Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Pagi datang dengan cahaya tipis yang menyusup melalui tirai jendela. Udara kamar masih dingin, namun ada kehangatan yang mengalir di punggung Alya. Begitu matanya terbuka, ia menyadari alasan hangat itu. Reihan. Pria itu memeluknya dari belakang.
Lengan kokoh pria itu melingkari pinggangnya, dadanya menempel erat di punggung Alya. Nafasnya terdengar teratur, namun ada berat tertentu yang terasa di sana, seolah ia enggan melepaskan.
Alya berniat untuk bangun, tapi pelukan itu justru semakin erat. Dengan suara serak khas orang baru bangun, Reihan berbisik di telinganya.
“Biarkan seperti ini… sebentar saja,” ucapnya sambil merapatkan tubuhnya lebih dekat, lalu menyelipkan wajahnya di sela helaian rambut Alya.
Alya terdiam. Ada rasa canggung, tapi juga anehnya, ia tidak menolak. Pipinya memanas tanpa ia sadari, dan detak jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri. Ia tidak tahu kenapa, tapi pagi ini ia membiarkan pelukan itu bertahan.
Usai sarapan, Alya duduk di meja makan sambil menyesap teh hangat. Reihan, yang baru saja meletakkan sendok, memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“karena hari ini libur. Bagaimana kalau kita keluar?” tanyanya.
Alya menoleh, sedikit ragu. “Ke mana?”
“Kemana saja kamu mau. Anggap saja kita sedang honeymoon.”
Nada suaranya santai, tapi matanya menatap dalam, seperti mencoba menyampaikan maksud yang tak terucap. Alya mengangguk pelan, tanpa banyak komentar.
...
Pantai menjadi tujuan pertama mereka. Sore itu cerah. Ombak bergulung, angin laut berembus, membawa aroma asin yang khas. Alya melepas sandalnya, melangkah pelan ke arah tepi air. Gaunnya ia angkat sedikit agar tidak basah, sementara matanya terpaku pada hamparan biru yang luas di depannya.
Reihan berdiri agak jauh, matanya mengikuti setiap gerakan Alya. Ia mengeluarkan ponselnya dan, tanpa suara, ia mengabadikan momen itu.
Klik.
Alya menoleh cepat. “Kamu memotret ku, ya?”
Reihan pura-pura sibuk memandang layar ponselnya, sambil tersenyum nakal.
“Hah? Nggak, ini cuma foto lautnya.”
“Bohong. Coba tunjukkan.” Alya berjalan mendekat, tangannya terulur.
Alih-alih menurut, Reihan justru berlari menjauh sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Kalau mau lihat, kejar aku!”
“Reihan! Serahkan!” seru Alya, setengah kesal setengah tertawa.
Pria itu berhenti mendadak di tepi ombak. Saat Alya hampir berhasil meraih ponselnya, ia malah mengangkat kamera dan memotret wajah istrinya dari jarak dekat.
Klik.
“Lihat? Ekspresi marah begini juga manis,” ujarnya sambil terkekeh.
Alya memalingkan wajah, mencoba menutupi rona merah di pipinya. “Kau menyebalkan.”
Reihan hanya tersenyum lebar, tapi hatinya terasa hangat. Andai setiap hari bisa seperti ini, batinnya.
Malamnya, mereka melanjutkan perjalanan ke pasar malam. Lampu warna-warni menghiasi langit, musik dari wahana bercampur dengan aroma jajanan yang menggoda.
“Mau coba bianglala?” tawar Reihan.
“Aku takut ketinggian,” jawab Alya cepat.
“Tenang, aku di sebelahmu,” sahutnya, menatap dengan keyakinan yang membuat Alya sulit menolak.
Saat bianglala naik, Alya mencengkeram palang besi. Menahan rasa takut yang menghampiri dirinya. Reihan meliriknya, lalu tersenyum kecil.
“Lihat ke bawah. Pemandangannya indah.”
Alya ragu, tapi menoleh juga. Lampu kota berkilau seperti bintang.
“Cantik, ya?” tanya Reihan pelan.
“Pemandangannya?” Alya menatapnya.
Reihan menggeleng. “Kamu.”
Ucapan itu membuat Alya terdiam. Ia menunduk, mencoba mengabaikan rasa berdebar di dadanya.
Setelah turun, mereka mencoba permainan lempar gelang, membeli sate, dan berbagi es krim. Reihan sengaja menyuapi Alya sekali, membuatnya menatap dengan tatapan “aku benci ini tapi diam-diam senang”.
Di penghujung malam, kembang api meledak di langit. Alya mendongak, matanya berbinar, bibirnya tersenyum tanpa ia sadari. Reihan tidak memandang kembang api, matanya tertuju pada Alya, merekam momen itu lebih dalam dari sekadar foto.
Dalam perjalanan pulang, suasana mobil terasa tenang. Alya bersandar pada kursi, memandangi lampu jalan yang berganti-ganti. Reihan fokus pada kemudi, tapi sesekali meliriknya.
Bagi Alya, hari ini terasa aneh. Ada jarak yang biasanya memisahkan mereka, tapi entah kenapa, jarak itu sedikit mengendur. Dan ia tidak tahu harus senang atau takut.
Bagi Reihan, ini bukan sekadar jalan-jalan. Ini adalah langkah kecil untuk mendekatkan hati istrinya, meski ia sadar, butuh waktu lebih dari sehari untuk benar-benar meruntuhkan dinding yang memisahkan mereka.