 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 24
Aprilia tiba di rumah, hatinya berdebar kencang. Ia segera menghampiri Zio, bocah lelaki yang kini sudah dianggapnya seperti adik sendiri.
Dengan lembut, Aprilia memegang kedua pundak Zio, menatapnya dengan tatapan memohon. "Zio, bisa janji sama Kak April? Jangan cerita ke Papah soal kejadian di Mall tadi siang, ya? Kak April takut Papah marah," bisiknya lirih.
Zio tampak berpikir keras. Dalam benaknya, terbayang suster yang menjaga nya dulu yang tiba-tiba menghilang karena dimarahi Yuka.
"Kalau Papah marah, pasti Kak April dipecat seperti susterku dulu" batinnya cemas.
Akhirnya, Zio mengangguk mantap, senyum kecil menghiasi wajahnya yang polos. Aprilia menghela napas lega, senyumnya merekah.
Belum lama mereka berdua terdiam, suara deru mobil memasuki pekarangan rumah memecah keheningan sore.
"Itu suara mobil Papah!" seru Zio dengan mata berbinar. Tanpa menunggu aba-aba, ia berlari sekencang mungkin menuju pintu, diikuti Aprilia dari belakang.
"Papaaa!" Zio berteriak riang sambil memeluk erat kaki Yuka yang baru saja keluar dari mobil.
"Hai, sayang. Gimana hari ini? Senang?" tanya Yuka sambil mengusap rambut Zio dengan sayang.
"Senang banget, Pa! Aku sama Kak April main di Timezone, seru banget! Lain kali Papa ikut, ya?" pinta Zio dengan nada penuh harap.
"Iya, sayang. Kalau Papa nggak sibuk, nanti Papa ikut, deh," jawab Yuka, berusaha menenangkan hati anaknya.
Aprilia mendekat, menyapa Yuka dengan sopan, "Selamat sore, Pak."
Yuka hanya mengangguk singkat, tanpa ekspresi, seperti biasa. Kemudian, mereka bertiga berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan senja yang mulai merayap di cakrawala.
Malam Hari
Zio sudah terlelap dalam tidurnya, napasnya yang teratur mengisi keheningan kamar. Aprilia keluar perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Namun, begitu ia berbalik, jantungnya berdegup kencang mendapati Yuka berdiri di sana, bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Pak, saya pamit pulang dulu, ya. Besok pagi jam setengah tujuh saya datang lagi," ucap Aprilia, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Kamu tidak jadi menginap?" tanya Yuka, nadanya datar namun menusuk.
"Tidak, Pak. Tadi Vernando menyuruh saya pulang," jawab Aprilia, menjelaskan alasannya dengan singkat.
Yuka terdiam sejenak, sorot matanya sulit dibaca. "Sebaiknya kamu beritahu dia kalau kamu bekerja di sini. Mungkin itu bisa membuatnya sedikit tenang," sarannya, terdengar lebih seperti perintah.
"Iya, Pak. Kalau begitu, saya permisi," ucap Aprilia, merasa tidak nyaman berlama-lama dalam percakapan ini.
"Kamu pulang naik apa?" tanya Yuka, menghentikan langkahnya.
"Taksi, Pak," jawab Aprilia.
"Sudah malam, biar saya antar saja," tawar Yuka tiba-tiba, membuat Aprilia terkejut.
"Tidak perlu, Pak, terima kasih banyak," tolak Aprilia halus, berusaha menjaga jarak.
"Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu," ucap Yuka, tatapannya lurus dan tegas, tidak menerima bantahan.
Aprilia tidak bisa menolak lagi. Ia hanya mengangguk pelan, mengikuti Yuka dari belakang menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Aprilia hendak membuka pintu belakang, namun Yuka langsung menegur.
"Duduk di depan," perintah Yuka singkat.
"Tapi, Pak, saya...." Aprilia mencoba membantah, merasa tidak pantas duduk di samping atasannya.
"Saya bukan sopir," potong Yuka, nadanya datar namun mengandung otoritas.
Aprilia pun menurut, duduk di kursi depan dengan perasaan tidak nyaman. Ruang di antara mereka terasa begitu sempit, aura Yuka begitu kuat hingga membuatnya sulit bernapas.
"Apa kamu sudah lama menikah dengan Vernando?" tanya Yuka, memecah keheningan.
"Baru satu tahun, Pak," jawab Aprilia singkat.
Yuka hanya mengangguk-angguk, seolah sedang menilai sesuatu. "Apa kalian sudah mengadakan pesta pernikahan?" tanyanya lagi.
"Belum, Pak. Kami hanya membuat surat nikah, belum sempat mengadakan pesta. Jadi, yang tahu hanya kerabat dekat saja," jelas Aprilia, merasa sedikit malu.
Yuka kembali mengangguk-angguk, tanpa berkomentar.
Tak lama kemudian, mereka sampai di depan rumah Vernando. Ia segera turun dari mobil, merasa lega bisa keluar dari suasana canggung itu.
"Terima kasih, Pak," ucap Aprilia sopan, menundukkan kepala sedikit.
Yuka hanya mengangguk singkat, lalu melajukan mobilnya, meninggalkan Aprilia di depan rumah.
Aprilia membuka pintu, dan pemandangan yang menyambutnya membuatnya terkejut. Vernando berdiri di ruang tamu, menatapnya dengan tatapan penuh amarah.
"Kenapa Yuka yang mengantarmu pulang?!" tanya Vernando, suaranya meninggi.
"Karena sudah malam," jawab Aprilia, berusaha tenang.
"Apa sekarang kau merasa hebat karena memiliki perlindungan lain?!" tuduh Vernando, matanya menyala-nyala.
"Perlindungan apa?" tanya Aprilia bingung, merasa tuduhan Vernando tidak masuk akal.
"Kenapa kamu bisa bekerja sebagai pengasuh di rumah Yuka? Apa kamu bertemu Yuka di belakangku?" cecar Vernando, emosinya semakin tak terkendali.
"Aku bekerja di rumah Pak Yuka sebelum aku tahu kalau dia sepupumu," jelas Aprilia, berusaha meredakan amarah suaminya.
"Lalu? Sekarang apa kau senang mempermalukanku?! Apa kata orang jika istriku bekerja sebagai pengasuh?!" bentak Vernando, suaranya menggelegar di seluruh ruangan.
"Orang lain tidak akan mengenaliku sebagai istrimu. Tidak ada yang tahu kalau kamu menikah denganku," balas Aprilia, suaranya lirih namun tegas.
"Orang lain tidak tahu, tapi Yuka tahu! Apa pendapat Yuka tentangku! Yang paling penting, Yuka pasti akan mengadukan hal ini pada kakek!" teriak Vernando, wajahnya memerah padam.
"Tenang saja, Pak Yuka tidak akan melakukan itu," ucap Aprilia, berusaha meyakinkan suaminya.
"Kau sangat yakin, Aprilia!" ucap Vernando, mulai mendekati Aprilia dengan tatapan mengancam.
"Apa kau berencana ingin menggoda Yuka? Dengan wajah jelekmu seperti ini, tidak akan berhasil!" hina Vernando, kata-katanya bagai pisau yang mengiris hati Aprilia.
"Aku tidak serendah itu!" jawab Aprilia, sedikit mendorong Vernando menjauh, berusaha melindungi diri dari amarah suaminya.
Aprilia mencoba menghindar, beranjak pergi dari hadapan Vernando yang semakin beringas.
Namun, belum sempat ia melangkah, lengannya dicekal kuat oleh tangan kasar Vernando.
Dengan sekali sentakan, Vernando menghempaskan tubuh Aprilia hingga terjatuh ke lantai yang dingin.
Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, namun hatinya lebih sakit lagi melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya.
"Kau harus berhenti bekerja di rumah Yuka!" ucap Vernando, suaranya menggelegar seperti petir di siang bolong.
"Aku tidak bisa, Vernando. Aku sudah mulai bekerja di sana. Tidak mungkin aku tiba-tiba berhenti tanpa alasan yang jelas," jawab Aprilia, berusaha membela diri.
"Aku tidak mau tahu! Berhenti bekerja!" bentak Vernando, tidak peduli dengan alasan apa pun.
"Tidak! Aku tidak mau!" bantah Aprilia, keberaniannya muncul di tengah ketakutan yang mencekam.
Vernando menatapnya dengan tatapan tajam, penuh amarah yang membara. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Vernando mendekat dan menyeret Aprilia dengan kasar menuju kamar Aprilia yang lusuh dan sempit.
Kamar itu lebih pantas disebut sebagai penjara daripada tempat beristirahat. Vernando mendorong Aprilia masuk ke dalam kamar, lalu membanting pintu dengan keras dan menguncinya dari luar.
"Buka!!! Vernando!! Aku tidak mau dikurung!" teriak Aprilia histeris, memukul-mukul pintu dengan sekuat tenaga.
Air mata mulai membasahi pipinya, bercampur dengan rasa sakit dan ketakutan yang mendalam.
Namun, tak ada yang menghiraukannya. Teriakan dan gedoran pintu Aprilia hanya bergema di dalam kamar yang sunyi. Vernando sudah pergi, meninggalkannya dalam kegelapan dan keputusasaan.
Tubuh Aprilia lemas, ia terduduk di lantai yang dingin, memeluk kedua lututnya erat-erat. Air matanya semakin deras mengalir, membasahi pakaiannya.
Lagi-lagi ia dikurung, diperlakukan seperti tahanan di rumah suami nya sendiri. Kenangan pahit masa lalu kembali menghantuinya, membuatnya semakin terpuruk dalam kesedihan yang tak berujung.
 
                     
                     
                    