Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Setelah kejadian di galeri lukisan, keenam sahabat itu mulai menyadari satu hal: setiap kasus yang mereka selesaikan saling terhubung. Bukan hanya karena mereka memiliki kekuatan atau indra keenam, tetapi karena mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang jauh lebih besar: sang Dalang.
Namun hari itu, kejadian aneh datang dari arah yang tidak mereka duga. Saat Diriya pulang dari perpustakaan malam hari, ia menemukan sebuah cermin kecil di teras rumahnya. Bingkainya ukiran kayu tua, dan di baliknya tertulis:
"Tempatkan aku di hutan, dan aku akan menunjukkan jalan pulang."
Diriya langsung menghubungi Kirana. "Ini jelas jebakan, tapi... kenapa rasanya aku yang harus menemukannya?"
Kirana memandangi cermin itu saat mereka berkumpul. Sekilas, bayangannya terlihat—namun saat ditatap lebih lama, bayangan itu... tersenyum sendiri.
---
Esok harinya mereka pergi ke Hutan Nirmala, hutan terlantar yang kabarnya penuh legenda urban. Mereka memilih area terdalam, di dekat danau kecil yang tak pernah benar-benar jernih.
Diriya meletakkan cermin di atas batu besar.
Tiba-tiba angin berembus kencang. Kabut turun, dan satu per satu, wajah mereka mulai terlihat dalam cermin. Tapi anehnya, setiap bayangan tampak... lebih tua.
"Ini bukan kita sekarang... ini seperti... kita dari masa depan," gumam Kezia.
Namun satu cermin memantulkan sosok yang tidak mereka kenal. Seorang perempuan remaja, mengenakan seragam SMA berbeda, berdiri di tengah-tengah mereka.
"Siapa itu?!" tanya Jalu.
Tapi saat mereka menoleh, sosok itu tidak ada.
---
Tiba-tiba suara tawa kecil terdengar dari balik pohon. Sosok perempuan itu muncul, tapi kali ini wajahnya tidak seperti remaja biasa. Matanya terlalu besar. Senyumannya terlalu lebar.
"Kalian datang... akhirnya datang ke ruangku sendiri. Kalian bebas di sekolah, bebas di galeri, tapi ini... tempatku. Hutan ini... bukan hutan biasa. Ini tempat penggandaan."
Bayangan mereka dalam cermin mulai keluar satu per satu.
Mereka semua terbelalak."Itu... kita sendiri?!"
Namun bayangan itu bukan salinan biasa. Mereka bergerak lebih cepat, lebih kejam, dan... tanpa belas kasih.
"Bayangan dari masa depan yang gagal," bisik sosok perempuan tadi. "Versi kalian yang kehilangan akal. Mereka menunggu kalian... berganti tempat."
---
Pertarungan pun tak terelakkan. Diriya menghadapi versinya yang penuh kemarahan, Radit melawan bayangannya yang rakus kekuasaan. Jalu melihat dirinya menjadi pengecut, Kezia menjadi pengkhianat.
Kirana? Ia tak melawan. Ia... menatap bayangannya sendiri.
Versi lain dirinya tersenyum, lalu berkata, "Aku adalah kamu... saat kamu memilih menyelamatkan dunia dan kehilangan semua orang."
Kirana menatapnya tajam. "Aku tak akan memilih salah satu. Aku akan selamatkan keduanya."
---
Ia mengangkat cermin itu dan memecahkannya di atas batu.
CRAAKK!
Semua bayangan menghilang dalam pusaran cahaya. Hutan kembali sunyi. Kabut menghilang.
Sosok perempuan itu tertawa kecil sebelum tubuhnya terpecah menjadi kaca-kaca kecil dan lenyap bersama hembusan angin.
---
Mereka semua duduk di tepi danau, terengah-engah.
"Itu tadi... versi kita yang gagal?" tanya Nila.
"Atau masa depan yang bisa jadi nyata kalau kita menyerah," jawab Radit.
Kirana menatap langit yang mulai cerah. "Dan kita tidak akan menyerah. Karena kita belum selesai. Masih ada... satu tempat lagi."
Hari Senin pagi, sekolah kembali seperti biasa. Tidak ada hantu, tidak ada lukisan, tidak ada bayangan. Tapi justru suasana yang terlalu tenang itu membuat Kirana merasa gelisah.
"Sudah seminggu tidak ada gangguan," gumam Diriya saat mereka duduk di ruang klub investigasi spiritual. "Aneh, bukan?"
"Seperti badai yang sedang menahan nafas sebelum menerjang," jawab Radit pelan.
Kezia masuk sambil membawa map laporan sekolah.
"Kau tahu, ada sesuatu yang aneh dari denah sekolah ini," ujarnya.
Ia menunjuk denah SMA Purnama Jaya.
"Lihat ini. Ada tulisan tangga menuju lantai keempat, tapi... tidak ada lantai empat di sekolah ini. Bangunan kita hanya tiga lantai."
Mereka semua menatap satu sama lain.
"Jadi, lantai empat... pernah ada?" tanya Nila.
"Atau masih ada," bisik Jalu.
---
Malam harinya, mereka menyelinap ke sekolah. Lewat tangga barat yang biasanya tidak digunakan, mereka naik ke lantai tiga. Tapi Kezia memegang dinding, dan menemukan sesuatu sebuah celah tersembunyi di dinding semen. Saat didorong, tembok itu terbuka seperti pintu rahasia.
Di baliknya, ada tangga kecil menanjak. Gelap. Berdebu.
"Lantai keempat..." bisik Kirana.
---
Saat mereka sampai di atas, jantung mereka berdebar keras.
Koridor sempit. Lampu mati. Dinding penuh coretan lama—tulisan tangan seperti jurnal yang terpahat di dinding.
"Kami masih di sini. Waktu berhenti di tahun 2004. Jangan buka kelas terakhir."
Di ujung lorong, ada satu kelas. Pintu kayunya tertutup rapat. Namun dari dalam, terdengar suara ramai: tawa siswa, suara guru, dan bel istirahat.
"Ada orang?" bisik Diriya.
Kirana mendekat dan mengintip dari jendela kecil.
Ia terdiam.
"Apa yang kau lihat?" tanya Radit.
"Kita... semua. Ada di dalam. Kita. Tapi... seragamnya kuno. Tahun 2004."
---
Mereka membuka pintu perlahan.
Di dalam, ruangan itu terang. Seolah siang. Murid-murid tertawa, mencatat pelajaran, bercanda. Tapi semua tidak menyadari kehadiran Kirana dan teman-temannya.
"Ini... bukan waktu sekarang," bisik Nila.
Seorang guru menoleh. Matanya kosong. Lalu seluruh kelas berhenti bergerak.
"Tamu dari masa depan... tidak boleh mengganggu keseimbangan. Kalian telah membebaskan banyak jiwa. Tapi jiwa kami... dibekukan. Oleh waktu yang dibatalkan."
Kirana maju. "Siapa yang membekukan kalian?"
Salah satu siswa bangkit. Wajahnya penuh luka. Seragamnya robek.
"Kami adalah kelas yang dihapus. Setelah kecelakaan waktu di percobaan fisika tahun 2004, kami... hilang. Tapi tak mati. Sekolah menghapus lantai ini agar tak membangunkan kami. Tapi kalian... telah menapak tanah yang dilupakan."
Tiba-tiba lantai bergetar.
Langit-langit berubah menjadi cermin air, dan seluruh kelas terserap ke dalam bayangan.
"Keluar!" teriak Diriya.
Mereka semua berlari ke pintu, namun Kirana tertahan.
Satu tangan mencengkeram pergelangan kakinya.
"Tolong... keluarkan kami... kami masih bisa diselamatkan. Pakai alat waktu..."
---
Di ruang klub keesokan harinya, mereka membuka arsip tua sekolah dan menemukan artikel koran tahun 2004.
"Ledakan laboratorium waktu, 23 siswa hilang. Tak ditemukan jasad. Lantai 4 ditutup."
Radit menghela napas. "Kita harus kembali. Kita harus selesaikan ini. Mereka bukan arwah. Mereka... hanya tersesat di lipatan waktu."
Kirana mengangguk. "Dan kita... akan membebaskan mereka. Bahkan jika itu berarti menghadapi waktu itu sendiri."
Bersambung