Ketika dendam dan cinta datang di waktu yang sama, pernikahan bak surga itu terasa bagai di neraka.
“Lima tahun, waktu yang aku berikan untuk melampiaskan semua dendamku.”_ Sean Gelano Aznand.
“Bagiku menikah hanya satu kali, aku akan bertahan sampai batas waktu itu datang.”_ Sonia Alodie Eliezza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Pertengkaran Anak dan Ayah
...🌼...
...•...
...•...
Sonia Alodie Elliezza, gadis cantik yang dicintai oleh dua bos besar, sekarang hidup sebatang kara tanpa adanya keluarga.
Ayahnya sudah meninggal dunia saat dia berusia 12 tahun karena serangan jantung, dan ibunya pergi bersama dengan pria yang telah menjadi selingkuhannya setelah sang ayah meninggal. Sonia merupakan anak tunggal. Dia sangat dekat dan begitu manja pada Emir Handi Marva— ayahnya.
Saat Emir meninggal, kehidupan Sonia begitu kelam dan buntu. Dia kehilangan sandaran hidup, sedangkan sang ibu tidak pernah peduli padanya lagi. Dia tidak mengetahui keluarga dari pihak ayah maupun ibunya karena kedua orang tua Sonia itu menikah tanpa restu keluarga.
Sonia memulai kemandiriannya semenjak usia 12 tahun. Dia berjuang untuk bisa melanjutkan hidup dan juga sekolahnya.
Dengan uang tabungan yang ditinggalkan oleh Emir, Sonia mencoba untuk membuka usaha. Bayangkan saja, di usia yang masih begitu muda, Sonia harus berusaha agar memiliki penghasilan untuk dirinya sendiri.
Untung saja ada Ibu Visa, tetangga dekat Sonia yang selalu membantu gadis malang itu, dan rumah yang Sonia tempati juga rumah peninggalan almarhum Emir, jadi dia tidak harus memikirkan sewa rumah.
Yang harus dia pikirkan sekarang adalah belajar dengan giat, membuka usaha agar bisa memiliki penghasilan, serta tidak boleh putus asa karena hidup masih terus berjalan walau tanpa sang ayah.
Saat menduduki sekolah menengah pertama, Sonia terus menyemangati dirinya. Dia selalu menjadi primadona di sekolah. Selain pintar, dia juga sangat cantik dan manis.
Sekolah Sonia adalah sekolah yang sekalian ada SMA-nya. Jadi, setelah lulus SMP pun dia tidak perlu repot-repot mendaftar karena bisa langsung menyambung di sana.
Di masa sekolah itulah Sonia kenal dengan sosok Sean. Ketika itu, Sean menduduki kelas 2 SMA. Selisih usia mereka hanya 4 tahun.
Sedari awal Sonia masuk ke sekolah itu, Sean sudah tertarik dan berusaha mendekati Sonia, karena memang gadis itu ceria dan periang, jadi dia mudah berbaur dengan siapa saja.
Selama di sekolah, Sean selalu menjaga dan membantu Sonia dalam berbagai hal. Sonia kembali merasakan ada sosok yang bisa menjaga dan melindungi dirinya selain Emir— yaitu Sean.
"Son, janji padaku, apa pun yang terjadi kita tidak boleh berpisah," ujar Sean sambil mengangkat jari kelingkingnya pada Sonia. Sonia menautkan kelingkingnya dan tersenyum.
"Aku janji, Sean."
Awalnya Sonia hanya menganggap Sean sebagai seorang kakak, namun Sean beranggapan lain. Dia lebih ingin memiliki Sonia seutuhnya sebagai seorang kekasih, bukan saudara.
Hubungan mereka semakin hari semakin membaik dan Sean ingin meresmikan hubungan saat Sonia sudah SMA. Karena dianggap Sonia sudah semakin dewasa dan mengerti akan sebuah hubungan.
Sebagaimana gadis itu bermanja ria pada Emir, dia juga melakukan hal yang sama pada Sean, dan Sean pun welcome dengan sifat Sonia itu, bahkan senang ketika Sonia bergantung padanya.
"Sayang," sapa Sean tiba-tiba yang membuat Sonia tersadar dari lamunan masa lalunya.
"Ah, iya, kenapa?" tanya Sonia. "Loh, kok kamu di sini?" Sonia sedikit melotot pada Sean yang sudah ada di depannya.
"Aku ada janji dengan Vanno, urusan kami sudah selesai dan aku meminta izin pada bosmu untuk menemui kamu di sini," seloroh Sean dengan santai.
"Oh, aku lagi banyak kerjaan nih, kayaknya kita nggak bisa ngobrol banyak dulu deh."
"Kerjaan banyak tapi kamu malah melamun, mikirin apa sih? Angel lagi?"
"Enggak, hanya mikirin masa lalu aku aja, lagi kangen banget sama ayah."
Sonia terlihat sedih dan Sean mengecup lembut kening Sonia untuk memberikan energi positif pada gadisnya.
Sonia sontak kaget mendapat ciuman tiba-tiba dari Sean. Dia malu kalau ada yang melihatnya. Sonia memiliki ruangan sendiri dan tidak bergabung dengan karyawan lain karena posisinya adalah sekretaris pribadi dari Vanno. Dia memang meminta pada Vanno agar ruangannya terpisah saja, awalnya karena ingin menghindari gosip di kantor tersebut.
"Ih, kamu ini, malu tau." Sonia memukul pelan lengan Sean.
"Malu sama siapa? Orang kita cuma berdua aja di sini."
"Iya, di sini kan ada CCTV, kalau dilihat pihak kantor gimana?"
"Kita kan nggak berbuat mesum, Sayang."
"Iya Sean, aku tau, tapi aku kan malu nanti kalau dilihat orang. Udah ah, mending kamu balik ke kantor kamu dan biarin aku mengerjakan pekerjaanku dengan fokus agar semua ini cepat selesai."
"Oke, aku akan pergi dan nanti jam lima aku akan menjemputmu."
"Siap, bos."
Sean meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kantornya, sedangkan Vanno begitu panas melihat kemesraan sepasang kekasih tersebut. Vanno memantau Sonia melalui CCTV yang ada di ruangannya.
"Kenapa harus dia, Sonia? Padahal aku lebih lama mengenalmu ketimbang Sean. Sean yang baru kamu kenal, kenapa bisa merebut hatimu? Apa istimewanya Sean dibanding diriku?" gumam Vanno sambil menatap layar yang mana ada Sonia di sana.
Vanno belum tahu kalau Sean dan Sonia itu adalah sepasang kekasih yang sudah lama terpisah. Sonia juga bukan orang yang terbuka pada orang lain, sedangkan pada Angel saja dia tidak memberitahu siapa pria yang dia cintai.
...***...
Fian mengendarai mobilnya secara ugal-ugalan. Malam sudah sangat larut dan dia pulang dalam keadaan mabuk berat. Fian tidak peduli pada Endro yang ada di rumah saat ini. Sudah bisa dipastikan kalau Endro akan marah besar saat melihat Fian pulang dalam keadaan mabuk berat begini.
Benar saja, Fian disambut oleh Endro dan Nila. Endro sudah bersiap untuk memukuli putra bungsunya itu, namun ditahan oleh Nila.
"Jangan, Mas, kalau dia terluka gimana?"
"Biarkan saja, biar mati sekalian. Dasar anak tidak berguna. Hidupnya cuma menyusahkan aku saja. Harusnya anak ini tidak pernah lahir ke dunia," umpat Endro pada Fian.
"Tua bangka sialan, Lu pikir Gue mau punya ayah kayak Lu? Haha, enggak ya, sorry. Gue lebih bahagia kalau Lu yang mati, kenapa nggak Lu aja sih yang segera mati? Kenapa harus nyumpahin gue? Harusnya tua bangka kayak lu hidupnya di desa terpencil nan jauh dari keramaian biar hidup lu itu tenang hahaha." Perkataan Fian membuat Endro semakin emosi. Endro mengambil vas bunga yang ada di dekatnya, lalu memukulkan ke kepala Fian. Nila yang kaget langsung menghampiri putranya dan segera meminta sopir untuk membawa Fian ke rumah sakit.
"Keterlaluan kamu, Mas. Lihat kepala Fian berdarah," teriak Nila pada suaminya.
"Biar mati sekalian." Endro memasuki kamarnya dan membiarkan Fian. Fian bukannya marah, dia malah tertawa mendapat perlakuan seperti itu dari Endro.
"Pergi kau jalang, aku tidak mau ke rumah sakit, aku butuh kasurku saat ini," bentak Fian lalu mendorong tubuh Nila. Fian berusaha bangkit dan berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
"Cepat bawa dia ke rumah sakit," perintah Nila pada sopirnya.
Sopir itu dan Nila membawa paksa Fian ke rumah sakit, mereka tidak peduli dengan Fian yang saat ini berontak.
"Jaka, ambil tali, ikat saja dia. Nanti sampai di rumah sakit baru lepas." Jaka mengambil tali dan mengikat Fian agar anak itu diam dan tidak melakukan perlawanan saat akan dibawa ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Nila menangis mengingat nasib anak bungsunya yang tidak pernah akur dengan papanya sendiri.