Para tamu undangan telah memenuhi ruangan, dan Hari H berada di depan mata. Hanya tinggal menanti sepasang calon mempelai mengucap janji suci, pernikahan pun sah di mata publik dan agama.
Namun, apa jadinya jika kedua calon mempelai tak kunjung memasuki acara? Pesan singkat yang dikirim hampir bersamaan dari kedua mempelai dengan maksud; berpisah tepat di hari pernikahan mereka, membuat dua keluarga dilanda panik dan berujung histeris.
Demi menutupi kekacauan, dua keluarga itu memojokkan masing-masing anak bungsu mereka yang kebetulan usianya hampir seumuran.
Sharon dan Alaska. Dua orang yang tak pernah terduga itu mau tidak mau harus menuruti perintah keluarga.
Fine! Hanya menikah!
Tahukah jika Alaska sudah punya pacar? Setelah hari ini menikah bersama Sharon, besok Alaska akan langsung membubarkan pernikahan gila ini!
Namun, keinginan itu seolah pupus saat mereka berdua malah menghabiskan malam pertama mereka, selayaknya pasutri sungguhan.
Sial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. I Need U
Hengki menatap nyalang atas kedatangan seseorang yang tanpa permisi langsung memasuki kamarnya. Dengan tampang datar, Reno meraih kursi belajar Hengki dan menempatinya tepat di samping tempat tidur.
"Denger-denger dari gosip, lo yang baru sembuh beberapa hari, udah dikeroyok habis-habisan sama geng motornya si Tony?"
Terdengar decihan sebal disertai fokus Hengki yang tertuju pada layar handphone. Sedikit pun Hengki enggan untuk memokuskan perhatiannya pada Reno.
"Terus?" Tanya Hengki, walau malas sebenarnya.
Reno mendengus seraya memejamkan mata. "Mana aja yang luka?"
"Sok peduli lo! Waktu gue babak belur pas ngelawan si Alaska, lo ke mana?" Tatapan tajam Hengki akhirnya diperlihatkan. Bukannya merasa terintimidasi, Reno malah balas menatap Hengki tak kalah tajam.
"Salah siapa?" Reno bangkit dari kursi. "Gue udah bilang berkali-kali, lepasin Sharon. Lo yang campakkin dia duluan! Sekalipun hari itu lo yang menang, Sharon nggak akan pernah mau balikan sama cowok yang udah khianatin dia."
Hengki membanting handphone-nya ke atas nakas. Tatapan yang dilayangkannya kian nyalang dan napasnya ikut menggebu. "Sebenarnya lo sahabat gue, apa musuh gue? Kenapa lo selalu menentang apa yang pengen gue lakuin? Kenapa emangnya kalau gue duluan yang campakkin dia? Selama gue punya penyesalan dan mau memperbaiki kesalahan gue, apa salahnya?"
"DIA UDAH PUNYA SUAMI, B*GO! LO BUTA APA GIMANA?" Nada suara Reno terdengar membentak. Dadanya tampak naik turun beberapa kali.
"IYA, GUE BUTA! GUE NGGAK PEDULI SOAL SI ALASKA YANG UDAH JADI SUAMINYA. YANG JELAS, GUE MAU CEWEK GUE BALIK SAMA GUE!" Tegas Hengki.
Reno semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran Hengki. Kepalanya dibuat pusing mendengar ucapan Hengki yang mengukuhkan untuk tetap merebut Sharon kembali.
"Apa alasan lo ngebet pengen si Sharon balik sama lo?" Reno mendengus pasrah. Tatapan matanya sendiri masih tertuju pada Hengki.
"Gue nyesel! Harusnya cewek sebaik dia nggak gue sia-siain!"
"Karena lo nyesel, kenapa lo nggak minta maaf aja? Sekeras apa pun sekarang lo mau ngebuat dia jadi milik lo lagi, lawan lo bukan pacar ataupun temennya. Tapi, suaminya!" Terang Reno, lagi-lagi menjelaskan hal paling penting yang akan dihadapi oleh Hengki kedepannya.
Hengki berdecak, lalu merogoh kembali handphone-nya. "Gue nggak peduli! Sekalipun nenek buyutnya yang jadi penghalang, gue siap lakuin apa pun."
Terdengar suara gelak tawa ringan dari Reno. "Gue rasa, lo lupa sama satu hal." Kata Reno. Seketika membuat Hengki mulai bertanya-tanya.
"Apa?"
"Si Sharon sama si Alaska udah ngelakuin hubungan suami istri. Jadi, lo tetep mau sama dia walaupun dia udah pernah jadi bekas si Alaska?" Saat itu juga, Hengki dibuat bungkam oleh kata demi kata yang Reno lontarkan.
Sial! Hengki tidak berpikir sampai sana.
...****...
Tubuh Alaska sontak berdiri tegak saat mendapati Sharon baru saja keluar dari dalam kamar. Raut wajahnya tampak murung dan tertunduk lesu. Setelan pakaiannya yang rapi dan kasual, membuat Alaska bertanya-tanya, ke mana perempuan itu akan pergi pagi ini?
"Shar, kamu mau ke mana?" Langkah Sharon yang hendak mengambil sepatu sneakers putih di dekat pintu sesaat terhenti.
"Aku mau ke rumah Mama." Saat itu juga, Alaska langsung menarik tubuh Sharon dan memeluknya erat. Tarikan napas berat pun isakkan kecil terdengar dari mulut Alaska.
"Kamu mau ninggalin aku, Shar? Kenapa? Karena aku belum bisa jawab pertanyaan kamu waktu itu?"
"Kamu apa-apaan, sih? Aku mau ke rumah Mama Sevia, Mama barusan telepon suruh ke sana sendiri." Saat itu juga, Alaska langsung melepaskan pelukannya.
Sepasang bola matanya yang berkaca-kaca turut mengerjap beberapa saat. "Mau ke mana tadi? Bukan mau pergi tinggalin aku selamanya karena-"
"Bukan, Alaska! Kamu tuh, ya. Walaupun kamu belum bisa jawab pertanyaan aku, tapi aku tahu, kok. Di hati kamu pasti ada aku 'kan?" Sharon menatap sepasang bola mata Alaska penuh harap. Hatinya lagi-lagi merasa terkikis karena Alaska hanya menatapnya lurus tanpa mau menjawab apa-apa.
"Aku sayang sama kamu, Shar! Sangat sayang sampai rasanya aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku butuh kamu, Shar. Aku mohon, jangan pergi! Aku janji, aku akan selesaikan hubungan aku sama Alina secepatnya. Kamu mau 'kan nunggu aku sekali lagi?"
Air mata yang sudah cukup lama tertahan, pada akhirnya tumpah begitu saja. Bukan karena kesedihan. Melainkan karena kebahagiaan sebab jawaban Alaska, sudah cukup meyakinkan hati Sharon.
Tanpa diduga-duga, Sharon mengalungkan kedua lengannya di leher Alaska. Matanya terpejam seraya menjatuhkan air mata, sedangkan bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman.
"Aku pengen egois, Al. Aku mau kamu tetap jadi suami aku. Boleh 'kan? Kamu nggak akan kembali sama Alina 'kan?" Sharon semakin berderai air mata. Dadanya sesak apalagi ketika mengingat kejadian di mana Alaska diam-diam berusaha menghubungi Alina di malam hari.
Perlahan tapi pasti, satu tangan Alaska mulai melingkar di pinggang ramping Sharon. Wajahnya yang cukup tinggi pun mulai menunduk agar wajahnya dapat bersejajaran dengan wajah Sharon.
Detik itu juga, Alaska mulai mengecup singkat bibir Sharon yang tampak bergetar. "I'm yours, Sharon!" Selepas mengucapkan kalimat itu, Alaska kembali mempertemukan bibir mereka. Memagut bahkan menyesap, membuat Sharon yang awalnya diam dan menerima, berakhir membalas sebisanya.
Tak berapa lama, ciuman keduanya mulai terputus. Masing-masing dari Alaska dan juga Sharon mulai meraup pasokan udara sebanyak mungkin.
Saat Alaska hendak lanjut mencium Sharon, dadanya langsung ditahan. Sontak Alaska mengernyit bingung seraya menatap lurus sepasang bola mata Sharon yang juga tengah menatapnya.
"A-aku mau tanya satu hal, boleh?"
"Apa?" Tanya Alaska. Berusaha mengontrol diri untuk tetap tenang dan menunggu Sharon menyelesaikan ucapannya.
"Ka-kalau misalnya aku hamil, menurut kamu gimana?" Pertanyaan itu sukses membuat Alaska terbelalak. "Kamu hamil?"
Saat itu juga, Sharon langsung memberengut. Alaska tidak menangkap maksud ucapannya.
"Enggak, iihh! Ini aku cuman nanya, aku nggak hamil." Alaska tertawa ringan sampai membuat sepasang matanya menyipit hampir menghilang. Satu tangannya yang menganggur tanpa diduga menyentuh perut Sharon dan mengusapnya sesekali.
"Aku nggak keberatan. Malahan disetiap kali kita ngelakuin itu, aku selalu berharap kamu bisa hamil. Makanya aku jarang pake- awh! Kok, dicubit? Sakit, Yang!" Alaska mendesis panas saat tanpa diduga, Sharon memelintir kulit lengannya sampai memerah.
"Ooh, gitu? Jadi selama ini kamu sengaja?" Terpecahkan sudah pertanyaan Sharon setelah sempat saling tertukar pikiran dengan Keila beberapa waktu lalu.
"Iyalah! Masa gituan dua minggu sekali nggak membuahkan hasil. Aku suami apaan nggak bisa bikin istri sendiri hamil?"
"Mulut kamu ini, ya, euhh! Lama-lama aku pelintir juga yang ini," kata Sharon, lalu menghela napas.
Masih pagi, tenang! Mulut nonfilter Alaska emang nyebelin. Jadi, sabar!
"Yang! Lanjut, yuk!" Ajakan Alaska di tengah kesunyian beberapa saat, membuat Sharon mendelik. "Aku mau ke rumah Mama!"
"Terus ini gimana?" Alaska memasang raut wajah menyedihkan. Berharap Sharon akan berbelas kasihan dan mau menerima ajakannya.
Sharon lagi-lagi menghela napas. "Aku udah mandi dan ini masih pagi. Ya kali jam segini, Alaskaaa! Sendiri aja sana di kamar mandi."
"Emang mau ngapain ke rumah Mama? Dan lagi. Aku nggak mau solo player, maunya duel. Duel lebih enak daripada solo,"
Sharon melongo tak percaya, apalagi saat dengan sengaja, Alaska mengedipkan sebelah matanya. "Makin nggak tertolong. Udahlah, dijelasin pun kamu nggak akan paham. Aku dulu- Aakh! Alaska! Kamu ngapain? Turunin, nggak!?" Sharon menjerit spontan saat lengan kekar Alaska mengangkat tubuhnya tiba-tiba.
Karena takut berakhir terjatuh ke lantai, Sharon pun mengalungkan kedua lengannya di leher Alaska. Dadanya bergemuruh seiring dengan langkah Alaska yang membawanya memasuki kamar.
"Alaska, turun-"
"Kamu pengen cewek, apa cowok?" Pertanyaan ambigu dari Alaska, sudah cukup membuat Sharon memaku. Pipinya bahkan terasa kian memanas saat ini.
"A-apa, sih? Turun- ah! Alaska!" Sharon dibuat meronta saat tangan nakal Alaska mengusap sensual punggungnya.
"Aku pengen cewek. Pasti dia bakalan mirip kamu." Dengan perlahan dan hati-hati, Alaska menurunkan tubuh ramping Sharon di atas tempat tidur.
"Jangan, Alaska! Jangan sekarang! Mama lagi nungguin- eumh!" Sharon refleks membekap mulutnya saat bibir basah Alaska mulai menyesap lehernya sampai meninggalkan bekas.
"Bikin satu yuk, Shar! Khusus hari ini spesial, janji nggak akan lama." Bisikkan panas dari Alaska seolah berhasil menghipnotis Sharon. Sepasang bola matanya yang sayu menatap penuh harap pada Alaska yang tanpa disuruh telah menanggalkan pakaian teratasnya.
"Janji nggak lama?"
"Janji!"
...****...
Sementara itu, di sisi lain, Sevia tampak merungut sampai sesekali menghela napas panjang. Satu menit sekali, matanya pasti melirik ke arah jam dinding yang terpampang besar di ruang keluarga.
"Mama lagi ngapain?" Sapaan lembut dari Vilia, membuat Sevia menoleh.
"Ini, Sharon, istrinya Alaska, putra bungsu Mama. Ditungguin kok, belum dateng juga, ya? Padahal 'kan hari ini kita mau pergi ke butik bareng-bareng."
Vilia tampak mengangguk paham seraya tersenyum simpul. "Ditelepon sekali lagi aja, Mah, kalau gitu." Usul Vilia. Tampak calon mama mertuanya ini berpikir beberapa saat sebelum benar-benar memutuskan.
"Apa jangan-jangan lagi ditahan sama Alaska, ya?" Gumaman Sevia, tak langsung dipahami oleh Vilia. "Ditahan gimana maksudnya?"
"Itu, lho, Vil! Masa kamu nggak paham." Ekspresi ambigu yang Sevia perlihatkan, akhirnya dipahami dengan cepat oleh Vilia. Wanita itu ikut tersenyum gemas menanggapi pernyataan Sevia.
"Bisa jadi!"
"Ekhem. Kalau gitu, ke butiknya nggak jadi?" Tanya Vilia, lembut.
Sevia tampak berpikir beberapa saat. "Kita tunggu sebentar lagi aja. Masih pagi juga. Oh, ya. Kamu udah sarapan? Udah minum obat yang dikasih sama dokter?" Dengan sangat lembut dan perhatian, Sevia bertanya menanyakan kabar Vilia.
Bisa dibilang, Sevia mulai menerima Vilia sebagai calon menantu dan juga calon istri Gibran. Tak segan wanita paruh baya itu untuk memperlihatkan kasih sayangnya yang tak terbatas.
Apalagi mengingat kondisi Vilia yang saat ini tengah mengandung calon cucunya. Sevia semakin tidak bisa untuk bersikap acuh tak acuh.
Pikirnya, biarlah yang terjadi di masa lalu untuk berlalu. Tak ada gunanya diungkit kembali.
"Udah kok, Mah. Obat sama vitaminnya juga udah diminum semua." Kata Vilia. Kepalanya menunduk dengan salah satu tangan terangkat mengelus perutnya yang masih rata.
"Oh, ya, Mah."
"Hm. Kenapa?"
Raut wajah Vilia berganti kaku. Membuat Sevia bertanya-tanya sampai tanpa sadar menyentuh permukaan lengan Vilia.
"Vilia? Ada apa?"
"I-itu. Vilia belum sempat minta maaf sekaligus mengucapkan terima kasih, karena Mama sudah mau menerima Vilia di keluarga ini. Jadi-"
"Vilia! Mama sudah melupakan semua yang terjadi di masa lalu. Itu bukan sepenuhnya salah kamu. Tapi salah Gibran juga. Harusnya Mama yang minta maaf. Gara-gara putra sulung Mama, Gibran, kamu jadi seperti ini. Kamu mau 'kan maafin Mama juga?"
Sekali lagi, Vilia merasa terenyuh berkat ucapan Sevia. Berhat hal itu pula, Vilia merasa kembali memiliki sosok ibu yang teramat menyayanginya. Karena pada dasarnya, Vilia tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu dari sejak lahir.
Bahkan, ibu angkat yang mengadopsinya dari usia tujuh tahun pun telah diambil oleh Tuhan. Padahal, Vilia masih ingin disayangi lebih oleh ibu serta ayah angkatnya yang begitu menyayanginya.
"Mama nggak salah. Terima kasih sudah mau menampung Vilia."
^^^To be continued...^^^
happy ending 👍