Dinda Lestari baru saja diterima di sebuah Perusahaan Multinasional sebagai Intern. Di hari pertamanya bekerja, seorang pria dewasa menarik perhatiannya. Dia adalah Arya Pradana, Kepala Divisi Business and Partners yang kabarnya sudah pernah menikah dan bercerai. Dia cerdas, berwibawa, dan tegas.
Baru beberapa minggu bekerja, Bunda Dinda menjodohkannya dengan putera temannya, penyelamat keluarga mereka saat diambang kehancuran dulu. Siapa sangka putera yang dimaksud adalah Arya Pradana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hermosa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Menginap Dadakan di Hotel Bagian 2
Malam itu jalanan kota memang sedang macet parah karena ada acara musik. Konsep dan bintang tamu juga papan atas. Alhasil semua orang keluar memadati area dan menciptakan keramaian di titik jalan yang rawan macet.
Ditambah lagi, acara diadakan di hari kerja dan waktu genting pulang kerja. Akibatnya, semua kendaraan berkumpul di satu jalur dan sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
“Arya, meetingnya di percepat jadi jam 8. Sorry, gue baru bisa ngabarin karena asli gue juga baru dapat kabar dari babe.”, Erick dengan suara ngos - ngosan mengabari Arya. Ia ternyata sedang berada di tempat Gym.
Pak Erick tinggal di gedung apartemen yang bersebelahan dengan kantor. Dia berencana akan melakukan olahraga rutinnya di gym sebelum akhirnya kembali ke kamar untuk meeting. Tetapi, reschedule yang tiba - tiba itu membuatnya harus menghentikan aktivitasnya.
“Waduh gue masih di jalan. Macet banget.”, kata Arya dari seberang sambungan telepon.
“Ya udah lo minggir ato gimana deh. Tadi gue denger berita kayaknya itu macet bakalan panjang. Bisa nyampe rumah jam 12, loh!.”
Disitulah awal permasalahan ini muncul.
Dinda sudah masuk ke kamar mandi. Setidaknya itulah yang dilihat Arya. Diapun mulai melanjutkan meetingnya. Tak terasa mereka sudah menghabiskan waktu 1 jam untuk meeting. Mereka sepakat untuk break 15 menit dan lanjut lagi.
Arya hendak masuk ke kamar mandi. Ia ingin mencuci wajah-nya yang sudah berminyak dan membuatnya tidak nyaman. Sayangnya, Dinda masih belum terlihat keluar dari kamar mandi. Akhirnya, Arya memutuskan untuk menunggu di depan kamar mandi sebelum insiden dahsyat itu terjadi.
Baru saja Arya sampai di depan pintu kamar mandi, Dinda sudah seperti akan terbang keluar. Gadis itu menabrak dada bidangnya sangat keras. Beruntung dia rajin berolahraga sehingga tubuhnya sudah seperti gapura kabupaten yang sangat kuat menahan berat gadis itu yang sudah seperti sapu terbang.
“Bisa gak sih gak huru ha--ra….”, Arya masih akan melanjutkan perkataannya, tetapi sesuatu yang lebih urgent harus dilakukannya. Efek dari tabrakan yang begitu kuat membuat bagian pengatup handuk Dinda terbuka.
Arya dengan sigap menangkap Dinda agar katupan handuk itu tidak terjatuh. Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Berkat kalkulasi dan gerakan refleksnya, handuk Dinda aman dan masih melekat sempurna. Hanya perlu dikatup lagi saja.
“Katup dulu.”, ucap Arya sambil terus melihat ke atas.
Namun, Dinda sudah keburu kaget dengan aksi ninja suaminya.
“Din, kamu mau menggoda saya lagi?”, tanya Arya menyadarkan lamunan Dinda.
“Oh? Ah.. Ehem.”, Dinda dengan cepat segera mengatupkan handuknya.
Setelah itu, Arya segera melepaskan pelukannya.
“Cepat pakai ini.”, Arya segera mengambil handuk kimono yang ada di sisi kanannya dan menaruhnya di kepala Dinda. Ia kemudian berinisiatif untuk balik badan.
“Oh shit.. ”, ternyata saat berbalik, didepan Arya ada kaca yang sama tingginya dengan dirinya, sehingga meskipun berbalik ia tentu tetap masih bisa melihat pantulan Dinda dari cermin.
“Saya tutup mata, kok. Cepet masuk kamar mandi dan pakai handuk kimono-nya.”, ucap Arya setelahnya.
‘Arya.. Arya… bisa cool sedikit gak sih. Udah jadi istri kamu, juga.’, ujar Arya merutuki dirinya dalam hati sambil menggaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal.
‘Lagian juga masih bocah. Hah… mungkin efek belum makan terus harus meeting lagi malam.’, bathin Arya.
“Din.. bisa buruan ga, sih? Saya cuma bisa istirahat 15 menit dan mau pakai kamar mandi, nih. Kamu mandi atau bersemedi sih? Lama banget.”, nada gentle Arya berubah menjadi omelan hanya jarak beberapa menit saja.
“Iyaa..”, teriak Dinda dari dalam.
“Udah siap, Pak. Maaf. Bapak bisa pakai kamar mandinya sekarang.”, kata Dinda sambil berlalu dari hadapan Arya.
Arya menggeleng - gelengkan kepalanya. Dia bisa melihat jelas, wajah Dinda sudah seperti kepiting rebus sekarang.
“Kemaren, kamu taruh selusin lingerie di kasur. Sekarang, kamu buka - bukaan. Masih ga mau ngaku kalau kamu sedang menggoda saya?”, mendadak Arya kepikiran untuk mengerjai gadis ini.
Dia tahu betul insiden tadi sepenuhnya kecelakaan. Tapi, seru juga menjahili Dinda, pikirnya.
“Maksud Bapak? Insiden lingerie itu saya bisa jelaskan. Dan yang barusan di luar kendali saya. Lagian Bapak kenapa nongkrong di depan pintu?”, Dinda memicingkan matanya karena menaruh curiga pada Arya.
“Saya sudah 1 jam meeting dan kamu masih di dalam. Kamu kira saya pohon, ga perlu ke kamar mandi? Lewat fotosintesis aja, gitu?”, jawab Arya.
“Ya sudah, sana pakai baju. YANG LENGKAP. Gak lengkap, saya unboxing kamu.”, lanjut Arya dan segera berlalu melanjutkan meetingnya.
‘Idih aneh banget sih.. Namanya pake baju, ya pasti lengkap, lah. Aneh banget.’, gerutu Dinda dalam hati.
‘Lagian hotelnya juga aneh. Harusnya handuk kimono itu di dalam kamar mandi ga sih, harusnya? Kenapa malah di lemari luar? Hm? Apa memang aslinya di luar ya?’, Dinda malah tenggelam dalam kebingungannya sendiri.
Malam itu, meeting Arya berlangsung lebih lama dari perkiraan. Hal ini membuat Arya berinisiatif meminta Dinda memesan makanan cepat saji menggunakan aplikasi. Gadis itu sudah bolak balik mengintip Arya seperti sedang memeriksa kapan meetingnya akan selesai.
Lagi - lagi dia meminta Dinda untuk memesan dengan cepat menggunakan ponsel pribadinya. Sebenarnya dia juga sudah lapar.
“Selamat malam. Maaf mengganggu waktunya. Apa benar Ibu memesan makanan cepat saji?”, suara resepsionis disana sedang memastikan.
“Iya mba. Sudah datang ya makanannya? Boleh dititip di resepsionis dulu ga mba? Nanti saya jemput ke bawah.. Itu sudah dibayar online jadi mas yang antar bisa tinggal di resepsionis, aja. Ini sebentar lagi saya turun mau ambil.”, kata Dinda sambil mempersiapkan pakaiannya.
“Din, makanannya udah datang?”, Arya memanggil dari kamar mandi. Dia baru saja selesai mandi setelah berkutat lama dengan meetingnya.
“I-iya Pak, barusan aja datang.”, tiba - tiba Dinda menjawab dengan terbata - bata.
Ternyata Arya malah tidak mengenakan atasannya dan Dinda langsung kena mental karena kaget.
“Ya udah hayok diambil.”, kata Arya mengambil kaos oblongnya dan langsung mengenakannya.
Sepertinya pria itu tidak sadar kalau wajah Dinda sudah kemerahan karena salah tingkah.
‘Dia tidak anggap aku ada atau dia tidak anggap aku wanita? Kenapa semudah itu sih. Di rumah juga. Argh… aku kan belum terbiasa.’, teriak Dinda dalam hati.
“Gapapa pak, biar saya aja yang ambil.”, kata Dinda merasa tidak nyaman.
Sepertinya akan lebih nyaman kalau dia turun sendirian. Di hotel. Berdua dengan Arya. Dinda sampai sekarang masih mengira ini hanya halusinasi saja.
“Itu kantongnya ada 4, kamu bisa bawa? Lagian udah malam. Koridor hotel udah sepi. Kamu mau tiba - tiba ditarik om - om ke kamarnya?”, kata Arya sedikit menakut - nakuti Dinda.
‘Masa sih?’, bathin Dinda tidak percaya.
“Ga percaya? Ya udah ambil sendiri. Saya tunggu disini. Saya juga malas bawa sendiri. Awas lama. Saya lapar.”, kata Arya bersiap masuk lagi sebelum akhirnya Dinda menahan Arya dengan menarik sedikit bagian kaosnya.
“Iya iya Pak. Bareng aja ambilnya. Tadi perasaan pesannya gak banyak. Tapi kalo dipikir - pikir banyak juga. Kan buat berdua.”, Dinda hanya bisa tersenyum tipis.
Komunikasi mereka yang semakin intens beberapa waktu terakhir membuatnya lebih berani sekarang.
“Halo.. Iya rick? Udah selo - selo. Gue akhirnya cari hotel.”, rupanya ada telpon masuk dari Erick.
“Gila lo. Mana sempet gue tidur ama cewe. Ada - ada aja. Yang ada elu.”, masih suara Arya.
Dinda sedikit bergidik dengan pembicaraan mereka.
“Lagian, kalo iya gue tidur sama cewe, memang kenapa? Lo mau kesini buat mastiin? Besok baru sampe. Ini gue nyampe sini aja 3 jam dari kantor.”, Arya masih melanjutkan.
‘Apa - apaan sih pembicaraan mereka. Gak lucu banget becandaan-nya.’, Dinda hanya bisa bergumam dalam hati.
Dinda memutuskan untuk tidak menghiraukan meski dalam hati dia terus berkomentar.
“Ya udah, gue mau makan. See you tomorrow, di kantor!’, Arya segera menutup telponnya.
Di lobi hotel...
“Oke, udah lengkap. Makasih ya.”, kata Arya pada resepsionis.
Ia langsung membagi dua kantong pada Dinda dan dia memegang dua kantong sisanya.
Ternyata benar, bawaannya lumayan banyak. Dinda tidak tahu makanan yang dipesan Arya meski dia yang memesankan di ponsel pria itu.
Namanya baru sekali ini dia dengar. Dia kira porsinya kecil. Ternyata besar juga.
“Ya udah jalan duluan. Saya gak bisa tekan lift. Kamu yang tekan.”, perintah Arya.
Dinda mulai kesal. Dari mobil tadi, Arya terus memerintahnya melakukan ini dan itu. Masih mending dia mengatakannya dengan nada santai. Tetapi kebanyakan, Arya malah bersikap sebaliknya.
Pria itu meminta Dinda untuk terus bergerak cepat. Seolah - olah mereka sedang ada di medan perang. Tapi apalah daya, Dinda hanya bisa tersenyum dan melakukan perintah.
Sementara itu, dari kejauhan, nampak Suci yang sedang melambai pada seseorang...
‘Loh, itu bukannya pak Arya? Sama siapa tu? Cewe, tapi mukanya ga begitu jelas. Adiknya? Kayanya dia ga pernah punya adik cewe. Pacarnya? Ato istrinya? Dia kan udah cerai, jadi gak mungkin itu istrinya.’, Suci masih saja tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Ci, kamu ngeliatin apaan sih sampe pacarnya sendiri dianggurin.”, kata pria diseberang sana.
Dia adalah pacar Suci. Suci datang ke hotel ini untuk bertemu dengannya dan makan malam di luar. Pria itu dari luar kota dan menginap di hotel ini.