NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bimbang

Langkah kaki Camelia terdengar pelan di sepanjang lorong apartemen. Suara hak sepatunya menggema samar, menyatu dengan dentingan lift yang baru saja terbuka. Tangannya mencengkram tali tas selempang dengan lebih erat, seolah sedang berusaha meredam detak jantungnya sendiri.

Di dalam lift, ia berdiri sendirian. Dinding cermin memantulkan sosoknya, gadis berbalut dress hitam dengan pita merah manis di rambut. Tapi yang terpancar dari wajahnya jauh dari kata manis, melainkan kebingungan, cemas, dan juga takut.

Bibirnya terkatup. Matanya menatap kosong ke arah angka-angka lantai yang menurun. Ia masih teringat tatapan mata Sena tadi. Hangat tapi penuh kesungguhan. Kata-katanya, kalimat demi kalimat itu menancap di benaknya, menyesaki ruang-ruang yang sejak lama ia biarkan kosong.

'Kamu sempurna di mataku.'

Camelia menggigit bibir bawahnya, pun tangannya mengepal. Kenapa harus aku? Ia bukan orang yang pandai menanggapi perasaan, apalagi perasaan serumit itu.

Sejak kecil, hidupnya penuh batas. Batas antara dirinya dan kedua orang tuanya. Batas antara dirinya dan teman-teman yang tak pernah benar-benar dekat. Batas antara dirinya dan dunia.

Sena, dosen yang dihormatinya, pria dewasa yang nyaris tak bisa disentuh secara emosional oleh siapa pun, ternyata selama ini menyimpan perasaan yang bahkan tak ia duga.

Camelia takut.

Bukan karena pria itu berbahaya. Justru karena ia tahu, Sena terlalu serius dan tulus sementara ia terlalu rusak untuk menerima ketulusan itu.

Pintu lift terbuka. Camelia melangkah keluar dan menarik napas panjang. Udara malam menusuk kulitnya, dingin, membuat pikirannya sedikit lebih jernih. Tapi tetap saja, hatinya berdenyut tak tenang.

Dalam perjalanan pulang, ia tak banyak bicara. Sopir keluarga mengantarnya pulang seperti biasa, dan ia hanya menatap jendela sepanjang jalan, membiarkan kelap-kelip lampu kota menjadi latar kegundahannya.

“Apa aku terlihat pantas di mata seseorang seperti dia?”

“Apa ini nyata… atau cuma khayalan gila yang terlanjur menyentuh kenyataan?”

......................

Suara deru mobil pelan-pelan merapat ke halaman rumah. Camelia turun tanpa banyak bicara, hanya sempat mengangguk kecil kepada sopir sebelum melangkah masuk ke dalam.

Di ruang tamu yang remang, hanya diterangi lampu baca kuning keemasan, Rindi masih duduk santai di ujung sofa panjang. Buku setebal dua jari terbuka di pangkuannya, kacamata baca menggantung di batang hidung. Ia tampak tenang, seperti tak ada yang bisa mengusik pikirannya malam itu.

Sementara Camelia, hendak langsung melewati ruang tengah begitu saja, tapi suara ibunya menahan langkahnya.

"Sudah pulang? Gimana pamerannya?"

Camelia menghentikan langkah sejenak. Ia tidak menoleh, hanya menanggapi dengan suara pelan namun datar, "Bagus."

"Bagusnya di mana?" tanya Rindi, masih dengan nada tenang. Tapi Camelia tahu, itu bukan tanya yang butuh jawaban panjang.

Ia menghela napas sebentar, lalu menjawab, "Estetikanya."

Itu saja. Tanpa tambahan dan penjelasan.

Setelah itu, ia kembali melangkah menaiki tangga tanpa menunggu respon apa-apa lagi. Sedangkan Rindi hanya menatap punggung anaknya yang menjauh, sebelum kembali memindahkan pandangan ke halaman yang tadi ia baca.

Sementara itu, di dalam kamarnya, Camelia menutup pintu dan bersandar di belakangnya. Lampu ruangan belum ia nyalakan. Kegelapan membuatnya merasa sedikit lebih aman.

Pikirannya masih berputar. Tentang lukisan, tentang kalimat Sena dan tentang tatapan itu, bukan sebagai dosen, bukan sebagai orang yang lebih tua, tapi sebagai pria yang sedang membuka jiwanya habis-habisan.

“Aku mengagumimu, Mel. Bahkan dari jarak yang jauh.”

Camelia menatap langit-langit kamarnya, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur. Ia merasa, lelah. Bukan secara fisik, tapi batin. Bingung, takut, dan tidak siap. Kenapa aku? Kenapa harus aku? Lalu malam pun lewat begitu saja, ditemani sunyi yang semakin dalam dan hati yang makin tak tenang.

......................

Pagi di kampus terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Langit mendung menggelayut rendah, seakan menjadi cermin dari suasana hati Camelia yang berat sejak semalam. Ia berjalan cepat di lorong gedung, langkahnya teratur tapi tergesa, dengan headphone menyumpal telinga. Meski tak ada musik yang benar-benar ia dengarkan, benda itu cukup ampuh membuat orang enggan menyapanya.

Tas ransel kecil tergantung di satu pundak, dan file makalah berada di tangan kirinya. Hari ini ia ada kelas teori desain tekstil di lantai dua, dan tujuannya hanya satu,duduk di pojok, mencatat, dan pulang.

Namun takdir seolah tak mau membiarkannya begitu mudah.

Dari arah berlawanan, seseorang muncul di ujung lorong. Langkahnya tenang, tapi pasti. Postur tegap, kemeja biru muda tergulung rapi di siku, dan ya, itu dia.

Sena.

Camelia melihatnya dan refleks tubuhnya langsung bereaksi sebelum pikirannya sempat ikut campur. Ia menundukkan kepala, menambah kecepatan langkah, dan menggeser arah sedikit ke lorong samping yang lebih sepi. Menghindar.

Sena pun melihat Camelia. Ia sempat ingin memanggil, tetapi gerakan cepat gadis itu sudah terlalu jelas. Ia tahu betul jenis langkah seperti itu, langkah menghindar, bukan langkah tergesa karena telat kelas. Ia menghentikan langkah, menatap punggung Camelia yang menghilang di balik sudut koridor.

Dia menjauh.

Mungkin, memang begitulah seharusnya. Ia sadar bahwa malam tadi bukan hal kecil. Ia menunjukkan sisi terdalam dirinya, dan sekarang Camelia masih mencoba mencari ruang untuk memproses semuanya.

Ia tidak marah. Tidak juga kecewa, hanya ada perih yang tak bisa ia hindari. Karena tak ada yang lebih menyakitkan daripada disingkirkan tanpa kata.

Sementara itu, Camelia berhenti di tangga darurat, menarik napas panjang, dan meremas pelan map di tangannya. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, bukan karena ia lari, tapi karena ia takut.

Maaf, Mas... aku belum siap.

......................

Suasana kafe kecil di sisi timur kampus itu tak begitu ramai siang ini. Beberapa mahasiswa sibuk mengetik tugas atau bercengkrama pelan di sudut-sudut ruangan yang dipenuhi aroma kopi. Camelia duduk di meja pojok, menggulung lengan jaketnya, sementara di depannya, Giovani tengah mengaduk minuman dengan ekspresi penasaran.

“Jadi... kamu mau cerita apa?” tanya Giovani hati-hati.

Camelia mendesah. Lama ia diam, lalu akhirnya membuka suara. “Pernah nggak, kamu ngerasa... seseorang terlalu dekat sama kamu sampai kamu sendiri takut?”

Giovani mengerutkan kening, lalu tersenyum samar. “Kalau aku yang terlalu dekat sih sering, tapi kalau orang lain... mungkin pernah.”

Camelia tersenyum tipis, tapi sorot matanya masih kosong. “Aku... diperlakukan seperti seseorang yang sangat berarti. Sampai-sampai aku takut. Takut salah langkah, takut mengecewakan, dan takut jadi pusat dari sesuatu yang sebenarnya nggak aku minta.”

Giovani menatapnya lekat-lekat, lalu bersandar di kursinya. “Dia orang terdekatmu?”

“Bukan. Tapi dia terlalu, mengenalku. Bahkan lebih dari diriku sendiri, sepertinya. Dan itu membuatku, bingung. Aku nggak tahu harus merespon gimana.”

Giovani terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Aku nggak nyangka kamu bakal ngomong kayak gini.”

Camelia, menatapnya langsung untuk pertama kalinya sejak tadi. “Kenapa?”

“Karena kamu biasanya, ya kamu tahu, kamu dingin, tertutup, defensif. Tapi sekarang kamu cerita, kayak... bukan kamu.”

Camelia menatap cangkirnya, lalu tersenyum kecil. “Kita impas, Gio. Kamu pernah cerita soal keluargamu, ingat? Yang tentang Ayah dan, ibumu”

Giovani mengangguk.

“Sekarang giliranku. Mungkin aku nggak cerita semuanya. Tapi ini... ya, bagian dari hidupku yang berat juga.”

Giovani mengangguk, ia menggoyangkan sendok kecil dalam cangkir latte-nya. Sorot matanya lembut, seolah sedang mencoba membaca lebih dalam isi kepala gadis di hadapannya. Sementara Camelia menunduk, memainkan tutup botol air mineral yang ia genggam.

“Aku boleh menebak sesuatu nggak?” tanya Giovani.

Camelia melirik sekilas. “Apa?”

Giovani mencondongkan tubuh sedikit. “Kamu itu sebenarnya jatuh cinta, tapi kamu takut perasaan itu ngebawa kamu ke tempat yang kamu nggak bisa kontrol.”

Camelia tertawa kecil, tapi terdengar hambar. “Kamu terlalu banyak baca novel drama, Gio.”

“Tapi aku bener, kan?”

“Bukan tentang jatuh cintanya, tapi tentang perasaan yang datang tiba-tiba dan aku nggak siap. Rasanya kayak dihadapkan pada sesuatu yang terlalu banyak buat ditanggung sendiri.”

“Aku ngerti. Ada perasaan yang terlalu besar kadang malah bikin sesak, ya?”

Camelia menatapnya kali ini lebih lama. “Kamu juga pernah ngerasain itu?”

“Pernah. Tapi aku belajar kalau lari dari hal yang bikin kita takut cuma bikin kita makin bingung. Kadang kita harus berani bilang ke diri sendiri, ‘oke, aku nggak ngerti ini, tapi aku coba pahami pelan-pelan.’”

Camelia tersenyum tipis, entah karena lega atau karena merasa sedikit lebih dimengerti. “Mungkin aku harus belajar dari kamu.”

Giovani mengangkat bahu. “Belajarnya jangan semua. Aku juga masih sering kacau.”

Camelia, menyembunyikan senyum samar yang muncul di sudut bibirnya. “Kamu selalu bilang gitu.”

“Karena aku nggak bohong,” sahut Giovani ringan, lalu berdiri. “Ayo, kelas kita mulai dua puluh menit lagi. Kita jalan bareng?”

Camelia mengangguk. “Boleh.”

Mereka melangkah keluar dari kafe bersama, meninggalkan ruangan yang tadi menjadi saksi kecil bagi dua orang yang saling menyimpan luka, namun saling memberi ruang untuk pulih.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!