Bercerita tentang seorang pekerja kantoran bernama Akagami Rio. Ia selalu pulang larut karena ingin menyelesaikan semua pekerjaannya hingga tuntas. Namun, takdir berkata lain. Ia meninggal dunia karena kelelahan, dan direinkarnasi ke dunia lain sebagai Assassin terkuat dalam sejarah.
Mari baca novelku, meskipun aku hanya menulis dengan imajinasi yang masih sederhana ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KHAI SENPAI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan dari seorang ibu
Malam itu setelah latihan bersama Laira…
Rio berjalan perlahan menuju bak mandi air panas, tubuhnya masih terasa pegal setelah duel intens siang tadi. Uap hangat mulai menyelimuti wajahnya saat dia mencelupkan kakinya ke dalam air.
“Ahh... ini nikmat banget...” gumamnya sambil merebahkan tubuh ke dalam air, membiarkan rasa lelahnya larut bersama uap yang mengepul.
Sementara itu, Laira sudah selesai mandi lebih awal, kini sedang duduk santai di ruang tengah sambil mengeringkan rambutnya. Di dapur, ibu Rio, Akagami Tasya, terlihat sibuk mengaduk sup panas sambil sesekali mencicipi masakan dengan senyum keibuan di wajahnya.
Di sisi lain, Akagami Zero, ayah Rio, berjalan sendirian di pinggir hutan yang mengelilingi rumah mereka. Matanya yang tajam meneliti tiap bayangan pohon, berjaga-jaga dari kemungkinan kemunculan musuh seperti slime bayangan yang pernah menyerang sebelumnya.
“Hm… sejauh ini aman. Tapi aku harus tetap waspada,” bisik Zero dengan aura dingin khasnya sambil memandang langit malam.
Di dalam rumah, Rio mengangkat wajahnya dari air panas, sedikit tersenyum.
“Besok… aku akan bertarung melawan ayah… Aku nggak akan kalah,” gumamnya pelan, semangat mulai membara lagi di dalam hatinya.
Namun di balik malam yang tenang itu…
Di sebuah lokasi tersembunyi yang gelap dan penuh aura mencekam, pemimpin kelompok penjahat berdiri di tengah ruangannya, dikelilingi oleh pengikut-pengikutnya yang membungkuk penuh rasa takut. Cahaya merah dari kristal sihir di langit-langit membuat suasana terasa semakin panas.
Dengan suara menggelegar, dia membentak penuh amarah.
"SIAPA YANG MENGALAHKAN KAMU HAH?!"
Salah satu bawahannya yang terluka parah berlutut di hadapannya, tubuhnya masih penuh bekas serangan dari pertarungan sebelumnya. Dia gemetar saat menjawab.
"M-maafkan saya… Tuan…"
Pemimpin itu menatapnya tajam, matanya penuh kemarahan dan kekecewaan.
"AKU TANYA, SIAPA NAMANYA?!!"
Penjahat itu menunduk dalam, suaranya bergetar saat akhirnya menjawab.
"A-anak dari Akagami Zero… Yang mengalahkan aku… adalah anaknya sendiri…!"
Seisi ruangan seketika menjadi sunyi. Mata pemimpin itu membelalak, lalu mulutnya mengerang geram.
"DASAR BODOH… KAU DIKALAHKAN OLEH ANAK KECIL?!!" teriaknya sambil menghantam meja batu hingga retak.
Kemudian, dengan suara dalam dan mengancam, dia berkata lagi:
"Kalau begitu… BIAR AKU YANG TURUN TANGAN.
AKU SENDIRI YANG AKAN MEMBUNUH ANAK ITU…
SEBAGAI PELAJARAN KARENA BERANI MELAWAN KITA!!"
Aura gelap meledak dari tubuh pemimpin itu, menyelimuti seisi ruangan. Para bawahannya langsung bersujud, takut akan kekuatan tuan mereka yang mengerikan.
"TUNGGU AKU, ANAK DARI ZERO... KITA AKAN SEGERA BERTEMU!!"
Malam itu di ruang makan keluarga Akagami...
Cahaya lilin menyinari meja makan panjang dari kayu hitam mengkilap. Di sekeliling meja itu, duduk Akagami Rio, ayahnya Zero, ibunya Tasya, dan Laira, sang guru muda yang kini sudah menjadi seperti keluarga sendiri. Di samping ibunya berdiri seorang pembantu rumah tangga dengan sikap hormat, siap membantu bila diperlukan.
Mereka semua sedang menikmati makan malam sederhana namun hangat. Aroma masakan ibunya memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang nyaman.
Rio menatap ayahnya yang masih makan, lalu memberanikan diri bertanya.
"Ayah... apa aku boleh pergi ke kota setelah umurku 15 tahun nanti?" katanya dengan nada serius.
Ayahnya menoleh perlahan sambil tetap mengunyah makanan. Lalu dia meletakkan sendoknya di mangkuk dan bertanya balik.
"Kau mau apa pergi ke kota?"
Rio mengepalkan tangannya di atas meja, wajahnya dipenuhi tekad.
"Aku... ingin menjadi Assassin terkuat dalam sejarah, dan memburu setiap penjahat yang menghancurkan kedamaian dunia ini!"
"Itu tekadku, ayah!"
Suasana meja makan mendadak sunyi. Laira terdiam, menatap Rio. Ibunya pun berhenti menyendok sup, menatap wajah putranya yang bersinar dengan semangat.
Zero menatap Rio lekat-lekat.
Kemudian...
Ia tersenyum kecil.
"Kalau itu memang keinginanmu..." katanya perlahan, "Maka latihlah dirimu lebih keras dari siapapun. Karena dunia luar tidak akan semudah yang kau bayangkan, Rio."
Rio mengangguk, penuh semangat.
"Iya, ayah! Aku akan buktikan itu!"
Setelah makan malam…
Malam telah larut. Cahaya bulan menembus jendela kamar Akagami Rio, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu. Di dalam kamar, Rio duduk termenung di sisi tempat tidurnya. Pandangannya kosong menatap lantai, namun pikirannya melayang jauh, tentang masa depannya, tentang ambisinya menjadi Assassin terkuat, dan tentang dunia yang belum pernah ia lihat sendiri.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan.
Tok tok.
"Rio... boleh ibu masuk?" terdengar suara lembut ibunya, Tasya.
"Iya, ibu…" jawab Rio sambil berbalik perlahan.
Ibu Rio masuk dengan langkah tenang, lalu duduk di samping putranya. Suasana kamar menjadi sunyi sejenak, hanya suara angin malam yang mengalun dari celah jendela.
Tasya menatap wajah Rio yang mulai tampak dewasa meski usianya masih muda.
Lalu, dengan suara lembut namun penuh perasaan, ia berkata:
"Rio... setelah umurmu 15 nanti, dan jika kau benar-benar pergi ke kota... ibu cuma minta satu hal..."
Rio menatap ibunya.
"Apa itu, ibu?"
"Jangan pernah lupakan kami, orang tuamu. Dan... jangan pernah mati di luar sana, Rio."
Nada suara ibunya mulai bergetar, namun ia tetap tersenyum.
"Karena ibu sangat menyayangimu... dan ayahmu juga. Meskipun dia jarang menunjukkan, tapi dia bangga sekali padamu."
Rio terdiam. Dadanya terasa hangat dan sesak dalam waktu bersamaan.
Ia menunduk, lalu menggenggam tangan ibunya.
"Ibu... aku janji. Aku akan kembali. Aku nggak akan mati."
Tasya mengangguk pelan, menahan air mata yang hampir tumpah.
"Itu saja yang ibu minta... pulanglah sebagai pahlawan, bukan nama di batu nisan."
Malam itu, keduanya duduk diam di tepi ranjang, dikelilingi cahaya bulan dan keheningan yang mengikat mereka dalam kasih seorang ibu dan anak.
Maaf kalau ada komentar yang kurang sreg.
Misal kalau dia adalah orang yang dulunya OP dan ingin membangkitkan kembali kekuatannya untuk balas dendam. itu bisa dimengerti dibanding dia yang dulunya hanya kerja kantoran aja udah repot dan banyak mengeluh.
Dia pasti motivasinya bisa hidup lebih santai menikmati dibanding sebelumnya yang terlalu sibuk bekerja.