Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Provokasi Malika
Di tengah rumah yang mencekam oleh teriakan dan tangis, suasana ruang tamu masih penuh dengan kegelisahan. Burhan mondar-mandir, menahan emosi. Sri terus memeluk Malika yang terisak di sofa, sementara Rosma hanya berdiri diam, bingung dan takut.
Lalu...
Terdengar suara langkah kaki dari arah dapur.
Hana muncul, dengan pakaian santai seperti biasanya. Di tangan kirinya memegang ponsel yang di tempelkan di telinga, di kanan kanannya memegang kemoceng. Sedangkan wajahnya terus tersenyum dan hanya fokus berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana.
Kelakuannya seolah menyiram bensin ke bara api di ruang itu.
“Baru semalam ketemu masa udah kangen lagi sih?”katanya di telepon, dengan suara sok manja yang terdengar begitu manis tapi sangat menusuk di telinga keluarga itu.
“Iya. Nanti saja kita ketemunya. Kebetulan besok malam ibumu juga mengajak aku untuk makan malam.”
“Katanya di Restoran. Katanya sehabis makan malam, ibumu mau ajak aku jalan-jalan di mall, mau belikan aku hadiah. Katakan pada ibumu jangan repot-repot. Aku jadi sungkan.”
Burhan membelalak. Sri menggigit bibir. Malika mendongak dengan mata merah, menatap tajam seperti ingin menerkam. Rosma bahkan menahan nafas.
“Aku calon menantu idaman? Dasar Kak Pradipta ada-ada saja.” Hana tertawa pelan dan genit. Suaranya halus, tapi penuh sindiran yang tak bisa ditoleransi.
Setelah menutup telepon, Hana memandang ke arah mereka semua dengan wajah seolah kaget dan tak tahu apa-apa.
“Oh maaf. Kalian ada disini rupanya?” tanyanya dengan nada ringan sambil membersihkan meja dan lemari hiasan dengan kemoceng.
Tak ada yang menjawab. Semuanya malah menatapnya murka.
Karena Hana tahu, dia baru saja menyiram garam di luka yang baru saja terbuka.
Ia lalu berjalan santai ke dapur, mengambil gelas, dan menuang air seolah tak terjadi apa-apa. Setelah minum, ia tersenyum sendiri dengan puasnya.
***
Burhan kini duduk di kamarnya, menatap layar ponsel yang sunyi. Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan yang tak dibalas telah ia kirimkan pada satu nama, Rendy.
Tapi tak satu pun dibalas.
Kemarahan dan keputusasaan berkecamuk dalam dadanya. Anak muda itu harus bertanggung jawab pada Malika, pada keluarga mereka, atau paling tidak pada harga dirinya sebagai kepala keluarga.
Dengan wajah suram, Burhan akhirnya menghubungi kontak terakhir yang ia punya, orang tua Rendy.
Beberapa saat kemudian
Burhan turun dari mobil dengan napas berat. Ia mengetuk pintu kayu tua yang sudah berjamur.
“Kemana kira-kira Rendy pergi? Apa kalian tahu?” tanyanya langsung ketika pintu terbuka, melanjutkan perbincangan mereka di telepon tadi.
Mereka terdiam sebentar. Lalu sang ibu menjawab pelan, “Kalau seperti ini biasanya dia akan menghilang cukup lama, kembali jika keadaan sudah mulai agak tenang.”
“Apa maksudnya itu? Apa itu berarti dia sering kabur seperti ini?”
Sepasang suami istri itu saling bertatapan takut.
“Iya sering sekali pak. Entah karena ditagih hutang, dicari rentenir, dicari polisi, bawa kabur motor atau mobil orang. Tapi kebanyakan datang seperti bapak, meminta pertanggungjawaban karena anak gadisnya di hamili.” Di kalimat terakhir si bapak mengucapkannya dengan hati-hati.
Burhan mengepalkan tangan. Napasnya sesak menahan emosi.
“Apa?! Jadi Rendy sudah memiliki banyak anak dari wanita lain?”
Keduanya langsung mengangguk pelan.
Burhan menendang meja reyot di depannya. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Memaki dalam hati, menyesali kenapa dia memilih pria se-brengsek itu untuk masuk ke dalam rencananya.
**
Malam merangkak pelan di rumah keluarga Burhan. Sunyi. Dingin.
Tak ada suara tawa. Tak ada percakapan seperti biasa.
Yang terdengar hanya isak tangis lirih dari balik kamar Malika.
Di kamarnya yang dulu menjadi kebanggaannya, Malika duduk meringkuk, matanya sembab, rambutnya berantakan, dan tubuhnya lunglai. Di tangannya masih tergenggam tespek dengan dua garis merah muda yang terus menatapnya, seperti penghakiman dari semesta.
“Bodoh. Kenapa aku bisa terbuai bujuk rayunya malam itu.” gumamnya lirih sambil mengingat kembali kata-kata manis dan janji-janjinya yang selangit.
Air matanya mengalir lagi.
Sambil terisak dia menyalakan ponsel dan mulai mencari-cari informasi soal masa subur. Dan jawaban yang ia temukan membuatnya lebih terpukul lagi, hari itu adalah puncak masa suburnya.
“Kenapa harus hari itu, kenapa bukan hari lain, kenapa bukan pria lain, dan kenapa bukan Pradipta saja?” tanyanya pada diri sendiri.
Sementara itu, di ruang keluarga, Sri dan Rosma duduk diam. Wajah keduanya tegang, nyaris kaku. Tak satu pun dari mereka menyebut nama Malika, seolah aib itu bisa hilang kalau tidak dibicarakan. Tapi jelas terlihat, mereka marah dan kecewa.
“Hamil di luar nikah, dengan penipu pula. Tuhan! Malika, kamu menjatuhkan harga diri kita habis-habisan.” Rosma bersungut-sungut.
Namun sekeras apapun kemarahan itu, tak satu pun dari mereka mau naik ke kamar Malika.
Mereka memilih diam. Membiarkannya menangis sendiri, seakan hukuman itu lebih pantas daripada kata-kata penghibur.
Di dalam kamar.
Malika mengambil ponsel. Dia ingin menelepon Rendy lagi.
Tapi nomornya masih tidak aktif.
Ia kembali memeluk lututnya.
Kini dia benar-benar sendirian. Bahkan ibunya sendiri tak lagi menenangkannya seperti dulu.
***
Sore itu, langit bersih, udara terasa segar, dan bunga-bunga di taman depan rumah Burhan mekar sempurna, tapi suasana rumah itu masih tetap diliput kabut muram.
Di balik pintu, Malika berdiri diam, menatap langkah Pradipta yang memasuki pekarangan. Tubuhnya tampak segar, setelan kasual rapi, dan wajahnya bersinar saat menatap pintu rumah.
Tapi ternyata bukan Hana yang pertama menyambutnya, melainkan Malika.
Wajah Malika kusut, tetapi tetap dipaksakan tersenyum. Dia menyapa Pradipta dengan suara yang sedikit serak tapi sengaja dilunakkan.
“Kamu yakin masih mau menikahi Hana?”
Pradipta mengernyit. “Kenapa tidak?”
Malika menunduk sejenak, lalu menatap Pradipta lagi, kali ini tanpa senyum.
“Karena mungkin dia sudah tidak seperti yang kamu pikirkan.”
Pradipta menahan napas. Tapi dia belum bicara.
“Rendy pernah mengatakan hal-hal yang membuatku berpikir,” lanjut Malika, pura-pura tenang, “Hana yang polos, lugu, dari desa pasti lebih mudah baginya untuk...Hmm, kamu sebagai pria pasti tahu maksudku.”
“Kamu yakin dia masih suci?”
DINGIN.
Ucapannya membeku di udara. Pradipta memandang Malika tajam, matanya seperti menusuk.
“Aku tak peduli. Apapun yang kamu dan ayahmu katakan tak akan menggoyahkan sedikitpun niatku untuk menikahi Hana.”
Langkah kaki terdengar.
Hana muncul dari balik pintu dengan senyum tenang, mengenakan gaun sederhana berwarna biru pucat, rambutnya terurai indah, wajahnya segar.
Dia sempat menatap Malika, lalu berkata datar.
“Kamu merasa hidupmu hancur lalu kamu ingin menyeretku ke dalam kehancuran yang sama. Kamu merasa semua ini karena ulahku, padahal ini karmamu.”
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..