Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
²³ Testpack
"Maaf Mbak, tapi kemarin udah ada Mas Nata, jadi ku pikir suami Mbak yang lebih berhak merawat Mbak Rifani. Bukan aku, yang hanya tetangga bocil," ucapnya lirih.
"Tapi 'kan, kamu tahu sendiri, seperti apa keadaannya?"
"Maaf, yang kemarin itu 'kan masalah keluarga Mbak Rifani dan Mas Nata, jadi aku merasa gak punya hak untuk ikut campur. Kecuali jikaaa"
Ucapan Arif terhenti saat mendengar suara sendal mendekat.
"Neng, kapan terakhir kali Neng tanggal merah?" tanya Bulek Siti antusias setelah berdiri di antara aku dan Arif.
"Hah?" Seperti paduan suara, aku dan Arif mengeluarkan suara sama di waktu yang bersamaan pula.
Apa yang di maksud Bulek siti? Kenapa beliau menanyakan tanggal merah?
"Tanggal merah apaan, sih, Mak? Terakhirnya ya kemarin lah, sekarang 'kan hari senin," celetuk Arif.
"Ah, cowok ikut-ikutan aje. Maksud emak, bukan tanggal merah yang entu, tapi yang atunya lagi. Halah anak laki yang masih bocil minggir sana. Aye mau bicara empat mata ma Neng Rifani." Bulek Siti mengusir Arif, tapi tidak di indahkan oleh pemuda itu.
"Kapan, Neng? Itu 'kan, pas Neng beli roti tawar di mari itu 'kan?" tebak Bulek siti dengan antusias menatap wajahku.
"Iya itu, Bulek," jawabku sambil mengingat-ingat. Menghitung mundur tanggal haid terakhirku.
"Jangan-jangan, Neng Rifani sedang hamil?" tanya Bulek Siti antusias dengan suara keras.
"Hah?" Aku terkejut di buatnya.
Aku dan Arif saling bertabrak pandang.
Benarkah aku hamil? Setelah penantian selama tiga tahun, akhirnya aku bisa hamil juga? Aku seperti tidak percaya. Ku cubit lengan Arif untuk memastikan ini mimpi atau bukan.
"Aww, sakit Mbak." Oh, ternyata aku tidak mimpi.
"Iya Neng, mual-mual saat mencium aroma tertentu itu adalah salah satu tanda-tanda kehamilan. Coba aja beli testpack, siapa tahu beneran hamil."
"Hmm, kalo gitu saya pamit pulang dulu, Bulek," ucapku setelah mencuci piring bekas makanku tadi.
"Oh iya, Rif. Hoodie nya belum saya kembalikan, masih kotor dan bau badanku. Nanti ku kembalikan kalau udah saya cuci, yaa."
"Sebenernya, ga usah di cuci juga gapapa, loh, Mbak."
"Ih, mana boleh seperti itu. Eh, by the way parfum kamu apa sih, Rif? Kok seger banget. Tadi pagi aja, pas saya mual-mual saat perjalanan pulang, Hoodie mu bisa jadi obat penenang loh, saking segernya."
"Ya gimana ya, Mbak. Tanpa parfum pun, tubuhku udah menghasilkan aroma wangi. Hehehe."
"Dih, Arif... oh iya, ini ongkos untuk nganterin saya ke Bogor kemarin, Rif. Makasih banyak ya."
Ku angsurkan amplop putih ke tangan Arif.
"Gak perlu, Mbak. Aku ikhlas kok bantuin Mbak kemarin."
Arif hendak mengembalikan amplop tersebut, tapi berhasil ku tahan,
"Udah gapapa, Mbak juga ikhlas kok, ngasih tips buat Arif."
Aku segera bertolak pulang. Sesampainya di rumah, aku segera mengecek hari terakhir haid yang selalu ku catat pada kalender meja. Tanggal dua puluh lima Agustus.
Sedang sekarang tanggal dua puluh september. Berarti aku sudah telat dua hari, karena biasanya siklus haidku selalu maju satu minggu.
Saking bahagia nya atas praduga yang belum jelas kebenaran nya, aku langsung menghubungi nomor suami.
"Halo, Sayang." Langsung di angkat pada panggilan pertama.
"Mas, saya boleh nitip sesuatu?"
"Iya boleh, dong. Memang nya mau titip apa? Pengen makan apa?"
Dia antusias menanyai keinginan ku. Mungkin di kiranya, aku ingin makan sesuatu.
Mas, saya nitip di belikan test pack yang paling akurat yaa."
"Test pack? Jadi kamu beneran sudah hamil, Sayang?"
Dari suara yang ku tangkap, aku bisa membayangkan jika sekarang mata Mas Nata sedang berbinar dan wajah nya menghangat karena bahagia.
"Saya menduga seperti itu, Mas. Nanti kita lihat hasilnya sama-sama yaa."
"Siap, Sayang. Saya akan segera pulang. Muuach!"
Beneran sudah hamil? Aku merasa ada yang mengganjal pada kalimat Mas Nata tadi. Dari kalimatnya, seolah dia sudah lebih dulu tahu jika aku hamil.
Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Mungkin, sama seperti Bulek Siti tadi, dia juga menduga-duga kalau aku hamil, ketika aku mual-mual di dalam mobil tadi. Namun, tidak berani mengungkapkannya padaku.
Selang beberapa menit, Mas Nata pulang dengan membawa banyak makanan dan minuman. Di taruhnya semua belanjaan nya itu di meja ruang tamu. Tersisa satu plastik dari apotek dan membawanya ke arahku.
"Sayang, ayo kita test sekarang. Saya udah nggak sabar."
"Iya, ayok, Mas."
Rasa bahagia yang menghampiri seolah menjadi oase di tengah padang pasir, hingga aku melupakan apa yang telah Mas Nata perbuat di belakang ku kemarin.
Aku masuk kamar mandi yang berada di dalam kamar, sementara Mas Nata menungguku di bibir ranjang.
"Udah Yang?"
Entah sudah berapa kali, pertanyaan itu di layangkan oleh suamiku. Dia sudah tidak sabar menunggu hasilnya. Aku juga menunggu dengan tidak sabar hasil test pack yang saat ini ku pegang.
Sudah sepuluh menit aku menunggu setelah benda panjang dan tipis itu ku celupkan pada cairan pipis dalam wadah, tapi benda tersebut hanya menunjukkan garis keunguan yang samar.
Aku tidak tahu, jika garis seperti ini, berarti hasilnya bagaimana? Akhirnya aku keluar dari kamar mandi dan menunjukkan benda panjang tersebut pada suami. Dia pun sama sepertiku, juga tidak bisa membaca hasilnya.
"Ya udah, dari pada penasaran, mending kita pergi ke dokter kandungan saja, Yang."
"Sekarang?"
"Iya, sekarang. Saya tidak sabar mendengar penjelasan dokter jika kamu memang sudah hamil."
Mobil Mas Nata meluncur ke jalan raya, membelah senja. Di sepanjang perjalanan, jemari kirinya tidak pernah berhenti menggenggam jemari kananku, sesekali meremasnya.
Hingga kami tiba di sebuah klinik ibu dan anak yang berada di pinggir keramaian kota. Keramaian tampak di area lobi, mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing. Aku dan Mas Nata berjalan beriringan menuju tempat pendaftaran pasien.
"Yang, kamu menunggu sambil duduk di sana saja. Biar saya yang mendaftarkannya."
Aku menurut, menghampiri tempat duduk yang di tunjuk oleh suamiku tadi.
Setelah mendaftarkan namaku, Mas Nata mengajak ke ruang tunggu di depan poli obgyn. Ada beberapa pasang lelaki dan perempuan yang lebih dulu mengantre di sana. Kami duduk di tempat yang masih kosong.
Hati ini rasanya tidak menentu dan gelisah. Berada di tempat ini untuk konsultasi ke dokter kandungan dan memeriksakan rahim ku, sudah sering kami lakukan dan hasilnya selalu belum bisa membuat kami tersenyum.
Akankah hari ini kami akan mendapat kabar bahagia? Namun, bagaimana jika hasilnya justru membuat harapan kami pupus lagi?