NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:888
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Senyap di Balik Tawa

Pagi di Desa Tirnawati dimulai seperti biasa: embun belum tuntas mengering, ayam belum selesai bersahut-sahutan, namun jalan tanah yang membelah desa sudah dipenuhi suara tawa ibu-ibu, teriakan pedagang, dan gemericik air dari sumur tua di samping masjid.

Hari itu hari pasaran. Pasar desa hanya benar-benar ramai setiap Legi dan Pon, dan hari ini kebetulan Legi. Sejak subuh, warga dari desa sekitar berdatangan, membawa dagangan, hasil kebun, hingga ayam hidup dalam kurungan bambu.

Di ujung pasar, suara lantang menggema.

“Bu! Bu! Ini ayam potong, bukan ayam kentang! Lihat badannya, padet! Liat tuh, montok kaya mantan saya!”

Teriakan itu tak lain dari Udin, yang entah dapat ide dari mana tiba-tiba buka lapak jualan ayam, lengkap dengan celoteh yang tak pernah kehabisan bahan lelucon.

“Din, ayammu ini kok jalan pincang?” tanya Bu Minah sambil cekikikan.

“Wah, itu tandanya ayamnya bekas latihan silat Bu! Kakinya keseleo abis sparring,” jawab Udin cepat, membuat ibu-ibu yang mendengar tertawa terpingkal.

Di sebelah Udin, Pedot dengan muka ditekuk dua lapis, sedang ngipasi dagangan tempe goreng.

“Lu tuh Din, ngomong mulu, yang beli kagak ada. Nih, gorengan gue aja laku dua baskom!”

“Lah itu bukan karena enak, Dot. Tapi karena lo taruh di depan WC umum. Orang mampir beli karena kecium bau kemenyan dari dalem!” balas Udin.

Pedot hanya mendengus. Tapi yang bikin heboh, bukan jualannya. Melainkan saat seekor ayam lepas dari kandang dan berlari-lari di pasar. Udin mengejarnya sambil teriak, “Woi! Ayamku kabur! Jangan dilepas! Itu anaknya ayam sultan!”

Pasar pun gemuruh. Anak-anak kecil ikut mengejar, dan suara tawa pecah di sepanjang jalan.

Di tengah riuhnya pasar, Pak Lutfi berjalan membawa tasbih, sesekali menyalami warga yang ia temui. Tak ada satu orang pun yang tidak mengenalnya. Di antara kesederhanaan wajah desa, Pak Lutfi adalah cahaya yang membawa tenang, meski matanya menyimpan sorot gelisah sejak kejadian di rumah Nenek Sanem.

“Pak Ustaz, mampir ngopi, yuk!” panggil Bu Sarti dari warung kecilnya.

Pak Lutfi tersenyum. “Wah, kalau sudah panggilan dari Bu Sarti, saya nggak bisa nolak.”

Tak jauh dari sana, Mbah Tejo juga tampak duduk di pojokan pasar, dikelilingi anak-anak kecil yang sedang mendengarkan kisah dongeng hantu dari mulut si tua yang mengklaim dirinya bisa bicara dengan alam gaib.

“…dan saat malam ke-empat, Nyi Bawuk muncul dari dalam kendi. Ia membawa lidi berapi dan mengamuk karena anaknya dipanggil ‘pete busuk’!”

Anak-anak berteriak takut-takut geli, tapi tetap mendekat. Salah satu anak malah bertanya polos, “Mbah, itu Nyi Bawuk bisa naik motor enggak?”

Sore menjelang, dan suasana desa berganti. Kali ini bukan pasar yang menjadi pusat perhatian, tapi hajatan keluarga Pak Dirman. Di lapangan kecil sebelah rumahnya, tenda sudah terpasang sejak pagi. Hari ini anak sulungnya menikah.

Di bawah tenda, suara dangdut koplo mulai mengalun pelan. Warga berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka. Nasi kotak menumpuk di atas meja, dan petugas pembagi sibuk memanggil nama-nama tamu.

“Pak Karto! Tiga! Sama anaknya!”

“Bu Marni, dua, tapi jangan lupa yang satu pedas ya!”

Udin, tentu saja, tampil mencolok. Ia mengenakan batik merah cerah dengan celana hitam ketat. Di kepalanya topi songkok yang entah bagaimana miring sebelah.

“Wah, ini Udin kayak mau kawin sama penyanyi dangdutnya!” celetuk salah satu warga.

“Bisa jadi, Bu. Biar dapat istri bisa ngulek sambil joget,” balas Udin penuh percaya diri.

Di sebelahnya, Pedot tampak lebih kalem. Tapi tetap dengan gaya “sok keren” ala anak motor. Ia sedang menatap penyanyi hajatan yang baru naik panggung.

“Gue suka suara dia, Din.”

“Lu suka suaranya apa dadanya, Dot?” bisik Udin pelan.

“Dua-duanya,” jawab Pedot tanpa dosa.

Pak Lutfi hadir pula, menyampaikan doa singkat untuk pengantin, sedangkan Mbah Tejo sibuk di pojok, makan ketupat sambil ngobrol dengan orang-orang tua tentang “ciri-ciri harimau jadi-jadian.”

Namun di tengah kemeriahan itu, ada satu momen ganjil. Saat pengantin hendak disalami, seorang ibu tua—bukan warga desa, mengenakan selendang lusuh—mendekat dan memeluk mempelai wanita… terlalu erat… terlalu lama. Wajahnya tak tampak jelas, dan setelah itu... ia menghilang di kerumunan tanpa terlihat lagi.

Pak Lutfi sempat menoleh, merasa hawa aneh. Tapi ia menenangkan hatinya. “Mungkin hanya tamu dari luar…”

Malam pun turun. Dan giliran para peronda kembali ke pos jaga. Tiap malam, warga bergantian menjaga keamanan desa, duduk di gardu ronda sambil minum kopi, main catur, atau sekadar bergosip.

Malam ini, giliran Udin, Pedot, dan dua pemuda lain: Jatmiko si pendiam, dan Kadir si ngelantur.

Di pos ronda, Udin membawa radio tua dan memutar lagu dangdut pelan-pelan.

“Din, jangan kenceng-kenceng, nanti makhluk halus ikut nyawer,” kata Jatmiko.

Udin nyengir. “Justru itu, biar rame. Siapa tahu ada pocong bisa dangdutan. Kita masukin YouTube, viral tuh!”

Kadir nimbrung, “Eh, tapi serius, kemarin malam gue liat bayangan lewat di kebun pisang. Gede banget. Mukanya… kayak ketek gorila.”

“Jangan-jangan itu si Pedot waktu belum mandi,” goda Udin.

“Eh, lu jangan fitnah! Gue mah ganteng dari sononya,” bela Pedot.

Baru saja mereka tertawa, terdengar suara dari kejauhan. Suara kayu jatuh, keras sekali, seperti di belakang masjid.

Mereka langsung hening.

Jatmiko berdiri. “Ayo kita cek.”

Pedot langsung pura-pura batuk. “Wah, gue mendadak masuk angin, Din…”

Udin berdiri dengan senter gemetar. “Oke, kita semua jalan. Tapi inget, jangan bilang ‘siapa itu?’”

Kadir bertanya polos, “Kalau gitu, bilangnya apa?”

“Bilang aja, ‘permisi, numpang lewat, saya belum bayar utang!’” jawab Udin.

Mereka berjalan pelan ke arah sumber suara. Tapi yang mereka temukan hanyalah batang pohon pisang tumbang.

Namun… tak jauh dari situ… tampak bekas tapak kaki kecil di tanah basah. Seolah milik anak-anak. Tapi tidak ada anak-anak di sekitar.

Udin membeku. Pedot menggenggam sapu lidi seperti pedang.

“Din… gue mulai curiga ini semua balik ke rumah Nenek Sanem lagi…”

Jatmiko mendekat, memungut satu helai selendang tipis lusuh dari tanah.

“Ada tamu hajatan tadi siang yang pakai ini…” gumamnya.

Mereka semua saling pandang. Suara jangkrik mendadak terdengar terlalu pelan. Dan angin berhembus dingin… seperti membawa bisikan yang hanya bisa dipahami mereka yang sudah tahu.

Pagi di Desa Tirnawati kembali bergulir seperti biasa. Namun sejak malam ronda itu, ada yang berbeda di udara. Warga tetap tersenyum dan menyapa, pasar tetap ramai, dan burung tetap bernyanyi. Tapi… semilir angin yang biasa menenangkan, kini membawa rasa sejuk yang mengendap tak wajar. Hening terasa lebih pekat dari biasanya.

Di rumahnya, Pak Lutfi tampak gelisah. Setelah subuh, ia duduk lebih lama di sajadah. Matanya menatap Al-Qur'an yang terbuka, namun hatinya sibuk menyusun potongan-potongan kejadian: Nenek Sanem yang ditemukan tewas dengan lidah hancur, selendang misterius di hajatan, dan tapak kaki kecil yang muncul di malam hari.

Ia memutuskan untuk menemui Mbah Tejo.

Di rumah Mbah Tejo, aroma dupa sudah tercium dari halaman. Rumah tua itu dipenuhi benda-benda aneh: topeng-topeng tua, kendi berisi air, dan seutas tali merah yang menggantung di pintu.

“Pak Ustaz…” sapa Mbah Tejo dari dalam, seperti tahu kedatangan tamunya bahkan sebelum ia mengetuk.

Pak Lutfi masuk, sedikit tak nyaman dengan suasana.

“Saya ingin bertanya, Mbah. Mengenai... hal-hal yang mungkin tak bisa dijelaskan secara biasa.”

Mbah Tejo mengangguk. Ia duduk bersila di depan altar kecil, lalu mengusap janggut putihnya.

“Ini tentang Nenek Sanem, ya?”

Pak Lutfi terkejut. “Bagaimana Mbah tahu?”

“Semenjak malam tubuhnya ditemukan, aku tak bisa tidur nyenyak. Ada suara... ratapan. Tapi bukan suara manusia. Suara itu seperti... sisa nyawa yang belum selesai.”

Pak Lutfi menelan ludah. “Saya merasakan hal yang sama. Tapi saya lebih suka menyebutnya peringatan.”

“Bukan peringatan, Pak Ustaz. Ini penuntut. Dan saya curiga... kematiannya bukan cuma sekadar perampokan. Tapi ada dendam... yang lebih tua dari manusia itu sendiri.”

Sementara itu, Udin dan Pedot kembali ke tempat ronda pagi itu, mencoba memastikan bekas selendang dan jejak kaki yang mereka lihat semalam.

“Din, lo yakin kita harus ke sini lagi?” tanya Pedot, memegang sapu lidi seperti memegang tombak suci.

“Dot, kalau lo takut bilang aja. Nggak usah sok jago,” balas Udin sambil menyorotkan senter.

“Gue tuh bukan takut… gue cuman waspada. Itu beda.”

Mereka tiba di area bekas pohon pisang tumbang. Anehnya, jejak kaki semalam sudah hilang. Tanah terlihat tergaruk... seperti ada yang sengaja menghapus jejak.

“Din… kayaknya tempat ini dibersihin seseorang.”

“Bukan seseorang, Dot. Mungkin... sesuatu.”

Tiba-tiba, terdengar suara seperti nyanyian anak kecil. Pelan, mendayu, dan tidak jelas liriknya. Mereka saling menatap.

“Lu denger itu?” bisik Udin.

“Denger... dan pengen pura-pura tuli sekarang juga,” jawab Pedot.

Dari balik semak, muncul... anak perempuan kecil dengan rambut panjang dan baju compang-camping. Tapi yang membuat mereka nyaris kencing di celana adalah: anak itu tak punya wajah. Hanya kulit putih polos, tanpa mata, hidung, atau mulut.

Udin langsung menjerit, “Dot!!! LARI!!!”

Mereka berdua sprint secepat mungkin, tidak peduli senter jatuh, atau celana hampir sobek.

Setibanya di rumah, mereka terkunci di kamar masing-masing. Udin bahkan sempat mengirim pesan suara ke grup ronda:

“Tolong... besok gantian jaga, gua pengen hidup sampai nikah.”

Kabar mulai menyebar. Bukan hanya Udin dan Pedot. Malam itu juga, beberapa warga mengaku melihat bayangan perempuan tua berjalan melintasi sawah sambil menyeret sesuatu. Ada yang bilang itu kantong plastik, ada yang bilang itu... lidah.

Pak Lutfi akhirnya meminta izin kepada kepala desa untuk mengumpulkan warga di masjid.

“Warga sekalian,” ucapnya lantang, “saya tahu belakangan ini kita semua merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi sebagai orang beriman, kita tidak boleh kalah oleh ketakutan.”

“Tapi, Pak Ustaz,” potong salah satu warga, “kemarin malam kambing saya mati mendadak. Lidahnya juga... hilang!”

Suasana riuh.

“Kami tidak akan membiarkan ketakutan ini menguasai kita,” lanjut Pak Lutfi. “Tapi kita juga tidak boleh mengabaikannya. Malam ini, saya mohon... semua tetap di rumah. Tutup pintu, jangan keluar sampai subuh. Saya dan Mbah Tejo akan berusaha... mencari tahu lebih jauh.”

Malam datang, dan suasana desa berubah.

Lampu-lampu dimatikan lebih awal. Tidak ada suara radio, tidak ada ayam berkotek. Bahkan jangkrik pun seperti ikut sembunyi.

Di rumahnya, Pak Lutfi duduk di sajadah, sementara Mbah Tejo di ruang tamu menyiapkan dupa dan bacaan mantranya.

Tiba-tiba, udara berubah. Asap dupa mulai berputar sendiri, membentuk pusaran.

Dan... muncul suara tawa lirih seorang wanita tua. Sangat dekat. Sangat nyata.

Mbah Tejo menutup matanya.

“Dia sudah bangkit…”

Pak Lutfi menoleh. “Siapa, Mbah?”

“Yang kehilangan lidah... karena dipaksa diam... padahal dia melihat semuanya.”

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!