Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Sore itupun, Mika terpaksa mengikuti Mamahnya pindah ke rumah sang Ayah-Rangga. Seakan tidak tahu malu, Aruna langsung saja duduk tenang diruang tamu, begitu Ana membukakan pintu.
"Wahai Ibu-Ibu entah dari planet mana datangnya, Anda ini sebenarnya siapa?! Masuk langsung duduk bersilang kaki. Terus ... Itu apa pake bawa-bawa koper segala?! Emang Anda kira ini hotel?" cerca Ana menatap jengah.
Aruna merasa geram. Ia sontak bangkit, dengan melempar tatapan tajam. "Heh! Kamu itu hanya babu, jadi jangan banyak tingkah! Jika saya berhasil menjadi Nyonya dirumah ini ... Akan saya pastikan jika kamu orang pertama yang saya pecat!"
Ana yang masih berdiri, merasa muak sekali. Memangnya siapa ia, main mecat saja. Seumur-umur kerja ikut Sabrina, majikannya itu tidak pernah sekalipun menegurnya dengan ucapan kasar. Tapi, wanita asing ini ... Tanpa malu bersikap semena-mena.
Mendengar keributan, Mbak Nur langsung bergegas keluar. Ia kini sudah berdiri disamping Ana, menatap bingung dengan dua orang asing didepannya.
"Mah, sudahlah! Nggak perlu keterlaluan begini," Mika berbisik, sedikit menarik lengan Aruna. Mika merasa tidak enak, apalagi ia berada di rumah istri Papahnya. Yang artinya, kedatanganya sungguh sangat tidak diharapkan.
Mendapat tatapan dari Nur, Ana seakan tahu. Ia lalu mendekat, dan berbisik, "Aku sudah menduga, Mbak. Wanita itu pasti yang membuat rumah tangga Ibu berantakan." Mungkin dari tingkah lakunya yanh sedikit urakan, membuat dua pelayan itu tidak habis pikir.
Nur lalu menatap Aruna. "Maaf, Anda siapa ya? Apa ada perlu, karena Bapak belum pulang."
"Siapkan satu kamar untuk putri saya, dan beri tahu saya ... Dimana kamar majikanmu?!" ucap Aruna, nadanya seakan ia sangat berkuasa dalam rumah itu. Padahal, dulu Sabrina saja selalu meminta dengan menyelipkan kalimat 'Tolong'.
"Maaf Bu, tapi saya tidak berani bertindak jika belum mendapat persetujuan dari Bapak, ataupun Ibu Sabrina!" balas Nur.
Aruna memalingkan wajah sekilas, diiringi tarikan nafas dalam. Mendengar nama Sabrina yang begitu dihormati, membuat darahnya seketika mendidih. Padahal sejatinya, ia juga istri sah Rangga. Ya ... Meski hanya pernikahan agama, yang entah sudah berapa tahun kadaluarsa.
"Sabrina bukan lagi Nyonya kalian! Dan ingat, jangan pernah kalian menyebut nama itu didepan saya!" kecam Aruna menunjuk wajah kedua pelayan didepannya. Ia sangat muak harus dibandingkan dengan istri sah suaminya itu.
Hingga, tak berselang lama, suara mobil Rangga mulai memasuki garansi rumah dua lantai itu.
Mendengar ada keributan didalam, Rangga bergegas masuk, hingga ...
"Aruna, Mika? Ngapain kalian berdua disini?!" Rangga masuk dengan tatapan terkejut. Wajahnya sangat cemas, takut jika suatu kapannya Sabrina dan sang putra datang.
Mika mendekat kearah Ayahnya. Wajahnya memelas, seakan ingin mengadukan semua perbuatan Ibu kepadanya. "Rumah kita disita Bank, Pah!" lirih Mika.
Kedua mata Rangga menajam sempurna. Ia lalu mendekat kearah istri sirinya, "BENAR YANG DIKATAN MIKA?" sentak Rangga.
Ana dan Nur langsung kembali kebelakang, karena masalah Majikannya terlalu runyam. Dan lagi, kemarahan Rangga sudah tidak dapat di toleransi. Dan baru kali ini Ana dan Nur melihat kemarahan majikannya. Dulu, tidak pernah sekalipun Rangga berteriak, atau membentak istrinya. Rumah tangga selalu tenang, adem, dan ayem.
"Mas ... Aku terpaksa hutang sama Bank! Aku hutang juga untuk membiayai kehidupanku dan Mika!" pekik Aruna ikut meluapkan emosinya.
"BIAYA APA? KEHIDUPANMU SEJAK DULU SUDAH AKU JAMIN, BEGITU SEMUA KEBUTUHAN MIKA. KAMU MEMANG KETERLALUAN ARUNA!" Emosi Rangga benar-benar meluap. Wajahnya seketika memerah, tidak habis pikir dengan sikap kegabah istrinya.
Aruna hanya mampu diam. Ia meringsut ketakutan melihat kemarahan Rangga saat ini. Mika mendekat, ia mengajak Ayahnya untuk duduk terlebih dulu.
Dan barulah Rangga mulai mengatur nafasnya, hingga terdengar suara desahan lirih. "Mamahmu keterlaluan, Mika! Papah sudah belikan rumah itu untuk masa depanmu, tapi malah digadaikan sertifikatnya." adunya lemah pada sang putri. "Kamu sendiri yang menghancurkan masa depan putrimu, Aruna!" pekik Rangga menatap istri sirinya kembali.
Aruna juga ikut duduk di sofa sebrang. Wajahnya masih tetap sama, memprotes apa yang diucapkan Rangga. "Mas, kamu itu nggak adil! Mika hanya kamu belikan rumah saja. Sedangkan anakmu ... Dia tidak hanya memiliki rumah! Mobil, beberapa aset milikmu yang kau simpan selama ini. Aku tau itu semua sudah atas nama Istrimu! Yang artinya juga dimiliki anakmu!" balas Aruna menajamkan matanya.
BRAK!
Rangga menggebrak kuat meja didepannya. "Aku menikahi Sabrina SAH secara agama dan hukum! Jadi, apapun yang aku miliki sudah pasti akan jatuh kepada anak Sabrina! Dan kamu Aruna ... Sudah baik aku memberikan kamu rumah, agar Mika juga punya tempat tinggal sendiri. Tapi apa ... Dengan bodohnya kamu menukar rumah itu dengan uang, demi memuaskan kegilaanmu dengan dunia fashion!" Tekan Rangga. Ia benar-benar merasa frustasi akan sikap gila istri sirinya itu.
Aruna hanya mampu mendengus kesal. Ia memalingkan wajahnya penuh rasa dendam yang tertahan.
Sementara Mika, begitu Rangga menyebutkan hartanya, entah mengapa didalam hatinya yang paling dalam, merasa semua itu tidak adil baginya. Namun apa boleh buat. Ia hanya anak diluar nikah. Tidak ada yang menjamin masa depannya akan indah. Semua yang terjadi dihari selanjutnya, pasti akan berpengaruh dari hasil kerja kerasanya sendiri.
*
*
*
Begitu turun dari tangga, Irene kali ini melihat gelagat yang mungkin jarang sekali ia temukan sebelumnya.
Rayhan sang Ayah, ia kali ini terduduk disofa ruang tengah, menyandarkan punggungnya, sambil menatap khayal tersenyum tidak jelas. Dalam pandangnya itu, seolah sosok Sabrina tengah tersenyum hangat juga kearahnya. Rayhan kali ini sangat menikmati pemandangan itu.
"Pah ... Papah sehat 'kan?" Irene sudah berdiri disamping sofa, menatap Lamat wajah Ayahnya.
Rayhan menoleh, ia seketika menjadi orang ling lung. "Ah, ada apa Sayang?"
Irene menghela nafas dalam. Ia lalu ikut duduk disamping tubuh Ayahnya, "Papah itu sejak tadi senyum-senyum gak jelas, tau nggak! Emangnya, ada apa sih Pah?"
"Nggak kok, Papah nggak kenapa-kenapa! Lagian, siapa yang senyum-senyum?! Papah aja baru duduk, dan seneng aja lihat pemandangan dikolam itu," tunjuknya kedepan.
Irene memutar jengan bola matanya.
Ia lalu menempel lengan Rayhan, "Pah, boleh ya ... Nanti aku mau main ke rumahnya Haikal?"
"Boleh sih ... Tapi nanti ditemani Edward!"
Mika spontan mengendurkan tubuhnya kesamping. Tatapannya jelas menolak. "Ih Pah ... Masak kemana-mana harus sama si bujang lapuk itu."
Rayhan bangkit, ia memandang putrinya dengan mengendikan bahu acuh. "Semua keputusan ada didirimu Baby!"
Irene melipat tangannya kedada, merasa kesal dengan ucapan Rayhan barusan. "Papah nggak seru!"
Tanpa bantahan lagi, Rayhan langsung bergegas naik keatas untuk mengistirahatkan pikirannya.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼