NovelToon NovelToon
Gairah Sang Papa Angkat

Gairah Sang Papa Angkat

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Cinta Terlarang / Cerai / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa
Popularitas:28.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ni Luh putu Sri rahayu

menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

"Hn..." Aldebaran hanya menjawab dengan gerakan rendah, matanya masih tidak lepas dari dokumen di tangannya. "Siapkan semuanya untuk rapat hari ini!"

"Baik, Pak"

Aldebaran bekerja tanpa jeda, seolah dunia berputar hanya untuk mengejar ambisinya. Waktu baginya adalah sekutu dan musuh yang tak pernah istirahat, selalu mendesak untuk ditaklukkan. Di ruang rapat, ia berdiri seperti sebuah monumen—tegak, kokoh, dan tak tersentuh. Setiap kata yang meluncur darinya terukur, setiap arahan membawa bobot mutlak. Para koleganya mendengarkan dalam diam yang penuh penghormatan, atau mungkin ketakutan.

Ekspresinya tetap tenang, namun ada sesuatu di matanya—kekosongan yang tajam. Saat orang lain tertawa ringan di sela-sela rapat, Aldebaran hanya mengamati. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan pria itu, dan tidak ada yang cukup berani untuk bertanya. Baginya, dunia bisnis bukanlah tempat untuk bersantai.

"Perasaan pribadi tak punya tempat di sini," gumamnya, nyaris tak terdengar, seperti sebuah mantra yang terus ia ulang untuk dirinya sendiri. Di balik meja panjang yang dikelilingi oleh para eksekutif, Aldebaran berdiri sebagai figur dominan. Bagi mereka, ia adalah lambang kesempurnaan: strategi tanpa cela, hasil yang selalu melampaui target, dan keberanian untuk mengambil langkah yang tak seorang pun berani lakukan.

Namun, kesempurnaan itu datang dengan harga. Saat malam tiba dan semua lampu kantor perlahan mati, ruang kerja Aldebaran tetap terang. Tumpukan dokumen dan peta strategi menghiasi mejanya, sementara cangkir kopi yang sudah dingin bertumpuk di sudut. Di keheningan itu, tanpa sorotan mata orang lain, hanya terdengar bunyi lembut pena di atas kertas dan detak jam di dinding.

Bisnisnya mencakup segala bidang: dari tambang-tambang di tanah pedalaman hingga gedung pencakar langit yang menjulang di pusat kota. Ia menguasai jalur ekspor-impor seperti seorang raja yang menjaga pintu gerbang kerajaannya. Dan di balik itu semua, tersembunyi operasi bawah tanah yang dirancang dengan presisi militer, melibatkan tangan-tangan yang tak pernah muncul di permukaan.

Namun, dalam keberhasilan itu, Aldebaran berdiri sendirian. Tidak ada tepuk tangan yang benar-benar berarti baginya. Tidak ada apresiasi yang cukup mengguncang dinginnya hati. Di matanya, hubungan adalah gangguan setidaknya untuk saat ini, dan rasa lelah hanyalah kelemahan yang tak pernah ia izinkan untuk muncul.

Di balik pintu tertutup ruang rapat, ia adalah seorang penguasa. Tapi di balik pintu ruang kerja yang hening, ia hanya seorang pria yang mencoba melupakan apa yang telah hilang darinya—rasa hangat, rasa hidup.

Hingga waktu menunjukan pukul 19:47 malam, Aldebaran memutuskan untuk meninggalkan kantornya, saat ia membereskan tumpukan dokumen di meja kerjanya, ia meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di samping Cakir kopi yang kini dingin.

Kemudian ia mengambil dan memakai jas hitam legam yang sedari tadi mengandung rapi di kursinya, jas hitam yang di rancang khusus untuknya membetuk setiap detail tubuhnya yang tinggi dan atletis dengan sempurna. Sebelum akhirnya ia meninggalkan ruangan kerjanya.

Aldebaran mengendarai mobilnya dengan tenang, melaju di jalanan kota yang sibuk. Lampu-lampu neon di pinggir jalan memantul di kaca mobilnya, menciptakan bayangan warna-warni yang bergerak seiring perjalanannya. Ketika ia tiba di sebuah tempat hiburan malam yang terkenal dengan kemewahannya, ia memarkir mobilnya di tempat eksklusif, derit remnya berhenti dengan sempurna di garis parkir.

Ia melangkah keluar dari mobil dengan anggun. Penampilannya, setelan jas hitam yang dipadukan dengan dasi sutra berwarna merah marun, menarik perhatian beberapa pengunjung yang melintas, terutama para wanita. Tatapan mereka tertuju padanya, sebagian dengan kekaguman, sebagian lagi dengan rasa ingin tahu. Aldebaran tak peduli—ia terbiasa dengan itu.

Di depan pintu masuk kasino, seorang pria berdiri tegak, mengenakan jas abu-abu gelap yang terlihat mahal. Jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu menegaskan bahwa ia bukan orang biasa. Wajahnya menunjukkan senyum tipis, seolah-olah ia sedang menunggu sesuatu yang sudah pasti datang.

“Aku pikir kau tidak akan datang,” katanya, suaranya rendah namun penuh nada kepercayaan diri.

Aldebaran melangkah mendekat, pandangannya tajam, tetapi di bibirnya terlukis senyuman tipis—lebih seperti seringaian yang penuh misteri. “Aku tidak pernah menolak hiburan,” balasnya santai, namun ada nada sinis yang tersirat di setiap kata.

Mereka bertukar pandang sejenak, seperti dua pemain catur yang tahu bahwa setiap langkah memiliki arti. Angin malam membawa aroma parfum mahal dan suara deru mobil yang sesekali lewat di belakang mereka.

Di dalam, kasino berkilauan dengan lampu-lampu kristal dan dentingan suara koin yang jatuh. Namun bagi Aldebaran, ini bukan hanya tempat hiburan—ini adalah panggung lain untuk menunjukkan keunggulannya.

Aldebaran melangkah ke meja judi dengan langkah yang tenang namun penuh otoritas. Seluruh ruangan kasino yang sebelumnya sibuk seolah melambat ketika ia mengambil tempat duduknya. Pandangannya tajam, meneliti meja permainan dengan tenang, seperti seorang jenderal yang memeriksa medan pertempuran sebelum memulai strategi.

Ia memilih permainan kartu—bukan karena ia bergantung pada keberuntungan, tetapi karena ia tahu bahwa permainan ini membutuhkan kecerdasan dan kendali. Para pemain lain di sekelilingnya mengamati, beberapa dengan rasa was-was, yang lain dengan rasa kagum yang tak bisa disembunyikan.

Dealer mengocok kartu dengan gerakan cepat dan rapi, lalu membagikannya ke setiap pemain. Aldebaran menerima kartunya dengan satu gerakan anggun, membukanya sedikit di tangan tanpa mengubah ekspresi wajah. Tidak ada kegugupan, tidak ada kegembiraan. Wajahnya tetap netral, hampir seperti topeng yang tak bisa diterka.

Ketika giliran Aldebaran tiba, ia menaruh chip dengan presisi. Jumlahnya cukup besar untuk menarik perhatian, tetapi tidak terlalu mencolok. “Aku main,” ucapnya singkat, suaranya rendah namun tegas.

Setiap langkah yang ia ambil terlihat seperti bagian dari rencana yang sudah ia susun sebelumnya. Ia tidak berbicara banyak, hanya sesekali mengangguk atau memberikan senyuman tipis kepada dealer atau pemain lain. Namun, setiap kali ia berbicara, suasana di sekitar meja terasa berubah.

Putaran demi putaran berlalu, dan perlahan tapi pasti, tumpukan chip di depan Aldebaran terus bertambah. Dia tidak pernah terlihat terburu-buru, tidak pernah membuat keputusan yang gegabah. Tangannya bergerak dengan santai, tetapi pikirannya jelas bekerja dengan kecepatan tinggi.

“Taruhan terakhir,” kata dealer, suaranya sedikit gemetar, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya. Aldebaran menatap kartu di tangannya untuk waktu yang singkat, cukup lama untuk menciptakan ketegangan di antara para penonton yang mulai berkumpul di sekitar meja.

Dengan gerakan yang anggun, ia menaruh chip terakhirnya di tengah meja. “All in,” katanya, suaranya dingin namun tegas.

Dealer membuka kartu terakhir, dan senyuman tipis kembali muncul di wajah Aldebaran. Tidak seperti ekspresi kemenangan yang berlebihan, senyumnya lebih mirip seperti seseorang yang tahu sejak awal bahwa hasilnya akan seperti ini.

Chip terus bertumpuk di depannya, sementara para pemain lain hanya bisa menghela napas, beberapa menggelengkan kepala, yang lain menyembunyikan kekaguman mereka. Aldebaran mengumpulkan kemenangan dengan anggun, berdiri, dan melangkah pergi tanpa melihat ke belakang, meninggalkan meja itu dengan aura kemenangan yang tidak terbantahkan.

Bersambung.....

1
Mirna Wati
ko cepet bener
Soraya
9+8 berarti usia lilia 17 dh SMA lilia
Naya
cihh🙄
Soraya
tinggi amat Aldebaran sampe 205 kaya raksasa
Soraya
knp gak kmu adopsi lilia Aldebaran
Soraya
mampir thor
ARIES ♈: terimakasih kak sudah mampir..🥰🥰
total 1 replies
dewi rahmawati
antara syg dn cinta itu tipis setipis tisu yg bsh bila diambil robek... 👉❗👈
Bunda
nyimak kak 🙏🏻
DonnJuan
keren kak
Elizabethlizy
kalo berkenan mampir juga yaa kelapak ku makasih
Erlin
mampirr balikk kaaa, semangattt
Erlin
semangat kaa, ceritamu kerenn, dan jangan lupa mampir yaaa
🌀Šãîďãh Ñõõř💞
aldebaran .... oh aldebaran ... andin mengkhianatimu jadian lagi sama lilia... heheh semangat thorrr
Serenarara
Lagian sekelas CEO masa kasih yang diskon? /Chuckle/
ARIES ♈: kata papa "Lilia, kita harus berhemat, tanggal tua! kalo gak mau jatah skincare-nya papa potong." 🤭🤭
total 1 replies
Author Sylvia
jangan buat Aldebaran jadi cowok plin plan dan playboy ya Thor.
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️
dewi rahmawati: play boy boleh klo single klo sdh beristri jgn
ARIES ♈: terimakasih dukungannya kak, di usahain... biar gak play boy..🫠🫠
total 2 replies
Serenarara
Dasar nggak peka, huh. /Smug/
Serenarara
Wayolo...dia pedo thor?
Serenarara
/Sweat/ Pak, please lah...waras dikit kek
Serenarara
Hajar bang hajar!
Little Fox🦊_wdyrskwt
keren... ceritanya bagus/Determined/
Little Fox🦊_wdyrskwt: wau oke
Ree.Pand: say...polbek..😆😆
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!