(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Kembali
Aku teringat saat Reni menitipkan putrinya padaku.
Dia sudah tahu bahwa akan sulit baginya untuk bertemu dengan Ratu. Selain sibuk bekerja dan sakit hati pada Reno, Yuyun pun tidak mengizinkan mantan istri suaminya itu mendatangi rumah mereka. Reni bilang, Yuyun pernah mengiriminya pesan whatsapp yang bunyinya:
[Kalau kamu mau Ratu diurus Mas Reno, kamu jangan datang lagi. Kalau kamu datang meski untuk urusan anak sekalipun, lebih baik sekalian saja anaknya kamu bawa. Karena aku tidak suka kamu datang ke rumah kami.]
Lucu, ya.
Padahal jelas-jelas Yuyun yang merebut suami orang lain. Tapi sekarang, disaat Reni ingin datang untuk menemui putrinya, dia tidak mengizinkan. Mungkin dia khawatir jika suaminya akan tergoda dengan Reni lagi. Apalagi jika dibandingkan, Reni jauh lebih muda dari Yuyun. Anaknya Reni bahkan masih TK padahal dia menikah muda, sedangkan anak pertamanya Yuyun sudah SMP.
Nyatanya, tak kan ada ketenangan bagi seseorang yang merebut kebahagiaan orang lain. Karena dia pun merasa khawatir jika kebahagiaannya suatu saat akan direbut juga.
Reni juga memintaku segera memberitahu jika sesuatu yang buruk terjadi pada putrinya. Apalagi jika itu disebabkan oleh ibu tirinya. Dan disini, aku agak ragu. Aku tentu tak setuju dengan tindakan Yuyun yang memukul dan mencubit Ratu karena tak membereskan rumah dan mencuci piring. Dia masih 5 tahun, loh. Jika diajari, boleh. Tapi tak perlu sampai membuat anak itu terluka maupun lebam, kan?
Tapi kalau aku memberitahu Reni, apa aku jadi terlalu ikut campur?
Aku mencoba membicarakan hal ini pada Ibunya Reno saat dia datang ke rumahku. Sekalian menanyakan pendapatnya. Tapi sepertinya dia tidak tahu apa yang terjadi pada cucu perempuannya.
"Ah, enggak. Yuyun cuma ngajarin Ratu biar dia terlatih mengerjakan pekerjaan rumah sejak kecil. Enggak apa-apa itu." katanya.
"Tapi Ibu lihat tidak, sih. Tubuh anak itu lebam-lebam, loh?"
Ibunya Reno menatapku. Dia tak langsung menjawab, seolah mempertanyakan apa benar apa yang kukatakan itu.
Aku mendesah pelan.
"Ibu bisa cek, deh. Lengannya, pahanya, semua biru. Ibu mungkin enggak sadar karena sekarang Ratu selalu pakai baju dan celana panjang." kataku lagi.
"Tapi Ratu bilang dia pakai itu karena Ibu tirinya ngajarin dia untuk jangan umbar-umbar aurat." wanita itu masih tampak tak percaya akan kata-kataku.
"Itulah makanya saya bilang. Cek saja sendiri kalau Ibu merasa saya bohong."
Dulu, Ratu memang biasanya hanya memakai singlet dan celana pendek setiap sepulang sekolah. Tapi semenjak ada Yuyun, anak itu langsung berubah penampilan menjadi memakai baju lengan panjang dan celana penjang. Jika alasannya untuk menutup aurat, tentu aku setuju dengan tindakannya. Tapi, siapa yang menduga bahwa mungkin alasannya memaksa Ratu memakai itu adalah agar dia bisa menutupi bukti kekerasan yang selama ini dia lakukan pada putri suaminya itu?
"Nanti saya cek." kata Ibunya Reno.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Apakah dia langsung memeriksa di hari itu, besoknya, atau lusa. Yang pasti, beberapa hari kemudian, Ibunya Reno bercerita kalau Reno akhirnya tahu apa yang istri barunya itu lakukan pada putrinya. Dia pun menjadi sangat marah. Reno bahkan menghajar balik istrinya.
Aku agak syok saat mengetahui hal itu. Karena setahuku selama bersama Reni, Reno tak pernah main tangan.
Mereka memang sudah sering berkelahi sejak awal menikah, tapi hanya sebatas perkelahian mulut saja. Dia memutus nafkah dan mengusir Reni dari rumah pun baru sebulan sebelum mereka bercerai itu. Itu pun karena Reno sudah dimabuk cinta dengan Yuyun.
Sedangkan dengan Yuyun, lihat, baru beberapa bulan menikah saja dia sudah kena pukul oleh suaminya.
Tapi, yah...Reno pun bukannya KDRT tanpa alasan. Bukannya aku membenarkan, tapi syukurlah jika dia masih punya kesadaran untuk melindungi putrinya dari kekejaman Ibu tiri. Jika tidak, dengan sifat Yuyun, mungkin nasib Ratu akan lebih menyedihkan lagi.
[Mbak, katanya Ratu dipukuli ibu tirinya???]
Pesan dari Reni masuk beberapa hari kemudian. Entah bagaimana, dia akhirnya mendengar kabar tentang putrinya itu meski aku belum memberitahunya.
[Iya, Ren. Maaf, ya, Mbak enggak kasih tahu kamu. Tapi Mbak udah bilang ke mertua kamu. Dan dia langsung ambil tindakan, kok.]
[Kurang ajar perempuan itu. Belum lama jadi istrinya Reno saja sudah berani dia memukuli anakku. Akan ku labrak dia besok, lihat saja!]
Aku tersenyum bingung membaca pesan dari Reni. Sudah kuduga, dia pasti akan emosi jika mendengar ini. Wajar, sih. Tapi Yuyun sudah dipukuli oleh Reno dan kejadiannya pun sudah beberapa waktu yang lalu sebenarnya. Tapi sepertinya Reni tidak akan puas jika belum menemui Yuyun secara langsung.
Sebenarnya aku sudah mencoba menenangkannya, tapi... tidak bisa. Reni tetap kukuh pada pendiriannya untuk menemui Yuyun. Aku pun tidak bisa berkata banyak. Akhirnya, seperti yang Reni katakan, dia menemui Yuyun keesokan paginya.
Mereka bertengkar hebat di depan rumah. Aku hanya melihat dari kejauhan, tak mungkin ikut-ikutan muncul disana. Tetangga yang lain pun langsung berpura-pura sibuk di depan rumah. Entah untuk menyapu teras, mencabut rumput, ataupun membakar sampah, jelas sengaja agar dapat mendengarkan pertengkaran mereka dengan lebih dekat.
Dasar ibu-ibu, hihi.
***
Begitu matahari tenggelam, langit pun menjadi gelap. Setelah selesai menjalankan ibadah dan makan malam, aku duduk bersandar di kepala ranjang sembari bermain ponsel. Melihat-lihat postingan di FB seperti biasa, tentunya. Karena orang-orang di rumah ini memang begitu, kami jarang menonton TV kecuali saat siang. Anak-anak sibuk belajar atau bermain ponsel, sedang Ibuku memilih langsung tidur setelah shalat Isya.
Saat sedang asyik scroll beranda FB, disitulah aku melihat postingan Yuyun.
[Dasar tetangga pada kepo!]
Aku terkekeh pelan membaca postingannya. Pasti dia membahas kelakuan kami, para tetangga nya yang dianggap kepo dengan urusannya. Tapi, yah, bagaimana lagi. Bukankah memang orang-orang akan penasaran jika mendengar suara perkelahian yang cukup kuat seperti tadi?
Ting!
Satu notifikasi terdengar dari ponselku. Aku segera mengecek, rupanya Dena yang mengirimiku pesan.
[Mbak, lama enggak chat. Apa kabar?]
Aku tersenyum kecil. Benar juga. Sejak situasi aman terkendali dan aku pun lebih mengurusi urusan Reno dan Reni, aku dan Dena jadi tidak pernah saling chat lagi.
[Mbak baik, Den. Kamu gimana?]
[Baik juga, Mbak. Tapi aku tiba-tiba kepikiran aja sama Mbak sekeluarga. Gimana, aman?]
Aku tersenyum kecil lagi.
Sejak aku menceritakan kemunculan bola cahaya di rumahku saat kami berada di ruang karaoke kafe hari itu, aku sadar Dena tak benar-benar percaya bahwa kami baik-baik saja. Karena sesuai yang dia tahu, begitu Dewi menginginkan sesuatu, dia pasti akan berusaha mendapatkan hal itu. Melihat aku sudah mempermalukan dia begitu, membuatnya ditinggalkan oleh Mas Hendra, sudah pasti Dewi tidak akan tinggal diam.
Tapi, nyatanya memang kami baik-baik saja. Bahkan sebulan terakhir sudah tidak ada masalah sama sekali. Dan aku bersyukur akan hal itu.
[Mbak baik-baik aja kok, Den. Malah sangat baik saat ini, karena enggak ada hal-hal aneh lagi di rumah kami.]
[Oh, syukurlah kalau begitu, Mbak.]
[Emangnya kenapa, Den? Ada yang ingin kamu sampaikan?]
Aku tidak yakin jika dia hanya mengirimi ku pesan karena penasaran dengan kondisiku. Meski kami sudah cukup dekat, sih, jadi wajar jika dia mengirimiku pesan untuk sekedar bertukar kabar sebenarnya. Tapi, entah mengapa, perasaanku mengatakan ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
[Hm...aku cuma merasa kalau Mami makin kaya akhir-akhir ini. Dia bahkan baru beli mobil dan buka rumah makan. Dan lagi... ada teman yang bilang, katanya dia lihat Mami ketemuan sama Mas Hendra]
Kalimat itu serasa petir yang menyambar tubuhku tanpa hujan. Mas Hendra... dia menemuinya lagi?
***
Nah, loh... kenapa mereka ketemuan lagi?
Ada urusan kah, atau... mau berulah lagi?
Ikuti terus cerita ini. Jangan lupa like, komen dan subscribe!
Bye-bye, see you tomorrow!
Semangat berkarya ya Thor