Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelenyar kupu-kupu
Setibanya di rumah, Bu Wulan yang sedang menonton TV, mendengar suara mobil diparkir.
Bu Wulan segera membukakan pintu untuk kedua majikannya.
"Sudah pulang, Mba, Mas? Seru gak jalan-jalannya?"
Tanpa bersuara, Barra melewati bu Wulan langsung menuju kamarnya. Kirana hanya bisa menatap punggung Barra. Menghela nafas.
"Ini, Bu. Tadi kita beli kue pukis buat Ibu. Kemarin ibu bilang lagi kepengen kue pukis."
Kirana menyerahkan bungkusan pada bu Wulan, masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Bu Wulan heran melihat tingkah pasutri itu. "Waktu berangkat kelihatan bahagia banget. Kenapa sekarang kayak orang sariawan?"
Bu Wulan mengedikkan bahu, kemudian membuka bungkusan kue pukis, dan mengigitnya. "Enak..., kurang minumannya aja," ucap bu Wulan lalu membuat teh manis untuk dirinya sendiri.
**********
Hampir tengah malam, Barra masuk ke dalam kamar Kirana. Seperti biasa, ia merebahkan dirinya di sofa baca.
"Mas, bisa kita bicara sebentar." Kirana duduk memandang Barra.
"Sudah malam, Kira. Waktunya istirahat." Barra memiringkan badannya menghindari tatapan Kirana.
"Kenapa Mas menghindariku? Apa, karena aku ingin tahu tentang masa laluku?" tanya Kirana dengan nada marah. Ia sudah tidak sabar melihat tingkah Barra sejak kemarin.
"Aku tidak menghindarimu. Tidurlah."
"Kenapa aku gak boleh tahu tentang masa laluku sendiri? Kenapa tidak ada seorang pun yang memberitahuku apa yang terjadi selama 10 tahun ini. Minimal Mas memberitahuku tentang 5 tahun pernikahan kita," Kirana mengeluarkan isi hatinya.
Barra mencoba tenang. Ia duduk melihat lurus pada Kirana, "Aku sudah memberitahu alasanku padamu. Aku tidak mau kamu mengingat. Tidak jika dirimu yang jadi taruhannya."
"Tapi, aku ingin tahu Mas. Mas Barra tidak bisa melarangku."
Barra berdiri di samping tempat tidur. Kedua tangannya terlipat di dada. Sorot matanya dingin. "Oke! apa yang ingin kamu tahu?"
"Kenapa mamaku meninggal? Ke mana papaku? Yang kuingat hanya mama papa yang mencintaiku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
"Kamu sudah tahu mamamu meninggal karena serangan jantung. Papamu pergi setelah menikahkan kita. Aku tidak tahu ke mana." Barra merendahkan suaranya.
"Di mana teman-temanku? Teman-temanku juga pasti peduli padaku. Tapi, Mas tidak mengijinkanku tahu tentang mereka. Bahkan, satu orang pun, Sisi, Mas tidak membiarkanku mengenal dia." Suara Kirana terus meninggi.
"Teman-temanmu? Apakah aku saja tidak cukup, hingga kau membutuhkan mereka?!" Kali ini Barra sudah mulai terpancing. Wajahnya merah menahan marah.
"Tidak, Mas! Tidak cukup! Mas menjaga dan merawatku. Tapi, apakah Mas peduli padaku? Mas mencintaiku? Sikap Mas berubah-ubah padaku. Di satu waktu Mas terlihat seperti sesorang yang menyayangiku, tapi detik berikutnya menjauhiku. Menjaga jarak denganku," air mata Kirana mulai jatuh.
Kirana ingin melanjutkan, "Dan siap meninggalkanku?" tapi tidak terucap.
Barra duduk di depan Kirana. Lalu, tanpa aba-aba, menempelkan bibirnya di bibir Kirana.
Mata Kirana terbelalak. Ia tidak siap menerima bibir Barra. Sentuhan Barra kali ini berbeda dengan sebelumnya. Dominasi kepemilikan terasa kuat.
Bibir Barra bergerak dengan cepat, meski masih terasa lembut. Memagut, menghisap, melumat, menggigit, membuka mulut Kirana dengan paksa. Barra seperti bukan sedang mencium tapi melahap mulut Kirana.
Kamu milikku! kesan itulah yang Barra berikan dari setiap gerakan mulutnya.
"Mas... " Kirana mendorong dada Barra. Ia mencoba mengambil nafas.
"Kenapa? Bukankah kamu ingin tahu? Kamu istriku, Kira. Apa yang aku rasakan semua terangkum dalam status itu," ucapnya pelan.
Kemudian, meraup kembali bibir Kirana yang sudah memerah dan membengkak. Tangannya menarik pinggang Kirana semakin menempel di tubuhnya. Kali ini, Kirana menerima. Pasrah dalam pagutan suaminya.
Ciuman Barra semakin dalam. Semakin menuntut. Intens dan intim. Barra mengeksplor bibir dan mulut Kirana. Lidah dan gigi Kirana termasuk di dalamnya.
Tangannya menelusuri punggung Kirana. Kirana merasakan nafas Barra kian memburu. Begitupun nafasnya.
Barra mulai menelusuri leher jenjang Kirana dengan mulutnya. Menjilat, menghisap dan menggigit kecil. Meninggalkan jejak kemerahan di sepanjang jalan. Suara desahan meluncur dari mulut Kirana. Membuat Barra semakin bersemangat.
Tangan Barra masuk ke dalam kaos Kirana. Mengusap dan berputar lembut di perutnya. Telapak tangan Barra terasa hangat di kulitnya. Mulut Barra sudah sampai di bahu Kirana, terus turun ke bawah.
Tubuh Kirana bergetar. Ada gelenyar-gelenyar aneh mulai muncul. Ratusan kupu-kupu kembali berterbangan di perutnya, mendesak ingin keluar.
Kirana merasa semakin intens Barra menelusuri tubuhnya--- dengan bibir dan tangannya--- semakin Kirana merindukan Barra. Kirana tidak ingin Barra berhenti. Ia ingin Barra terus menyentuh, memadamkan rasa rindunya.
Kirana mulai berani meraba tubuh suaminya. Ia menyentuh lengan, punggung, menelusup menyentuh perut dan dadanya. Keras dan bidang. Kemudian memeluk Barra dengan erat.
Tangan Barra terus bergerak naik. Menyentuh sesuatu yang lembut dan bulat. Meremasnya pelan. Tubuh Kirana memanas, seolah ingin meledak. Tanpa sadar, ia melengkungkan punggungnya. Menuntut lebih dari Barra.
Mulut Barra yang tadi berada di bahu, sekarang juga sudah di dada Kirana. Membantu tangannya untuk memberikan sensasi yang membuat Kirana melayang.
"Mas Barra...," panggilnya lirih di antara desahan yang terdengar.
Tiba-tiba, Barra berhenti. Ia menarik dirinya, membebaskan Kirana dari kungkungannya. Wajah Barra tertunduk, matanya terpejam. "Berhenti Kira! Jika diteruskan, aku tidak akan bisa menahan diriku sendiri. Aku tidak mau kamu menyesalinya."
Kirana membuka mata. Menurunkan tangannya dari tubuh suaminya. Melihat ke dalam mata Barra. Ia tidak bisa membaca isi hati Barra.
"Katakan Kira, apa kau mencintaiku? Atau kau hanya membutuhkanku sebagai tempat bergantung?"
Kirana tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan Barra begitu menyentak Kirana. Selama ini, Kirana tidak pernah memikirkannya. Ia merasa sudah jatuh cinta pada Barra, tapi tidak pernah berpikir bahwa rasa itu mungkin muncul karena saat ini hanya Barra-lah tempatnya bergantung.
Kirana tidak bisa mengingat apapun. Tubuhnya belum pulih. Ia bahkan belum bisa berjalan dengan benar. Orang tuanya sudah tidak ada. Ia membutuhkan seseorang untuk bergantung, dan seseorang yang selalu ada itu adalah Barra.
Kirana takut Barra meninggalkannya. Tapi, apakah rasa takut itu datang karena rasa cintanya pada Barra. Atau, ia sekedar takut kehilangan tempat bergantung.
Barra menunggu jawaban Kirana. Manik matanya tidak lepas memandang wajah Kirana. Tapi, Kirana membisu.
Barra melepaskan Kirana. "Tidurlah," ucap Barra seraya beranjak keluar dari kamar Kirana.
Tidak berapa lama bu Wulan masuk menggantikan Barra menemani Kirana tidur.
Sepanjang malam, Kirana terus memikirkan pertanyaan Barra. Sebelumnya, ia begitu yakin mencintai suaminya. Tapi, kenapa saat Barra menanyakan pertanyaan sederhana itu, ia tidak bisa menjawabnya.
Betulkah selama ini rasa cintanya hanya semu untuk Barra? Benarkah ia hanya takut kehilangan tempatnya bergantung?
Kirana bingung dengan dirinya sendiri.