak terucapkan.

Mereka melihat ibunda mereka, Permaisuri Xu, berdiri tegak sebelum akhirnya roboh. Mereka melihat Dayang Mu dan yang lain disayat tanpa ampun.

Darah, yang begitu merah dan berkilauan, mengalir di lantai marmer putih, membentuk pola-pola mengerikan yang akan terpatri selamanya dalam ingatan mereka.

Setelah para pembunuh itu pergi, meninggalkan keheningan yang lebih menyeramkan daripada keributan.

Kedua kakak beradik itu keluar dari persembunyiannya. Bau besi darah memenuhi udara, menusuk hidung.

"Ibunda... Ibunda... bangun!" Panggil Jiang, suaranya terisak. Dia berlutut, kecil dan rapuh di antara lautan darah, mencoba menggoyang-goyang lengan ibunya yang sudah kaku.

Jiayu, wajahnya pucat dan basah oleh air mata yang diam-diam mengalir, menarik lengan adiknya.

Suaranya serak, nyaris tidak terdengar.

"Jiang'er, Kita harus pergi! Sekarang, Ibunda... Ibunda sudah tiada."

"Tapi Jie-jie, kita tidak bisa tinggalkan ibunda seperti ini! Kita harus... harus memberinya penghormatan terakhir!" tangis Jiang, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kakaknya.

"Kita TIDAK BISA!" desis Jiayu, suaranya tiba-tiba keras dan penuh keputusasaan.

Matanya yang basah memancarkan ketakutan dan tekad. Dia menarik adiknya dengan paksa, menyusup ke balik permadani, dan masuk ke dalam lorong rahasia yang gelap dan berdebu. Pintu rahasia itu tertutup, memutus pemandangan mengerikan itu, meski bayangannya akan tetap hidup selamanya di benak mereka.

Jiayu menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemetar di tangannya. Pikirannya melayang ke beberapa waktu sebelumnya.

Dia teringat saat sedang asyik membaca buku di perpustakaannya, ketika seorang dayang dengan wajah penuh keringat, memberitahunya tentang serangan itu.

Dia teringat larinya yang panik menuju Istana Mawar, saat melewati Istana Anggrek. Pemandangan di sana jauh lebih mengerikan: mayat-mayat prajurit dan dayang berserakan, mata mereka kosong menatap langit-langit.

Dia memberanikan diri melihat ke dalam—dan menemukan Selir Yu Mihye tergeletak, masih memeluk erat putri kecilnya, Huang Minhyu, yang baru berusia tujuh tahun. Darah mereka telah menyatu. Saat itulah ketakutan terbesarnya menyergap: Ibundanya. Apakah dia masih selamat?

Namun, harapan itu pupus sudah. Dia dan adiknya telah menyaksikan sendiri akhir dari sang Permaisuri.

FLASHBACK OFF

Jiayu tidak tahu berapa lama dia terduduk diam di samping peti mati ibunya di ruang bawah tanah Istana Duyan yang sepi. Air matanya telah kering, meninggalkan rasa perih dan kosong. Kesedihan yang mendalam perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain: sebuah tekad yang membara, keras, dan dingin.

Saat fajar mulai menyingsing, menyelinap melalui celah-celah di dinding bagian atas, Jiayu tersentak.

Waktunya hampir habis.

Dengan gerakan cepat, dia merogoh lipatan bajunya dan mengeluarkan sebuah buku besar, sampulnya dari kulit yang halus dan diikat dengan tali rumit.

Buku itu berisi catatan-catatan rahasia transaksi gelap para pejabat istana yang berkhianat kepada rakyat, hal-hal yang tidak boleh diketahui siapapun. Dia meletakkannya dengan hati-hati di dalam peti, di samping jasad Permaisuri Xu.

"Dengarlah ibunda," bisiknya, suaranya rendah namun penuh dengan kekuatan besi yang baru ditemukannya.

" Kalian tunggu saja dari alam baka. Aku bersumpah, atas darah yang telah ditumpahkan dan kehormatan yang dinodai, aku akan membalaskan dendam untuk kalian semua. Huang Rong, Lan Guo... setiap pengkhianat akan membayar dengan nyawa mereka."

Sumpah itu menggantung di udara lembab, sebuah janji gelap yang akan menentukan jalan hidupnya selanjutnya.

Jiayu meninggalkan ruangan yang biasa di pakai untuk meletakkan peti-peti keluarga kekaisaran, menyelinap keluar dari Istana Duyan seperti bayangan.

Jiayu menyusuri jalan-jalan kecil di samping pagar, melompati selokan, dan bersembunyi di balik pepohonan setiap kali ada suara langkah. Pasar ibu kota yang biasanya ramai dan cerah kini terasa asing dan penuh bahaya. Setiap wajah terlihat seperti musuh.

"Aku akan beristirahat sebentar, sebelum kembali di desa Shenzhen," pikirnya, kakinya terasa lemas dan hampir menyerah. Dia kembali ke penginapan yang kemarin dia sewa untuk beristirahat.

Namun, dia tidak sadar. Sepasang mata telah mengawasinya sejak dia keluar dari pinggiran istana. Mata itu mengikuti setiap langkahnya, saat mengetahui Jiayu memasuki penginapan seseorang yang menatapnya melesat bagai anak panah.

Dari balik tumpukan barang di ujung kedai, seorang lelaki bertubuh tegap mengamati putri yang telah dikabarkan tiada. Matanya menyipit, mengenali meskipun wajah itu kotor dan penuh kesedihan.

"Putri Jiayu," gumamnya pelan, hampir seperti angin yang berhembus.

Dia berbalik dengan cepat, tubuhnya menghilang dalam keramaian pasar yang mulai ramai. Pikirannya bekerja cepat.

" Aku harus segera memberitahu tuan muda"

.

.

🌹Hai... hai.... Sayangnya Mami🤗

Siapakah " Tuan Muda" yang di maksud?

Apakah dia sekutu yang ditunggu-tunggu...Atau— Justru bahaya baru yang mengintai Putri Jiayu yang sudah terjepit?

Ikuti terus ceritanya yaaa🥰🥰

JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN DI SETIAP BAB, VOTE SERTA HADIAH YAAAA.

TERIMA KASIH 🥰🥰🥰

1
🖤⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘƳ𝐀Ў𝔞
wkwkwk tangannya borosss /Facepalm/
Jemiiima__
ling jun yuhuuuu
btw dia jd Sekutu atau musuh ya klo udh saling tau
Jemiiima__
sperti biasa linhao dengan celetukannya /Facepalm/
Jemiiima__
km pasti sengaja ya dufeng krn gamao kerja /Smug/
Jemiiima__
kerasa bgt vibes pesta rakyatnya 😍
Penapianoh📝
🤣🤣 lin hao sini duel klo lg gabut, bisa-bisanya hdup tenang malah nyari mslh
Penapianoh📝
ngk ngilu kah cabut anak panah yg nancap d dada itu😩
Drezzlle
Mungkin saat tadi Sia keceplosan, dan sekarang dia memainkan perannya lagi untuk berpura-pura
Drezzlle
Takut kalau ini jebakan ya, kan Jiayu
Avalee
Siaa wkk jiayunya ga enak lah, setelah semua yg terjadi. Mingkin bisa aja sih dia tendang kepala kau, tapi kan itu ga mungkin bgt 🤭😮‍💨
Avalee
Km ga salah denger, ak aja tau kok 🤭🤭
Septi Utami
kejahatan bukan karena niat kadangkala juga karena situasi yang membuatnya terjepit sehingga harus berbuat ''jahat"
bluemoon
pasti brisik tapi walaupun brisik orang seperti juga pasti seru
Mutia Kim🍑
Sini biar kepala kau saja yg ku t*bas🤬
Mutia Kim🍑
Huwwaaa semoga mereka selamat😭
Lonafx
nah kalau ngerampok pejabat korup gini, ide bagus... hasilnya buat bantu rakyat yg menderitaa😆
Annisa Chairil
dia memang bangsawan Siaaaa. ih, cubit nih!
Annisa Chairil
hohoho, di jadiin model Tah. aku udah suuzon aja
Annisa Chairil
sia ini beneran nggak ada takut²nya ya
Mouzza Abirama
Prajuritnya ditusuk lu yan kah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!