Nadin sangat mencintai Andrian. Seorang Dokter tampan yang memiliki sejuta pesona. Namun, ia juga tahu. Bahwa Andrian adalah seorang duda beranak satu.
— Adult 18+
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon auzuzah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 25
“Kamu gapapa? ”
Azka menggeleng kecil, bibirnya membentuk seulas cengiran menggemaskan. Nadin terkekeh manis, lalu ia angkat tubuh Azka dalam gendongannya. Hanya sebentar, karena setelah itu, Nadin membawa duduk Azka dalam pangkuannya di bangku taman.
“Azka ko bisa sendiri sih? ” tanya Nadin bingung sambil mengusap rambut ikal Azka yang berwarna hitam pekat.
“Azka bosen abisnya. ” jawab Azka mengerucutkan bibirnya. Nadin menarik bibir Azka yang maju, dengan gemas.
“Soalnya papa sibuk. Katanya cuma satu jam aja, tapi ini udah lama banget. ” rengek Azka manja, mengadu pada Nadin.
“Utututututu, ciann bener anak kecill. ” rajuk Nadin mencoba untuk menghibur Azka. “Jangan cedih doong. Kan masih ada onty Nadiinn. ” lanjut Nadin gemas dengan tangan yang sudah beralih dari pipi, ke pucuk kepala Azka.
Azka tampak memberengut mendengar ucapan Nadin barusan. Nadin yang sedang mengusap rambut Azka lembut, menjadi terhenti saat anak yang ada di pangkuannya terdiam. “Apa sayang? ” tanya Nadin lembut, menyusuri alis tebal Azka dengan jempolnya.
“Kok manggil nya onty lagii. ” greget Azka tak suka. “Mama Nadin kan. bukan onty lagi. ” rengek Azka menggelengkan wajahnya.
Nadin menggigit bibir atasnya, ia bingung harus mengatakan apa. Di satu sisi, Nadin sendiri tak nyaman membiasakan dirinya untuk tidak ikut andil dalam kehidupan dokter andrian. Tapi di sisi yang lain Nadin harus berusaha melupakan dokter Andrian. Demi kelangsungan hidupnya, apalagi jika nanti Andrian sudah beristri.
“Mama Nadin kok diem sih. ” rengek Azka menarik narik ujung rambut Nadin. Nadin berada di posisi serba salah sekarang, apalagi saat Azka mulai meronta dalam pelukannya.
Nadin dilema, Nadin tak ingin mengingat Andrian lagi. Ia tak ingin berurusan dengan Andrian lagi, ia tidak ingin mengatakan apapun tentang Andrian. Untuk berucap saja, Nadin sulit mengatakan nya. Setiap saat mengingat Andrian, lidahnya seolah kelu. Dada nya sesak, bayang-bayang Andrian mengatakan bahwa pria itu mencintai yang lain. Selalu saja menjadi hantaman keras untuk perasaannya.
Bagaimana jika perempuan yang dicintai Andrian lebih cantik dari nya, lebih anggun dari nya. lebih...
Nadin menghela nafas, ia sudah bersikukuh untuk membiarkan Andrian dengan pilihannya. Tapi, Nadin juga tak tega, jika harus mengatakan hal sejujurnya untuk anak sekecil Azka.
“Mama Nadiin lupa sayang. Jangan di monyongin gitu dong bibirnya. Nanti cantik nya hilang...” rayu Nadin membujuk. Air yang sudah siap turun dari kelopak besar mata Azka. Kini sudah meluncur, saat anak itu tersenyum manis hingga matanya menyipit.
"Mama Nadin jangan tinggalin Azka...” cicit Azka menenggelamkan wajahnya di atas dada Nadin. “Kalau nanti mama Nadin udah nikah sama Papa, Azka engga bakalan di jauhin lagi sama temen-temen karena engga punya mama! ” pekik Azka polos dengan raut wajah sumringah.
Nadin sulit menjawab ucapan Azka yang bermakna dalam. Sungguh Nadin sangat tak terima jika bocah yang sudah ia anggap seperti anak sendiri, ternyata di jauhi oleh teman-teman nya karena tak memiliki figur seorang ibu.
Nadin usap punggung mungil Azka lembut. Lalu ia kecup berkali-kali pucuk kepala Azka dengan sayang. Bibirnya mendekat, mebisik kan dua kalimat yang terdengar sejuk dalam indra pendengar bocah kecil itu.
“Iya sayang... ”
bisik Nadin lembut. Azka semakin menyusupkan wajahnya, memeluk erat Nadin dengan tangan mungilnya. Nadin memandang lurus arah taman rumah sakit dengan dagu yang ia taruh di atas kepala Azka, siapapun yang berlalu lalang pasti akan mengira mereka adalah ibu dan anak yang sangat mengasihi.
Tanpa tahu bahwa diantara mereka berdua, tidaklah ada hubungan darah sama sekali.
...•••••...
Andrian merenggangkan otot-otot tangannya yang tampak tegang. Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Tak jarang di sepanjang perjalan, banyak sekali staff-staff rumah sakit, ataupun pasien yang menyapanya.
Tujuan utama nya kali ini, tentu saja masuk ke dalam ruangannya. Ia akan membawa Azka bermain di taman. Namun, saat Andrian ingin melangkah kan kakinya untuk masuk kedalam lorong di sisi kanannya. Matanya menangkap sesosok anak kecil yang mirip sekali dengan anak nya.
Jadilah Andrian langsung berlari keluar dari lobby samping rumah sakit. Saat kakinya akan sampai beberapa jengkal dari posisi anak yang ia yakini itu Azka. Andrian menjadi terdiam tak berkutik, melihat sesosok perempuan disana.
“Nadin. ” ujar Andrian nyaris tak terdengar. Wajahnya tak lepas dari pergerakan kedua orang yang sangat dekat. Bagaikan lem dan kertas. Susah untuk di pisahkan saat mereka sudah merekat.
Andrian terdiam sejenak, hingga beberapa saat. Matanya menunduk melihat arloji di pergelangan tangannya. Sudah jam makan siang Azka.
Saat Andrian sudah menyiapkan aba-aba untuk menghampiri kedua orang tersebut. Tiba-tiba Saja ponsel yang ada di saku nya berdering, hingga tanpa dia ketahui, kalau Nadin dan Azka sudah menoleh menatap Andrian, yang sekarang sedang memunggungi mereka berdua sambil menerima panggilan via suara.
“Halo? ”
“Tuan, jadi tidak makan siang dengan saya? ”
“Oh Asyilli. Aku hampir melupakan nya. ”
“Jadi tidak tuan? ”
“Tentu Asyilli. Aku akan meperkenalkanmu dengan anakku. ”
“Terimakasih banyak tuan. Aku tunggu kedatanganmu.. ”
Andrian putuskan sambungan telfon itu. Lalu ia masukkan kembali ponselnya ke dalam saku, tubuhnya memutar untuk mengajak Azka pergi. Namun, ia melupakan seorang perempuan yang juga ada disana.
“Azka , ayo pulang. ” titah Andrian berdiri di di hadapan Nadin yang masih memangku Azka dengan posisi terduduk.
“Enggak mauu. ” Azka menolak dengan menggelengkan wajahnya. Andrian menghembuskan nafasnya lelah, akan pekerjaan juga sifat keras kepala anaknya.
“Udah siang Azka. ” gertak Andrian semakin membuat Azka menyusupkan wajahnya ke dada Nadin.
Nadin yang awalnya bingung untuk melakukan apa dalam suasana seperti ini, menjadi terkekeh kegelian saat merasakan Azka menduselkan wajahnya di atas dada Nadin yang tertutupi kaos hitam. “Gelii Azkaa. ”
Rengek Nadin mengundang Azka yang semakin mendekapnya. “Mama Nadin. ” panggil Azka polos saat pelukan mereka sudah di renggangkan. “Dulu Azka engga pernah ngerasain susu dari mama. Azka penasaran deh hihihi. ” Azka terkikik lucu tanpa sadar dengan ucapannya.
Mata Andrian melotot mendengar tutur kata anaknya yang tak terduga. Sedangkan Nadin, wajahnya sudah seperti kepiting rebus saat mata Andrian, kini malah menuju ke pusat payudaranya. Segera Nadin halangi dengan tubuhnya yang memeluk Azka.
“Azka ayo pulang. ” seru Andrian dengan cepat. Lewat logatnya, Andrian sedang sangat salah tingkah sekarang. Namun, mudah untuk Andrian menutupi kegugupannya. Hanya dengan cara memasang wajah datar dan se garang mungkin.
“Udah jam nya makan siang Azka. ” Andrian kesal sendiri dengan Nadin yang diam saja. Ia raih pundak Azka berusaha menariknya dari pelukan Nadin. Namun, Azka menolak keras gapaian tangannya.
“Azka maunya makan sama mama Nadin. Engga mau sama papa. Papa galak! ”
Gerutu Azka merengek tak ingin. Andrian memijat pangkal hidungnya pusing. Nadin menggigit bibir bawahnya merasa kasihan, ia langsung bujuk Azka lewat kata kata lembut nya. “Sayang, makan siang dulu dong.. ”
“Kalau Azka engga makan siang, nanti Azka kapan gede nya?? Emang Azka engga mau bantuin mama, kalo mama lagi masak... ” ujar Nadin dengan wajah yang ia buat se sedih mungkin.
“Memang kalau Azka kecil, Azka engga bisa bantuin mama masak? ” tanya Azka dengan mata bulat, yang sepenuhnya menunggu jawaban dari Nadin. Nadin menganggukan wajahnya se-melas mungkin.
“Yaudah Azka mau makan deh. Biar Azka cepet gede.”
“Nah gitu dong. Itu baru anak mama!! ” pekik Nadin girang mencubit kedua pipi gembil Azka.
Andrian tercengang dengan jawaban Nadin. Namun, tak dapat di pungkiri Andrian sangat nyaman mendengar ucapan Nadin barusan. Segera Andrian ambil Azka dalam gendongan Nadin, seperti sengatan listrik, tubuh Nadin meremang saat tangan Andrian bersentuhan sekilas dengan tubuhnya.
Andrian sudah membalikkan tubuhnya ingin melenggang pergi. Namun, entah pikiran dari mana, Andrian balikkan lagi tubuhnya menghadap Nadin. Tanpa instruksi apapun, Andrian menatap wajah Nadin yang juga menatap nya.
“Bagaimana, kalau kita makan siang bersama? ”
Ajak Andrian mengangkat satu alisnya. Ayah dan anak itu tampak menunggu jawaban dari Nadin. Hingga, Azka terlonjak senang dalam gendongan Andrian ketika Nadin menganggukkan wajahnya.
Andrian tersenyum tanpa menyadari, bahwa keputusannya untuk membawa Nadin ikut makan siang akan menciptakan masalah besar.