"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Sadewa memasuki ruang kantor pusat dengan langkah cepat, dia sudah disambut oleh suasana yang berbeda. Beberapa staf melihat layar besar di ruang lobi menampilkan berita utama dari berbagai media:
“Produk Makanan Instan Radema Foods Diduga Picu Reaksi Alergi—Satu Keluarga Mengancam Akan Menuntut.”
“Apakah Label Gizi di Indonesia Cukup Ketat? Kasus Radema Foods Jadi Sorotan.”
Sadewa menghela napas panjang lalu menghubungi Hendri. "Hendri, adakan rapat sekarang! Aku sudah sampai." Setelah memutuskan panggilannya, dia masuk ke dalam lift dan menuju lantai lima dimana ruang rapat berada.
Ruang rapat itu seperti ruang interogasi. Semua kepala tertunduk. Sadewa melangkah cepat masuk. Di meja tengah, ada beberapa bungkus sample produk makanan instan rasa udang krim pedas yang masih tersegel. Di sampingnya, laptop terbuka memperlihatkan catatan formula bahan dan notulen produksi.
"Siapa yang bertanggung jawab atas uji coba bahan ini?" tanyanya tajam.
Salah satu staf, Raka, mengangkat tangan perlahan. "Saya, Pak. Tapi semua bahan sudah diverifikasi supplier. Kami hanya tidak menuliskan kandungan ekstrak kacang tanah karena kadarnya sangat kecil."
Sadewa mengepal tangannya di sisi tubuh. "Kecil bukan berarti tidak berbahaya. Alergen tidak mengenal takaran!" Dia mengambil bungkus sampel dan membacanya satu per satu. Tak satu pun mencantumkan peringatan alergen spesifik. Tidak ada label ‘mengandung kacang’ atau ‘turunan seafood’ secara eksplisit.
"Saat kita meluncurkan produk makanan, tanggung jawab kita bukan hanya pada rasa dan tampilan. Tapi juga keselamatan konsumen! Bayangkan jika yang memakannya anak-anak atau orang tua yang tidak tahu kandungan detailnya. Kalian pikir siapa yang akan disalahkan?"
Semua terdiam dan suasana hening.
“Raka, kamu perbarui semua keterangan pada bungkus, kamu harus menunjukkan alergen secara detail dan cetak tebal. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Penilaian pada sampel sangat penting untuk produksi kita selanjutnya. Jika bermasalah seperti ini, otomatis supermarket tidak mau mengambil produk kita."
“Baik, Pak. Saya akan memperbaiki semuanya," jawab Raka.
“Lina, hubungi tim legal. Kirimkan permintaan maaf resmi ke pihak supermarket dan keluarga korban. Sertakan kupon kompensasi dan undangan pemeriksaan kesehatan gratis di klinik rekanan kita. Aku akan menulis surat pribadi ke masing-masing korban.”
"Baik, Pak, tapi pihak pengacara dari keluarga korban atas nama Ibu Melinda sudah mengirimkan surat tuntutan."
Sadewa menarik napas panjang. "Isi tuntutannya?"
"Mereka ingin kompensasi 500 juta rupiah untuk kerugian medis dan trauma psikologis yang diderita anaknya, serta permintaan agar produk Radema Foods ditarik dari semua rak supermarket hingga investigasi selesai."
"Media online terus menaikkan berita tiap jam. Ada spekulasi bahwa bahan baku kita mengandung zat pengawet yang tidak dilaporkan. Meski itu belum terbukti, citra kita sedang goyah," kata Toni, selaku kepala tim humas. "Ada pihak lain yang menggunakan celah itu untuk menjatuhkan kita. Sehingga berdampak pada produk yang lainnya. Banyak konten kreator yang mereview produk kita dengan ulasan yang buruk."
Sadewa mengangguk. “Kalau begitu, kita hadapi ini secara transparan.”
“Jadi kita akan adakan konferensi pers, Pak?” tanya Toni.
“Ya. Siapkan sesi terbuka hari ini juga. Tapi pastikan semua data internal kita solid. Aku tidak mau kita kelihatan defensif. Kita harus jujur, tapi juga tegas.”
Sadewa mengakhiri rapat hari itu. Dia keluar dari ruang rapat dan kembali ke ruangannya. Dia kini duduk di kursi kebesarannya dan membuka laptopnya untuk memantau saham perusahaannya hari itu.
Jelas saja, efek internal mulai terasa. Beberapa investor menarik dana sementara. Rapat dengan mitra distribusi dibatalkan. Dia punya banyak rival yang menunggu hal ini terjadi
Sadewa memijat pelipisnya sesaat. Beberapa jam yang lalu dia merasakan kebahagiaan yang membuncah bersama Syifa tapi sekarang berbeda. Baru juga memikirkan Syifa, ada panggilan masuk dari Syifa di ponselnya. Seketika beban di hatinya sedikit berkurang. Dia segera mengangkat panggilan itu.
"Mas Dewa, aku sudah lihat berita. Mas Dewa tidak apa-apa kan?" tanya Syifa dengan panik di seberang sana.
Sadewa tersenyum mendengar suara Syifa. Ada rasa bahagia yang menyeruak di dadanya karena sekarang ada yang mengkhawatirkannya saat dia mendapatkan masalah. "Aku tidak apa-apa. Kamu tenang saja, tidak usah khawatir."
"Semoga masalah Mas Dewa cepat selesai. Jangan lupa berdoa."
"Tentu, Sayang." Sadewa tersenyum mendengar suara Syifa yang terus khawatir padanya, hingga Lina masuk setelah membuka pintu.
"Sudah ya, nanti aku hubungi lagi." Sadewa masih tersenyum kecil setelah panggilan itu selesai. Dia meletakkan ponselnya di atas meja.
Lina mengernyitkan dahinya. Dia melihat cincin yang terpasang di jari manis Sadewa. Ternyata bosnya itu benar-benar sudah menikah. Dia sangat kecewa karena selama ini dia sudah melakukan yang terbaik untuk Sadewa tapi Sadewa sama sekali tidak meliriknya. "Pak Dewa, konferensi pers akan segera dimulai."
Sadewa merapikan jasnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Baik, kamu bawa laptopku." Sadewa keluar dari ruangannya dan berjalan menuju lift.
Setelah masuk ke dalam lift, mereka turun ke lantai dasar.
"Pak Dewa, apa lebih baik kita menemui Bu Melinda secara langsung saja? Siapa tahu, Bu Melinda tidak jadi menuntut masalah ini."
Sadewa berpikir sejenak. "Iya, kamu benar juga. Nanti malam kita langsung ke rumahnya saja."
Sadewa sampai di lantai dasar, Hendri segera berjalan di samping Sadewa dan menyerahkan apa saja yang harus dikatakan Sadewa.
Sadewa hanya mengangguk, lalu dia berdiri di podium.
Wartawan berkumpul di aula utama. Kamera, mikrofon, dan lampu sorot diarahkan langsung ke podium tempat Sadewa berdiri.
"Sebagai CEO dan pendiri Radema Foods, saya mengambil tanggung jawab penuh atas insiden ini. Kami mengakui ada kelalaian dalam pelabelan bahan alergen, dan itu adalah kesalahan yang tidak bisa kami pungkiri. Untuk itu, kami telah menghentikan produk tersebut untuk diaudit ulang."
Salah satu wartawan mengangkat tangan. “Tapi Pak Sadewa, ada keluarga korban yang merasa permintaan maaf Anda tidak cukup. Bagaimana tanggapan Anda atas kemungkinan tuntutan hukum?”
Sadewa menatap lurus ke arah kamera. “Saya akan bertemu langsung dengan keluarga tersebut. Bukan sebagai pengusaha, tapi sebagai manusia yang turut menyesal atas penderitaan mereka. Jika itu belum cukup, saya siap menghadapi tuntutan hukum sesuai proses yang berlaku.”
Sadewa mengadakan sesi tanya jawab yang transparan, hingga akhirnya konferensi pers itu berakhir. Beragam komentar terunggah di media sosial.
Ada seseorang yang mengamati Sadewa dari kejauhan, memakai topi hitam dan masker. "Dewa, kamu tidak boleh bahagia. Kamu harus merasakan penderitaan seperti yang dirasakan kedua orang tuaku."
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔