Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembicaraan dengan Anita
“Kenapa cemberut ?” tanya Damar sambil membelai rambut Mirna.
Istrinya baru saja kembali usai mengantar Chika masuk sekolah sementara Damar menunggu di mobil karena tidak ada parkiran kosong.
“Lain kali kalau janji sama anak kecil jangan suka sembarangan. Dari kemarin pagi Chika tanya terus adiknya kapan ada dan datangnya darimana. Aku kan bingung mau jawab apa.”
Damar tertawa dan mencubit sebelah pipi Mirna dengan gemas karena wajah istrinya yang sedang merenggut kelihatan lucu.
“Nanti malam aku yang akan menjelaskan Chika sekalian menemaninya tidur.”
Mirna tidak melanjutkan omelannya. Kepalanya menoleh ke jendela samping ditopang dengan tangan yang bersandar di jendela.
Mobil mulai melaju di jalan raya, meninggalkan kemacetan di seputaran sekolah.
“Jangan dijadikan beban, aku yakin Chika nggak susah dikasih pengertian. Saat kamu hilang ingatan tentang kami, Chika bisa mengikuti permintaan dokter supaya tidak memaksamu meskipun kadang-kadang dia suka nangis karena merasa kehilanganmu.”
Terdengar helaan nafas berat Mirna sebelum ia menoleh menatap Damar.
“Mas, aku boleh minta sesuatu ?”
Sekilas Damar menoleh dengan alis menaut lalu kembali fokus menatap jalan raya.
“Boleh asal jangan minta pisah dariku dan Chika.”
“Iya, aku nggak akan minta yang satu itu. Biar ingatanku belum kembali tapi aku percaya sama mas Damar dan terlanjur sayang sama Chika.”
Wajah Damar berbinar dengan senyum mengembang di bibirnya.
”Sayangnya sama Chika doang ?”
“Kalau aku bilang nggak, mas Damar mau ngusir aku dari rumah ?”
Damar tertawa pelan, “Kalau kamu nggak bisa sayang apalagi cinta sepertinya aku akan mundur pelan-pelan dan mencari penggantimu.”
Tanpa diduga Mirna memukul lengan Damar membuat pria itu menoleh dengan mata melotot.
“Kok aku dipukul ?”
“Lagian mas Damar seenaknya aja ngomong !” omel Mirna dengan posisi duduk menghadap ke arah Damar.
“Seenaknya gimana ?”
“Seenaknya memper-ko-saku sekarang mau cari istri baru !”
Damar langsung terbahak mendengar ucapan Mirna membuat istrinya itu tambah cemberut.
“Jadi kamu nggak lupa sama malam panas kita ? Mau mengulangnya lagi ? Aku sih oke oke aja, terserah kapan kamu mau.”
“Nggak nyambung !”
Mirna berbalik menghadap ke depan dan kedua tangannya terlipat di depan dada, bibirnya pun ikut mengerucut membuat Damar makin gemas.
“Iya maaf. Aku senang melihat wajahmu kalau lagi cemberut gitu. Tadi mau minta apa ?”
“Aku pingin balik kerja lagi seperti dulu. Gabut banget hanya duduk manis di ruangan mas Damar, takutnya otakku malah makin mandek kalau kelamaan nggak digunakan. Siapa tahu dengan kembali melakukan aktivitas lama, ingatanku bisa lebih cepat pulih lagi.”
“Boleh.”
“Beneran ?” Mirna langsung menoleh dengan mata membola, tidak percaya kalau Damar langsung mengiyakan tanpa drama.
“Tapi ada syaratnya,” lanjut Damar.
“Asal nggak aneh-aneh !”
Damar terkekeh. “Takut banget sih padahal sebelum kecelakaan kamu lebih hot dari aku, istri yang pandai memanjakan suami.”
Mirna memutar bola matanya untuk menutupi rasa malu setiap kali teringat malam panasnya bersama Damar di hotel. Akal sehat dan tubuhnya tidak sinkron bereaksi merasakan sensasi sentuhan Damar yang memabukkan.
“Syaratnya apa, Mas ?”
“Aku akan menempatkan orang untuk mengawasimu.”
Mirna sudah membuka mulut untuk protes tapi Damar sudah mendahuluinya.
“Tentu saja orang itu tidak akan mengekorimu kemana pun kamu pergi. Hanya dari jauh. Aku tidak mau kecolongan lagi karena Firman dan Anita tidak peduli kalau ingin mendapatkan sesuatu.”
Tidak ada tanggapan dari Mirna, kelihatan ia sedang memikirkan faktor kenyamanannya.
“Orang suruhanku akan mengambil tindakan hanya di saat kamu dalam bahaya, selebihnya kamu bebas melakukan aktivitas seperti biasa.”
“Oke, aku setuju !”
“Yang kedua, aku akan memasang alat pelacak pada handphonemu, hanya untuk jaga-jaga. Dan yang terakhir jangan pernah pergi dengan Firman atau Anita meskipun tempat yang mereka pilih cukup ramai. Gimana ?”
Kepala Mirna mengangguk. “Aku setuju.”
“Anak pintar !”
Damar menguasp-usap kepala Mirna sambil tersenyum.
“Tapi kamu baru boleh mulai minggu depan soalnya aku belum rela berada jauh darimu.”
“Lebay ! Mas Damar demen banget sih nge-gombal,” cebik Mirna.
“Sudah dari dulu, sayang. Kamu juga yang ngajarin aku.”
***
Seperti biasa Mirna menunggu Damar yang di sedang rapat di ruang kerja pria itu. Pintu diketuk dari luar dan sebelum Mirna sempat menjawab sudah dibuka dari luar dan muncullah sosok Anita.
Ekspresi wajahnya tidak seperti biasa, untuk pertama kalinya Mirna melihat Anita begitu sedih dan tertekan.
“Lagi sibuk ?” tanya Anita setelah berada di dekat Mirna.
“Nggak juga. Ada apa, Mbak, kok tumben ?”
“Aku ingin bicara padamu berdua tapi jangan di sini. Bisa kita keluar sebentar ?”
Pikiran Mirna langsung teringat dengan ucapanDamar saat mereka di mobil tadi.
“Aku perlu ijin dengan mas Damar dulu.”
“Tolonglah Mirna, aku janji nggak akan lama. Aku pastikan sudah balik lagi sebelum Damar selesai rapat.”
Mirna masih ragu membuat Anita makin tidak sabaran.
“Aku mohon Mirna. Aku ingin bicara soal Rangga.”
Akhirnya Mirna mengangguk. Sambil berjalan menuju lift tangannya mengetik pesan untuk Damar dan minta tolong supaya ada orang yang menyusulnya apabila ia belum kembali dalam 30 menit.
Anita menepati ucapannya, memilih cafe yang berjarak 200 meter dari kantor.
“Ada masalah apa mbak sama kak Rangga ?” tanya Mirna usai memesan minuman.
“Rangga memutuskan hubungan kami.”
“Mbak Nita serius ?” Mata Mirna membelalak.
“Iya dan sepertinya Rangga tidak akan merubah keputusannya.”
Anita membuang muka ke samping sambil menyeka kedua sudut matanya dengan tisu. Seorang pelayan mengantarkan minuman mereka.
“Apa alasan kak Rangga membatalkan rencana pernikahan kalian ?”
“Kecelakaan yang menimpamu, Mirna. Rangga tidak percaya kalau aku tidak terlibat dengan kejadian yang menimpamu malam itu.”
Alis Mirna menaut, dengan mata menyipit, ditatapnya Anita yang sesekali masih menyeka sudut matanya.
Pikiran Mirna dipenuhi dengan kalimat-kalimat Damar dan bagaimana karakter Rangga yang dikenalnya dengan baik.
“Memangnya Damar tidak memberitahumu ?”
Mirna menggelengkan kepala. “Memangnya mas Damar sudah tahu ?”
Gantian Anita menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu.”
Mirna menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Bukan bermaksud membela Rangga karena dia kakakku, mbak tapi aku sangat kenal bagaimana sifat kak Rangga. Dia tidak pernah asal mengambil keputusan jadi kalau sampai kak Rangga sampai pada keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan mbak Nita, pasti ada sesuatu yang membuat kak Rangga sangat sangat kecewa.”
“Sudah aku katakan kalau aku tidak terlibat dalam kecelakaanmu !” tegas Anita dengan suara mulai meninggi.
Mata Mirna kembali menyipit, menelisik Anita yang sedikit gelisah dan tidak nyaman ditatap seperti itu.
“Tolong percaya padaku, Mir.”
Mirna tersenyum tipis, menarik kursinya supaya lebih merapat ke meja dan ia pun mencondongkan tubuhnya kepada Anita yang malah menjauh.
“Kalau mbak bisa memastikan tidak terlibat dalam kecelakaanku berarti mbak Nita tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Apa mbak Nita bisa memberitahuku dan kak Rangga untuk meluruskan kesalahpahaman ini ?”
Kepala Anita menunduk, tidak berani membalas tatapan Mirna yang tajam dan penuh selidik.