Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Morning sicnes
Bara terus memuntahkan isi perutnya sejak tadi di kamar mandi. Akan tetapi tak ada yang ia muntahkan selain cairan bening yang membuat tenggorokannya terasa pahit. Keringat dingin sebesar jagung membasahi pelipisnya. Ia benar-benar tersiksa dengan rasa tak nyaman yang ia rasakan pagi ini.
Bara memutuskan untuk mandi, guyuran air dingin mungkin akan membuatnya lebih baik dan lebih segar. Pria itu menuangkan sedikit sampoo miliknya ke atas telapak tangan. Aroma yang biasa ia kenakan dan menjadi aroma kesukaannya tiba-tiba tercium sangat menyengat.
Lelaki itu tak kuasa menahan gejolak dari dalam perutnya lagi. Di bawah guyuran air shower dengan satu tangan yang menahan dinding, Bara kembali memuntahkan isi perutnya lagi. Ia terus mencoba mengeluarkan, namun lagi-lagi hanya cairan bening pahit saja yang keluar dari tenggorokannya.
"Apa aku terkena malaria?" pikir Bara.
Bara langsung menyudahi mandinya yang pasti tak bersih itu. Kamar mandi mendadak menjadi tak sedap di penciumannya.
Keluar dari kamar mandi lalu berganti pakaian, Bara langsung menuju lantai bawah, perutnya sangat lapar. Burung yang bercicit di balik jendela, menari-nari di bawah pohon jambu air yang berada di sebelah dapur.
Bara menghampiri Jelita yang sedang berkutat dengan panci penggorengan. Tanpa bertanya, Bara sudah tahu jika mamanya saat ini sedang menggoreng tempe di tepung.
"Kamu sakit, Nak? Wajahmu pucat sekali?" tanya Jelita khawatir. Mata yang sayu serta wajah tak bercahaya dengan langkah kaki yang sempoyongan. Jelita langsung menangkap tubuh Bara yang tampak oleng seakan ingin jatuh ke lantai.
"Ada apa denganmu Bara? Jika kamu sakit, seharusnya kamu di kamar saja, nanti Mama suruh Bibi antar makananmu ke kamar!" Jelita memapah putranya untuk duduk di depan meja makan. Sedangkan penggorengannya sudah diambil alih oleh Sumi.
"Aku tidak tahu Ma. Kepalaku terasa berat dan pusing," jawab Bara lirih.
Jelita meletakkan punggung tangannya ke dahi dan ujung leher dekat dagu. Mengecek suhu tubuh putranya yang ternyata tidak hangat maupun panas.
"Tidak demam, bisa jadi kamu masuk angin. Ini pasti karena sering pulang malam dan telat makan!" ujar Jelita.
"Sudah! Sekarang kamu makan dulu, biar bisa minum obat dan cepat sembuh." Jelita mencentongkan nasi goreng seafood yang menjadi kesukaannya.
Aromanya yang tadi samar-samar kini tercium begitu kuat, karena jelita meletakkan nasi goreng yang ia ambil ke dalam piring dan meletakkan tepat di hadapan putranya.
Segala hal mengenai menu seafood yang Bara suka kini justru membuatnya mual kembali. Bara menutup mulutnya dan kembali ke wastafel untuk memuntahkan kembali isi perutnya. Tapi tak ada apa pun yang bisa keluar.
"Kamu kenapa Bara?" tanya Jelita dari meja makan. Ia cukup kaget dengan kondisi putranya yang sangat mirip dengan apa yang ia rasakan dulu. Dua kali Jelita merasakan fase itu , tentu saja ia paham betul. Tapi yang menjadi pikirannya saat ini, mana mungkin jika anaknya ... karena Bara laki-laki.
Bara kembali ke tempat duduknya semula dengan tubuh yang kini terasa lemas sekali. Ia juga meminta orang untuk memberesi menu makanan yang ada di atas meja.
"Bi! Telpon dokter keluarga cepat!" titah Jelita. Pelayan yang lebih muda berjalan dengan cepat ke arah telpon rumah dan menelpon dokter yang di maksud. Sedangkan Bi Sumi dan Jelita membantu Bara untuk kembali ke kamarnya.
Setelah beberapa saat, dokter yang ditunggu pun akhirnya tiba. Lelaki bermata cipit di balik kaca mata tebal itu memeriksa Bara dengan cermat. Ruangan berdinding dominan abu-abu itu tampak sunyi senyap seketika.
Jelita yang berdiri di dekat nakas menunggu dengan cemas hasil pemeriksaan anaknya. Gavin yang ingin pergi menemani Gisella periksa kandungan lewat depan kamar Bara. Ia memperhatikan dokter Steve memeriksa Bara. Gavin melepaskan gandengan tangan Gisel, masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka lebar itu.
"Ada apa dengan Bara, Ma? Dia sakit apa?" Gavin mendekat, berdiri di sebelah mamanya lalu melemparkan pandangan matanya memandang wajah Bara yang tampak pucat dan terbaring tak berdaya di atas ranjang. Gisella hanya menunggu dengan kesal di depan pintu kamar. Ia tak berani masuk karena takut dengan Bara yang tampak membencinya.
"Mama nggak tahu, beberapa hari ini Bara muntah-muntah terus dan kurang nafsu makan," jelas Jelita. Dokter steve menyimpan stetoskop yang melingkar di lehernya.
"Bagaimana hasilnya?" cecar Jelita langsung. Putra sulungnya itu hampir bisa dikatakan tak pernah sakit.
"Untuk saat ini hasil pemeriksaan saya tak ada masalah. Bara tidak apa-apa, ia juga tidak keracunan makanan atau sebagainya," jawab Steve. Ia juga cukup bingung dengan kondisi Bara berdasarkan apa yang pria itu keluhkan.
"Kalau dia baik-baik saja, kenapa setiap mencium makanan dia menjadi mual dan muntah seperti orang ngidam begitu?" ujar Jelita masih belum puas dengan jawaban Steve.
"Memang Bara tidak apa-apa Nyonya, tapi untuk memastikan lebih akurat lagi, anda bisa membawa Bara ke rumah sakit dan melakukan serangkaian pemeriksaan labor jika merasa tidak yakin. Tapi menurut saya dia tidak apa-apa, Nyonya."
"Apa kamu yakin?" tanya Jelita kembali seraya memicingkan mata. Steve mengangguk mantap, ia termasuk dokter terbagus di kota itu sebagai lulusan terbaik universitas luar negeri. Ia tentu sangat yakin jika dirinya tak salah mendiagnosa penyakit pasiennya saat ini.
Jelita terdiam sejenak, ia tiba-tiba teringat akan sesuatu. Kejadian masa lalu yang sama persis dengan apa yang Bara alami saat ini.
"Mama ingat dulu saat Mama mengandung kamu, Papamu juga mengalami hal ini. Ia merasakan pusing dan mual akan makanan dan bau-bau tertentu. Ia mengalami hal yang sama seperti yang Mama rasakan. Morning sicnes. Apa kamu menghamili seorang wanita, Bara?"
Degh!
Jantung Bara berdegup dengan kencang. Matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang mamanya katakan.
"Bagaimana Mama bisa menyimpulkan hal itu? Itu hanya mitos saja yang mengatakan jika seorang wanita hamil, maka pasangannya juga akan merasakan gejala ngidam yang sama seperti orang hamil," timpal Gavin membuka suara.
"Buktinya papamu dulu!" debat Jelita masih kekeuh dengan argumennya.
"Masalahnya Bara itu nggak punya kekasih, jangankan calon istri, teman wanita saja dia nggak punya. Hidupnya terlalu monoton dengan lembaran-lembaran kertas serta kasus-kasus yang ia tangani. Jadi tidak mungkin!" balas Gavin. Ibu dan anak itu mulai beradu argumen dan perdebatan kecil pun terjadi.
Dokter Steve hanya melongo melihat ibu dan anak itu berdebat bagai anak kecil yang mempermasalahkan permen siapa yang lebih besar. Sedangkan Bara menarik tubuhnya untuk bersandar di senderan ranjang. Tangannya menggenggam selimut dengan erat, pikirannya kini melayang memikirkan sesuatu hal.
"Apa Alice hamil? Tapi jika memang dia hamil, kenapa dia tidak menemuiku untuk meminta tanggung jawabku?" batin Bara bertanya. Hanya ada satu wanita yang ia sentuh dan itu adalah mantan adik iparnya sendiri.