Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara dari Kontrakan Sebelah
Arga masih sibuk membuka satu per satu toples di rak dapur, matanya tajam memperhatikan setiap sudut. Tangannya yang berotot tampak kontras dengan gerakannya yang tenang dan rapi.
Ia baru saja menunduk hendak memeriksa wadah di bagian bawah ketika langkah pelan terdengar dari arah pintu.
"Eh, tuan," sapa pelayana itu sopan, sedikit gugup karena tidak menyangka majikannya muncul tiba-tiba.
"Bi," ucap Arga singkat dengan nada datar, wajah cool khasnya tetap terjaga. "Ada kacang hijau nggak?"
Pelayan itu terdiam sejenak, lalu mengangguk cepat. "Tunggu dulu ya, tuan. Saya carikan dulu."
Arga hanya mengangguk tipis, tangannya bersedekap sambil berdiri di sisi meja dapur. Ia menunggu tanpa ekspresi, tapi matanya sesekali melirik jam di pergelangan tangan jelas menunjukkan ketidak sabarannya.
Tak lama, pembantu itu kembali sambil menghela napas. "Aduh, maaf ya, tuan. Kacang hijaunya habis. Saya sudah cari, ternyata nggak ada."
"Gak ada?" Arga mengulang dengan nada datar, meski dalam hatinya ia sedikit kesal.
"Iya, tuan," jawab pembantu itu cepat sambil menunduk takut salah. "Mau saya belikan sekarang, tuan?"
Arga menggeleng pelan, wajahnya tetap dingin. "Nggak usah. Biar saya yang urus." Suaranya tegas, tanpa keraguan.
"Baik, tuan," jawab pembantu itu lirih, menunduk semakin dalam.
Arga pun berbalik, meninggalkan dapur dengan langkah tenang khasnya. Dari luar, ia tampak cool, seolah masalah sekecil kacang hijau pun tidak menggoyahkan ketenangannya. Tapi dalam hati, ia tahu ini penting untuk Raka.
Sampai di ruang keluarga, ia melihat anak semata wayangnya sudah duduk manis di sofa dengan buku tugas terbuka. Pensil kecil ada di tangannya, wajahnya tampak serius sekali, seolah sedang memimpin rapat besar.
"Kacang hijaunya nggak ada," ucap Arga datar sambil melepas napas.
Raka langsung menoleh cepat, matanya melebar. "Yah, jadi gimana dong, Pa? Besok Raka bisa dihukum kalau nggak bawa tugas. Guru Raka galak, Pa, suka coret-coret buku kalau ada yang telat."
Arga terdiam sejenak, menatap anaknya dengan sorot mata tenang. Dari wajah cool-nya, terlihat ada sedikit kerutan di dahi. "Hm..." gumamnya, berpikir cepat.
Raka menutup bukunya, lalu berkata dengan polos tapi cerdas, "Kalau nggak ada kacang hijau, kita bisa pakai alternatif lain kan, Pa? Misalnya kacang tanah? Atau jagung lagi? Guru pasti ngerti kalau dijelasin."
Arga mengangkat alis, kagum pada kepintaran anaknya. Senyum tipis hampir saja lolos dari bibir dinginnya. "Kamu pintar, Nak. Tapi tetap saja, tugasnya harus sesuai. Nggak bisa sembarangan."
"Berarti... Papa yang harus turun tangan nih," ucap Raka dengan gaya sok serius, tangannya terlipat di dada meniru gaya Arga.
Arga terkekeh kecil, lalu berjongkok di depan anaknya. "Ya sudah, kamu tunggu di sini. Papa sendiri yang cari kacang hijau."
"Serius, Pa? Papa mau pergi malam-malam gini cuma buat Raka?" tanya Raka dengan wajah berbinar.
Arga mengangguk tenang. "Tentu saja. Kamu kan prioritas Papa."
Raka langsung tersenyum lebar, matanya berbinar penuh bangga. "Makasih, Pa! Raka janji kalau besok dapat nilai bagus, Raka bakal kasih Papa bagian terbesar dari jajanan di sekolah!"
Arga hanya menggeleng, matanya menatap anak itu dengan tatapan hangat yang jarang terlihat. "Papa nggak butuh jajanan kamu. Papa cuma butuh lihat kamu senyum kayak gini tiap hari."
Raka terdiam sejenak, lalu nyengir lebar. "Ih, Papa jadi so sweet gitu. Papa beneran udah cocok punya istri baru nih. Biar Raka ada yang bikinin bekal tiap pagi."
Arga mendengus pelan, wajah cool-nya kembali kaku. "Jangan mulai lagi, Raka."
Tapi dalam hati, ia tahu anaknya benar.
Arga melangkah keluar rumah, langkahnya tenang dan berwibawa. Di depan gerbang rumah mewah itu, ia berhenti sejenak, menatap ke arah jalanan yang mulai sepi. Udara malam berhembus, dingin menusuk, tapi pikirannya justru sibuk memikirkan bagaimana cara mendapatkan kacang hijau untuk Raka. Sesekali ia menghela napas, menoleh ke kiri dan kanan, lalu kembali melangkah keluar.
Sementara itu, di kontrakan sederhana sebelah rumah, Nayla baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, menetes sedikit di bahu kaus oversize yang ia kenakan. Dengan handuk kecil, ia mengelap sisa air di rambutnya sambil bercermin.
"Oke, Nayla! Hilangkan semua kekonyolan hari ini. Lupakan drama ketemu si genit tadi, lupakan kejadian mukul abang ojol, lupakan semuanya!" ucapnya sambil menunjuk bayangan dirinya di cermin dengan gaya ala motivator.
Tak lama kemudian, matanya melirik ke arah laptop di meja belajar. Senyum nakal langsung merekah. "Mari kita karaoke, Nay! Hidup cuma sekali, nggak boleh boring-boring amat."
Ia pun berjalan ke arah meja, menyalakan laptop, lalu membuka YouTube. "Hmm, lagu apa ya yang cocok? Lagu galau? Jangan ah, nanti nangis sendiri. Lagu romantis? Nanti malah keinget muka itu orang genit lagi." Ia langsung geleng-geleng kepala. "Big no!"
Jarinya menekan beberapa tombol, lalu muncul playlist random. "Oke, ini aja! Lagu upbeat, biar semangat!"
Nayla langsung berdiri di tengah kamar, mengambil sisir pink kesayangannya yang selalu jadi 'mikrofon andalan'. "Ladies and gentlemen, welcome to konser Nayla di kamar kontrakan tercinta!" katanya sambil membungkuk seperti penyanyi profesional yang menyapa penonton.
Musik mulai mengalun, Nayla langsung ikut bernyanyi dengan suara lantang meski agak sumbang. Tangannya terangkat, tubuhnya ikut berjoget. Ia bahkan melompat-lompat kecil di kasur, rambut basahnya ikut terayun-ayun ke sana kemari.
"Wooo! Ini dia! Nayla lagi konser tunggal! Tiketnya sold out, sodara-sodara!" teriaknya sendiri sambil ngakak.
Sambil bernyanyi, ia berpose dramatis ala diva. Kadang meletakkan tangan di dada seakan-akan sedang menyanyikan lagu patah hati paling dalam, kadang mendongak ke langit-langit kamar seakan ada lampu sorot panggung menyinarinya.
"Cieee Nayla, suaranya kayak penyanyi internasional... tapi minus tiga puluh nadaaa!" ucapnya sambil ngakak sendiri, lalu kembali berjoget.
Nayla menjatuhkan diri ke kasur setelah puas bernyanyi dengan sisir sebagai mikrofon. Rambutnya yang masih agak basah menempel di pipi, tapi ia tidak peduli. Nafasnya ngos-ngosan, tapi tawanya pecah keras.
"Sumpah... sumpah ya, suara gue merdu banget!" katanya sambil menepuk-nepuk dada sendiri penuh percaya diri. Ia bangkit duduk, meraih sisir lagi, lalu berpose ala diva. "Kalo gue ikut KDI, fix banget gue langsung jadi juara satu! Gak pake lama, Mak Soimah pasti langsung berdiri dan muji gue! 'Astaga, ini anak berbakat banget, suara kayak emas!'" Nayla menirukan suara khas Mak Soimah dengan gaya lebay, lalu langsung ngakak sendiri sampai perutnya sakit.
Ia berdiri lagi, kali ini menirukan gaya penyanyi dangdut di panggung. "Cek... cek... satu dua... musik, bang!" teriaknya, lalu mulai goyang-goyang ala penyanyi dangdut kampung. Tangannya ke atas, pinggulnya digoyang, dan sisir dipegang layaknya mic asli.
"Woooyy Naylaaaa, lu kebangetan sih! Pasti yang nonton konser langsung lempar bunga ke gue, minimal satu truk mawar!" katanya sambil berlari kecil keliling kamar.
Setelah itu, ia berhenti sejenak, menatap kaca cermin, lalu menunjuk bayangannya sendiri. "Gue ini bukan manusia biasa. Gue ini artis yang terjebak di tubuh mahasiswi kere!"
Nayla kembali terguling ke kasur, menutup wajah dengan bantal karena nggak tahan ngakaknya sendiri. "Astaga, Nay, kalo ada yang ngeliat tingkah lu barusan, bisa-bisa dikira udah nggak waras."
Namun tak lama kemudian, ia bangkit lagi, pura-pura menirukan adegan audisi. "Oke juri, sekarang Nayla akan nyanyi dangdut koplo. Jangan lupa ya, voting Nayla nomor 01, calon idola masa depan! Mak Soimah pasti langsung maju peluk gue sambil bilang, 'Suara kamu kayak mutiara, Le!'"
Ia langsung meledak lagi dengan tawa keras, sampai-sampai perutnya mulas.
Dari luar, suara Nayla yang keras dan ketawanya yang pecah-pecah terdengar sampai halaman. Arga yang masih di depan gerbang rumah nya. Dengan wajah cool-nya, ia mendongak menatap jendela kontrakan kecil itu, mendengarkan celoteh si gadis tetangga.
Sudut bibirnya terangkat tipis. "Gila... makhluk itu seperti tidak punya rem. Bikin orang pengen ketawa aja." gumamnya pelan.
Sementara Nayla di dalam masih terus heboh. "Pokoknya kalo gue masuk TV, tetangga-tetangga sini bakal bangga! Dan itu... om itu... biar tau kalo gue bukan cewek biasa!" katanya sambil menunjuk ke jendela seolah sedang menantang dunia.