Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Hari Penuh Luka
Air mataku lolos begitu saja membasahi pipiku seiring dengan Alleta yang turun dari pelaminan. Seketika aku benar-benar menyesali pernikahan ini.
Mimpi burukku pun dimulai.
Belum selesai ku mengatur kembali hatiku agar bisa tetap berdiri di sini, di sebelah Gaga, keributan terdengar di meja VIP yang diisi oleh keluarga kami. Aku bertanya ada apa kali ini, hingga aku melihat Om Haikal ambruk dari kursinya. Beliau memang tidak duduk di pelaminan karena kondisinya.
"Papa!" Sontak Gaga berlari menuju Om Haikal.
Sedangkan aku membeku mencerna apa yang terjadi. Tak sampai lima menit, ku dengar tangis Gaga pecah. Musik berhenti mengalun, para tamu kebingungan dengan apa yang terjadi.
Akhirnya aku baru bisa membawa kakiku melangkah saat melihat Om Haikal di bopong oleh beberapa orang. Pesta resepsi itu berubah mencekam bagiku, apalagi saat ambulans datang dan membawa Om Haikal. Ibuku menahanku saat aku akan naik ke ambulans. Katanya, aku tunggu saja di sini. Sedangkan Gaga ikut mendampingi sang ayah.
Hingga tak sampai setengah jam, kabar buruk itu pun sampai pada kami yang berada di gedung pernikahan. Om Haikal sudah pergi. Saat beliau jatuh dari kursinya, sudah dapat dipastikan beliau sudah tidak ada.
Kami semua berduka. Sakit sekali. Di hari seperti ini, Om Haikal malah meninggalkan kami semua.
Kemudian kami sudah berada di rumah. Segera aku menanggalkan gaun pernikahanku dan menggantinya dengan gamis berwarna hitam, juga kugunakan pashmina hitam untuk menutupi kepalaku.
Kemudian aku ke rumah Om Haikal yang sudah dibereskan sedemikian rupa agar bisa menampung para pelayat.
Semua berubah dalam waktu sesingkat ini. Kemeriahan itu berganti menjadi isak tangis. Terutama isak dari Gaga.
Ku hampiri suamiku itu. Mata dan hidung Gaga memerah. Sembab sekali. Ku dampingi ia yang terus menatap ke arah jasad sang ayah yang sudah terbujur kaku. Tak ada kata yang kuucapkan. Aku hanya duduk di sampingnya. Sebetulnya dalam hati aku ingin sekali memeluknya, atau minimal kuusap bahunya. Namun entahlah aku tak bisa. Tanganku urung melakukan itu.
Aku malah melihat Alleta duduk di sisi lain Gaga. Ia pun sudah mengganti pakaiannya. Tidak lagi menggunakan gaun mewah terbukanya, namun kini pakaian modis serba hitam melekat di tubuh tingginya.
Yang membuat hatiku kembali berdenyut nyeri, tiba-tiba Alleta memeluk Gaga. Mereka terisak bersama beberapa saat. "Ta, Papa...." isak Gaga.
"Sabar ya," lirih Alleta sambil terus menenangkan Gaga dengan menepuk punggungnya. Beberapa saat Alleta menjauh dan menggenggam tangan Gaga.
Peran seorang istri yang mendampingi suaminya yang tengah berduka, sudah diambil alih oleh Alleta.
Merasa kehadiranku tak diperlukan, aku pun pergi menuju rumah orang tuaku. Aku masuk ke kamarku dan menangis di sana sendirian.
Tak pernah aku merasakan semenyedihkan ini sebelumnya.
Dulu aku bisa terima jika Gaga tak menganggapku, mengabaikanku, karena aku tahu aku bukanlah siapa-siapa. Sedangkan sekarang, wajar rasanya jika aku merasa lebih nelangsa. Aku sudah memiliki Gaga, namun aku tetap saja diabaikan olehnya. Aku tak bisa menjadi sosok yang ia butuhkan bahkan dalam keadaan seperti ini.
Tiba-tiba pintu kamarku perlahan terbuka dan aku melihat ibuku menghampiriku.
"Ra, kenapa kamu malah di sini?"
"Sebentar aja, Bu," isakku. "Biarin aku di sini dulu."
Ibuku menghirup nafas simpati. "Ya udah. Ada Rita tuh, Ibu suruh ke sini aja gak apa-apa? Atau kamu mau sendiri dulu?"
"Gak apa-apa, Bu. Suruh ke sini aja," ujarku. Aku memang sedang ingin sendiri, namun aku tak enak. Rita sudah jauh-jauh datang dari Jakarta ke Bandung.
"Ra." Rita pun mendekat dan memelukku. "Sabar ya, gue ikut berduka cita atas meninggalnya mertua lo. Juga gue ikut sedih karena semua ini harus terjadi di hari yang seharusnya jadi hari paling bahagia buat lo."
"Makasih, Ta," ujarku.
Ada atau tidak kejadian ini, sepertinya hari pernikahanku ke depannya akan selalu dikenang sebagai hari yang menyakitkan bagiku. Dan kepergian Om Haikal ini membuat anniversary hari pernikahanku nantinya semakin tak layak untuk dirayakan.
"Tapi kenapa lo malah di sini? Kenapa malah si Alleta di sana bareng sama suami lo?"
"Gaga lebih butuh Alleta daripada gue, Ta," lirihku dengan hati penuh luka.