Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24 Apa Itu Pentungan?
Malam itu udara di kamar Xander terasa pengap, meskipun jendela besar di sudut ruangan terbuka lebar. Membiarkan angin malam membawa aroma bunga melati dari taman.
“Bolehkan aku menciummu?” tanya Xander dengan suara rendah dan penuh godaan yang berhasil membuat bulu kuduk Naomi merinding.
“Tidak boleh!” tegas Naomi. “Kalau anda masih memaksa, saya akan berhenti bekerja!” Ia mendorong dada Xander dengan kedua tangannya, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun, tubuh pria itu terlalu berat, seolah tak tergoyahkan.
Xander terkekeh, tawanya begitu renyah. Ia tahu ia memegang kendali penuh dalam situasi ini. Matanya yang gelap berkilat, menatap Naomi dengan ekspresi yang seolah menikmati kepanikan gadis itu.
“Dan kamu akan membayarku 100 juta, begitu?” katanya dengan alis terangkat, seolah sedang mengejek. “Baiklah, dengan senang hati. Aku rasa itu bukan masalah bagimu.” Xander menekankan kata-kata terakhirnya, menyindir ketidakmampuan Naomi untuk membayar denda kontrak yang begitu besar.
“Menyebalkan!” Naomi memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Xander yang terasa seperti menembus jiwanya.
Naomi merasa sedang dipermainkan dan terjebak dalam permainan pria kaya yang terbiasa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Kontrak kerja sebagai asisten pribadinya, yang awalnya tampak sebagai kesempatan emas, kini terasa seperti jerat yang mencekik.
Xander mendekat, begitu dekat hingga Naomi bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa wajahnya. “Apa kamu tidak bisa melihatku sedikitpun, Naomi?” tanyanya tiba-tiba berubah serius, seolah ada luka yang terselip di balik kata-katanya. “Di luar sana, banyak wanita yang mengantri untukku, rela memberikan segalanya hanya untuk mendapatkan perhatianku. Tapi kenapa kamu malah mengacuhkan ku?”
Naomi menahan napas, terkejut dengan nada tulus yang terlontar dari bibir Xander. Pria itu, yang dikenal sebagai pengusaha sukses dengan reputasi arogan, tampak benar-benar tersakiti oleh penolakannya. Xander selalu mendapatkan apa yang diinginkan—mobil mewah, kesepakatan bisnis, bahkan wanita—tapi Naomi adalah pengecualian.
Gadis ini, dengan sikap polos namun tegasnya, membuat dunianya jungkir balik. Ada ketertarikan yang tak bisa Xander jelaskan, antara tantangan dan hasrat yang membakar.
“Jangan samakan saya dengan mereka, Tuan Xander yang terhormat!” balas Naomi dengan sisa keberaniannya. “Bukankah waktu itu anda sendiri yang bilang, kalau anda tidak akan pernah jatuh cinta pada wanita manapun, termasuk saya? Jadi, saya anggap—”
Belum selesai Naomi berbicara, Xander sudah memotongnya dengan ciuman mendadak. Bibirnya menekan bibir Naomi dengan penuh gairah, menuntut dan tak memberi ruang untuk melawan. Naomi sempat memberontak, tangannya mendorong bahu Xander, namun cengkeramannya di pinggang gadis itu terlalu kuat.
Ciuman itu begitu dalam, penuh dan entah mengapa, Naomi merasa tubuhnya melemah. Perlahan, tanpa Naomi sadari, ia mulai membalas ciuman itu, meski dengan ragu-ragu.
Xander menarik diri sambil mengatur napasnya yang terengah. “Aku menginginkanmu malam ini,” bisiknya dengan serak, seolah setiap kata membawa beban hasrat yang telah lama Xander tahan.
Tanpa menunggu jawaban, Xander melanjutkan aksinya. Tangannya bergerak lincah, menyelinap di balik kemeja Naomi, mengelus punggung gadis itu dengan sentuhan yang membuat Naomi merinding. Tubuhnya seolah lumpuh, pikirannya kosong, terhipnotis oleh pesona Xander—mata gelapnya yang memabukkan, sentuhannya yang membakar.
Namun, di sudut pikirannya, bayangan denda 100 juta itu menghantuinya, membuatnya merasa semakin terperangkap. Naomi tidak punya pilihan, tidak bisa lari dari situasi ini.
Xander mulai membuka kancing kemeja Naomi satu per satu. Naomi menepis tangannya dengan kasar, berusaha mencegah, namun tenaganya kalah jauh.
“Kumohon, jangan, Tuan…” lirihnya nyaris tak terdengar. Air mata mulai menetes dari sudut matanya, mengalir membasahi pipi. Rasa takut menyelimuti dirinya—ini adalah pertama kalinya ia berada dalam situasi seperti ini, dan ia tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Melihat air mata Naomi, Xander tiba-tiba terhenti. Ekspresinya berubah, ada kilasan penyesalan di matanya. Hatinya mencelos, seolah baru menyadari bahwa ia telah melangkah terlalu jauh. Ia tidak ingin menyakiti gadis ini, namun hasratnya sudah terlalu kuat, seperti api yang sulit dipadamkan. Jika ia tidak menyalurkannya, ia merasa akan tersiksa.
Xander menunduk, mengecup kening Naomi dengan lembut, lalu bibirnya bergerak ke telinga gadis itu. “Tenang saja, aku tidak akan memasukkannya. Kita main aman,” katanya berusaha mengendalikan diri. “Aku juga ingin kamu tahu, kalau aku ini menyukai perempuan, bukan lelaki!” Ia tersenyum tipis, berusaha mencairkan suasana, namun ada ketegangan yang masih terasa.
Naomi membuka matanya perlahan, menatap Xander dengan tatapan kosong. Pandangannya turun, dan ia tersentak melihat sesuatu yang membuat wajahnya memerah.
“B-besar sekali?” gumamnya, matanya membelalak tak percaya. Ia tak pernah membayangkan ukurannya akan sebesar itu. “Apa itu pentungan?” katanya tanpa sadar.