[Cerita ini hanyalah khayalan Author sahaja, maklum masih pemula.]
Mengisahkan tentang seorang pekerja keras yang rela mengorbankan segalanya demi menyelesaikan tugasnya. Namun, karena terlalu memaksakan diri, dia tewas di tengah-tengah pekerjaannya.
Namun takdir belum selesai di situ.
Dia direinkarnasi ke dunia sihir, dunia isekai yang asing dan penuh misteri. Sebelum terlahir kembali, sang Dewa memberinya kekuatan spesial... meskipun Rio sendiri tidak menyadarinya.
Tujuan Rio di dunia baru ini sederhana, ia hanya ingin melakukan perjalanan mengelilingi dunia, sesuatu yang tak pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya. Tapi tanpa disadarinya, perjalanan biasa itu akan membawanya ke takdir besar…
Di masa depan yang jauh, Rio akan berdiri sebagai sosok yang menentang Raja Iblis Abyron.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KHAI SENPAI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan dari seorang ibu
Malam itu, setelah latihan bersama Laira…
Rio berjalan pelan menuju bak mandi air panas di belakang rumah. Seluruh tubuhnya terasa pegal, sisa dari duel keras yang tadi siang masih terasa di otot dan tulangnya.
Saat uap hangat mulai menyelimuti wajahnya dan kaki menyentuh permukaan air, dia menghela napas panjang.
“Ahh… ini nikmat banget…” gumamnya lirih, merebahkan tubuh perlahan ke dalam air, membiarkan kelelahan larut bersama suara gemericik.
Sementara itu, Laira...yang telah selesai mandi lebih dulu, duduk di ruang tengah, mengeringkan rambut panjangnya. Mata gurunya itu masih terlihat lelah, tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya, puas dengan perkembangan muridnya hari ini.
Di dapur, Akagami Arleya..ibu Rio, sedang mengaduk sup dengan gerakan pelan dan anggun. Wajahnya teduh, hangat, dan dipenuhi senyum keibuan saat mencicipi kuah panas yang mulai matang.
Di sisi lain rumah, Akagami Zero, ayah Rio, tengah berjalan seorang diri di pinggiran hutan. Matanya tajam menyapu bayangan pepohonan, tubuhnya tegak seperti bayangan diam yang siap memburu. Aura tenangnya menyimpan kesiapan tempur.
“...Sejauh ini aman,” bisiknya. “Tapi instingku bilang… belum selesai.”
Langit malam yang terlihat tenang seolah menyembunyikan bahaya.
Di dalam air panas, Rio mengangkat wajahnya, embun menempel di alis dan rambutnya. Ia tersenyum kecil.
“Besok… aku akan bertarung lawan ayah,” gumamnya. “Kali ini… aku nggak akan kalah.”
Namun jauh dari rumah Akagami…
Di sebuah ruang bawah tanah yang kelam, diterangi cahaya merah dari kristal sihir, seorang pria bertubuh besar berdiri dikelilingi oleh pengikut-pengikutnya. Pemimpin kelompok penjahat, wajahnya gelap dan penuh bekas luka, tampak murka.
"SIAPA YANG MENGALAHKAN KAMU HAH?!"
Salah satu bawahannya, tubuhnya dipenuhi luka dan darah kering, berlutut dengan kepala menunduk.
"M-maafkan saya... Tuan..."
Mata pemimpin itu menyala garang. Dentuman suaranya mengguncang ruangan.
"AKU TANYA, SIAPA NAMANYA?!"
Sang bawahan menggertakkan gigi, lalu berkata dengan suara gemetar:
"A-anak dari Akagami Zero... Yang mengalahkan aku… adalah anaknya sendiri..."
Ruangan langsung sunyi.
Pemimpin itu mendesis pelan… lalu menggertakkan gigi dengan amarah membara.
"KAU DIKALAHKAN OLEH ANAK KECIL?!"
Tangannya menghantam meja batu dengan kekuatan besar, meja itu retak hingga ke lantai.
Dengan suara berat dan dalam, dia mengumumkan:
"Kalau begitu… BIAR AKU YANG TURUN TANGAN. AKU SENDIRI YANG AKAN MENGHABISI ANAK ITU...!"
Aura gelap meledak dari tubuhnya, menggulung seisi ruangan. Para pengikutnya segera berlutut dalam-dalam, ketakutan.
"TUNGGU AKU, ANAK DARI ZERO... KITA AKAN SEGERA BERTEMU."
Malam itu di ruang makan keluarga Akagami…
Sinar lilin menari-nari di atas meja kayu panjang. Di sekelilingnya duduk Rio, Zero, Arleya, dan Laira, sosok yang tak lagi hanya menjadi guru, tapi bagian dari keluarga.
Sup buatan Arleya mengepul di atas meja, mengisi ruangan dengan aroma rumahan yang menenangkan. Seorang pelayan berdiri di sudut ruangan, menjaga suasana tetap tertib.
Rio, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara.
"Ayah... bolehkah aku pergi ke kota setelah usiaku lima belas?"
Zero menghentikan suapan. Dia menoleh, lalu meletakkan sendok dengan pelan.
“Kau mau ke kota untuk apa?”
Rio mengepalkan tangannya, matanya bersinar penuh tekad.
"Aku… ingin jadi Assassin terkuat sepanjang sejarah. Aku ingin memburu penjahat, siapapun yang menghancurkan kedamaian dunia."
"Itu... tekadku, ayah."
Hening sejenak.
Laira menatapnya dalam diam. Arleya berhenti mengaduk sup, menatap putranya yang kini bicara seperti lelaki dewasa.
Zero tak berkata apa pun. Tapi akhirnya, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya.
“Kalau itu keinginanmu…” katanya pelan, “Maka latihlah dirimu lebih keras dari siapa pun. Karena dunia di luar… tidak akan semudah yang kau pikirkan, Rio.”
Rio mengangguk.
“Aku tahu, Ayah. Tapi aku akan hadapi semuanya. Dengan caraku.”
Setelah makan malam…
Malam makin larut. Cahaya bulan menyelinap dari jendela kamar, melukis bayangan pohon di lantai kayu.
Rio duduk di sisi ranjang, termenung. Pikirannya jauh, tentang kota yang belum ia injak, tentang pertarungan, tentang harapan... dan tentang jalan yang dipilihnya sendiri.
Tok tok.
"Rio... boleh ibu masuk?"
Suara lembut Arleya terdengar dari balik pintu.
"Iya, Ibu..." jawab Rio, sedikit terkejut.
Arleya masuk perlahan, lalu duduk di sebelahnya. Kamar itu sunyi, hanya ditemani semilir angin dari luar.
Ia menatap putranya dalam diam, senyum lembut terbit dari wajahnya yang penuh kasih.
"Rio… setelah umurmu lima belas nanti… dan jika kau memang akan pergi ke kota… Ibu cuma minta satu hal..."
Rio mengangguk pelan. "Apa itu, Ibu?"
Arleya menarik napas, menahan getaran emosi.
"Jangan pernah lupakan kami… dan jangan pernah mati di luar sana."
Nada suaranya bergetar. Tapi ia tetap tersenyum.
"Ibu dan ayah sangat menyayangimu. Ayahmu mungkin tidak banyak bicara, tapi dia bangga... sangat bangga padamu, Rio."
Rio menunduk, matanya mulai panas. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat.
“Ibu… aku janji. Aku akan kembali. Aku nggak akan mati.”
Arleya mengangguk pelan, menatap mata anaknya dengan air yang menggenang.
"Itu saja yang Ibu minta… Pulanglah sebagai pahlawan. Bukan… nama di batu nisan."
Malam itu, dua sosok duduk bersisian, ibu dan anak, saling memeluk dalam keheningan, dalam kasih yang tak bisa digantikan oleh dunia mana pun.
Cahaya bulan terus menyinari mereka… seolah dunia pun turut mendoakan langkah yang akan segera dimulai.
lanjut