Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 — Jatuh dan Hampir Jatuh
Alana bergerak pelan. Entah sejak kapan tubuhnya berpindah ke atas ranjang, dengan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya. Yang ia ingat, tadi malam ia hanya pura-pura tidur di sofa. Tapi seiring waktu, ia benar-benar tertidur tanpa sadar.
“Eum...” gumamnya sambil melenguh pelan. Tangannya terulur, meraba sekitar, mencari guling untuk dipeluk. Namun justru saat itulah ia menyadari sesuatu yang janggal.
Ia—tidur di ranjang?
Mata Alana langsung terbuka lebar. Kesadaran datang secara tiba-tiba, membuyarkan rasa kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata. Ia buru-buru bangkit dan duduk tegak, lalu menoleh ke sekeliling kamar dengan cepat. Mencari sosok seseorang yang seharusnya masih berada di sana.
Kosong.
“Kemana Jendral? Kenapa dia pergi nggak bilang?” gumam Alana pelan sambil turun dari ranjang, langkahnya refleks menuju pintu kamar, berniat mencari Jendral ke lantai bawah. Tapi gerakannya terhenti saat matanya menangkap secarik kertas di atas meja nakas, terlipat rapi dan diletakkan seolah memang sengaja agar ia menemukan surat itu pertama kali saat bangun.
Alana melangkah pelan, mengulurkan tangan, dan membuka lipatan kertas itu. Tulisan tangan Jendral langsung menyambutnya.
"Sorry, gue pindahin lo ke ranjang semalem. Gue khawatir badan lo sakit kalau dibiarin tidur di sofa. Tapi gue berani jamin, semalem gue nggak macem-macem kok."
"Oh ya, gue pulang pagi-pagi banget. Gue masih harus bersiap buat ke sekolah. Makasih lo udah nampung gue dan khawatirin gue. Makasih juga udah mau jujur soal perasaan lo, gue seneng."
—J
Alana terdiam lama membaca bagian akhir dari tulisan di kertas itu—“makasih juga udah mau jujur soal perasaan lo, gue seneng.” Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuat napasnya terasa sedikit lebih berat.
Wajahnya memanas. Seketika, ingatan semalam menyeruak kembali—saat dirinya mendekatkan wajah, menatap mata Jendral dari jarak yang terlalu dekat, lalu menantangnya untuk membaca kejujuran di matanya.
“Gue beneran udah gila!” umpatnya sambil mengacak rambutnya sendiri, kesal pada dirinya sendiri.
Ia menjatuhkan diri kembali ke atas kasur, menutup wajahnya dengan bantal. Ini pertama kalinya ia seagresif itu terhadap lelaki—dan tentu saja, itu juga pertama kalinya ia mengungkapkan perasaan secara terang-terangan.
Rasa malu itu menumpuk, membungkus dirinya seperti selimut yang terlalu sempit untuk disingkap.
Tidak ingin terlalu lama terhanyut dalam pikirannya sendiri, Alana akhirnya bangkit dari ranjang. Ia melangkah menuju kamar mandi, berniat membersihkan diri—atau mungkin merendam tubuhnya sejenak di bathtub, berharap air hangat bisa menjernihkan pikirannya sebelum kembali menghadapi dunia luar.
Setelah selesai mandi dan mengenakan seragam putih abu-abunya, Alana berdiri di depan cermin. Ia memang bukan tipe perempuan yang suka berdandan, tapi rak skincare-nya penuh dengan produk mahal. Ia merawat wajahnya dengan serius, cukup hingga kulitnya tampak bersih dan segar tanpa perlu sentuhan makeup.
“Oke, Alana. Lo harus tenang. Bersikap seperti biasa,” ucapnya menasihati diri sendiri, menatap refleksi matanya di cermin.
“Lo pasti bisa. Jangan kelihatan banget kalau lo lagi jatuh cinta… atau baru aja nyatain perasaan ke cowok,” tambahnya, sambil mengepalkan tangan di depan dada, seolah menyuntikkan semangat untuk dirinya sendiri.
***
Mobil hitam yang mengantar Alana berhenti di tempat biasa—tak jauh dari gerbang sekolah. Sesaat kemudian, supirnya turun dan membantu menurunkan sepeda dari bagasi belakang.
"Makasih, Pak," ucap Alana sambil menerima sepedanya.
Pak Jono—ayah Nisya sekaligus supir keluarga yang sudah lama bekerja untuk mereka—mengangguk singkat. "Hati-hati, ya, Non," katanya sebelum kembali ke kemudi dan melajukan mobil perlahan meninggalkan tempat itu.
Alana mulai mengayuh sepedanya menuju sekolah, seperti biasa. Rutin dan tenang di luar, meski pikirannya masih sibuk memutar ulang kejadian semalam.
Setibanya di parkiran, mata Alana langsung menangkap keberadaan Jendral dan gengnya. Mereka duduk santai di atas motor masing-masing, sebagian dari mereka sedang merokok, tampak seperti biasa—cuek dan dominan. Hanya Mahen yang terlihat tidak memegang rokok. Ia memang menerapkan gaya hidup sehat, berbeda dengan yang lain.
“Haish, sial!” umpat Alana pelan, buru-buru memutar sepedanya menjauh. Ia memarkirkannya agak jauh dari tempat mereka nongkrong, berharap Jendral tidak menyadari kehadirannya.
Sayangnya, harapan tinggal harapan. Jendral sudah lebih dulu melihatnya. Bahkan ketika Alana berusaha memalingkan pandangan dan memutar arah, mata Jendral masih terpaku padanya.
Aska yang menyadari itu mengerutkan kening. “Kenapa Alana kayak ngindar gitu, ya?” tanyanya pelan. Meski mereka tidak dekat, tingkah Alana cukup mencolok.
Jendral tidak menjawab. Ia buru-buru menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya hingga padam, lalu berkata singkat, “Gue ke kelas duluan,” sambil melangkah cepat menyusul Alana.
Aska dan Dewa saling bertukar pandang—bertanya tanpa suara, ada apa sebenarnya? Tatapan mereka penuh tanda tanya. Namun, yang bisa mereka lakukan hanya mengangkat bahu bersamaan, tanda bahwa keduanya sama-sama tidak tahu apa-apa.
Berbeda dengan Mahen. Ia tidak bertanya apa pun, hanya diam memperhatikan interaksi Alana dan Jendral dari kejauhan. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bukan penasaran, lebih seperti mengamati dengan insting yang tajam.
***
Alana berjalan cepat menuju kelas. Kali ini bukan tatapan orang-orang yang ia hindari, melainkan tatapan Jendral. Ia tidak ingin Jendral menyadari kehadirannya. Meskipun percuma—mereka satu kelas, tetap saja ia ingin menghindar sebisa mungkin.
“Selamat pagi, Alana,” sapa Jendral, tiba-tiba sudah berada di sampingnya dengan senyum manis yang menyebalkan—dalam arti menyenangkan tapi membuat jantung berdetak tak karuan.
Alana terkejut dan refleks memegangi dadanya. “Ya ampun, ngagetin!”
“Buru-buru amat, mau ke mana sih?” goda Jendral, menyamakan langkahnya.
Alana ingin sekali kabur, tapi itu akan terlihat aneh. Jadi, dengan sisa harga diri yang ada, ia tetap berjalan di samping Jendral.
“Ke kelas lah, masa ke pasar?” balasnya datar, berusaha terlihat tenang meski jantungnya tidak.
Jendral tersenyum—manis, sangat manis. Setidaknya begitulah yang Alana lihat dari sudut matanya. Dan sialnya, senyuman itu sukses membuatnya lupa dunia. Pandangannya terpaku, pikirannya melayang, hingga kakinya nyaris tersandung oleh langkahnya sendiri.
"Eh, hati-hati," ujar Jendral cepat sambil sigap menangkap tubuh Alana sebelum ia benar-benar terjatuh.
Mata Alana membulat. Ia langsung menegakkan tubuh dan menatap ke depan, berharap bumi menelannya saat itu juga. "Sial, gue malu banget... sumpah," keluhnya dalam hati sambil menggigit bibir bawah, menahan rasa malu yang memuncak.
Tidak jauh dari mereka, berdiri Naresh bersama Nisya di koridor. Kebetulan yang terasa seperti tamparan bagi hati Naresh saat matanya menangkap momen kedekatan Alana dan Jendral barusan. Tatapannya tertahan, tapi luka di baliknya tak bisa disembunyikan.
“Kamu mau biarin Alana makin dekat sama Jendral?” tanya Nisya tanpa menoleh, pandangannya tetap lurus ke depan, ke arah dua orang yang kini berjalan berdampingan.