Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Sari dan raisa saling pandang,mereka benar-benar di buat bingung oleh kelakuan ajaib hana.
"Siapa yang melakukan ini pada tamu ku?" Tanya atun dengan sedikit berteriak,membuat raisa maupun sari terperanjat kaget.
Saat sari ingin membuka suara, hana dengan cepat menyela ."Raisa bu. Dia menyiram dress ku dan mendorong ku!" ucap nya, membuat semua orang nampak kaget,termasuk raisa dan sari.
Atun membulatkan matanya merasa sangat malu, pandangan nya beralih pada menantu nya. "Jahat ya kamu raisa! " teriak nya dengan lantang membuat raisa menggelengkan kepalanya pelan.
"Tunggu bu...bahkan raisa tidak sama sekali pernah menyentuh dia!" sela sari dengan tangan yang menunjuk ke arah hana."Dia melakukan nya sendiri bu!." sambung nya lagi dengan nada penuh keyakinan.
Atun mengerutkan dahi nya,dia merasa bingung sekarang. Kini pandangan nya beralih pada hana yang masih dengan posisi yang sama.
Dengan cepat hana menggelengkan kepalanya,mulai merasa panik. Takut sekali jika atun malah mempercayai anak perempuan nya.
"Mana mungkin bu....aku melakukan ini sendiri. Aku bukan orang gila bu!" tegas hana dengan air mata yang mulai membasahi pipi mulus nya itu.
Iwan yang memang sedang sibuk di belakang rumah pun,mendengar samar-samar keributan.
"Ada apa ya di depan,kok kayak ada ribut-ribut?" tanya nya pada diri sendiri.
Penasaran dengan hal itu,akhirnya iwan melangkah dengan tergesa-gesa ke arah kerumunan yang baru saja dia lihat.
Melihat iwan yang baru datang,hana dengan cepat berdiri dan berlari kecil menuju iwan.
"Wan… lihat kelakuan istrimu! Dia mempermalukan aku di depan semua orang. Di acara keluarga seperti ini, dia malah merusak suasana dengan menyakitiku," rengek Hana, matanya berkaca-kaca sambil mencoba menggenggam lengan Iwan.
Namun, Iwan sigap mundur beberapa langkah, jelas menunjukkan penolakannya.
Penolakan itu membuat dada Hana seolah diremas. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga malu yang menyesakkan. Ia berdiri terpaku, menahan emosi yang mulai mendidih.
"Istriku tidak mungkin melakukan itu," tegas Iwan, menatap Hana tanpa keraguan sedikit pun.
"Bahkan saat dia marah atau terluka, Raisa selalu memilih memendam semuanya sendiri. Dia tidak pernah menyakiti orang lain, apalagi mempermalukan siapa pun."
Kata-kata Iwan menggema di tengah keheningan, membuat semua orang terdiam. Ia berdiri tegak, tanpa ragu membela istrinya di depan keluarga, demi menjaga nama baik Raisa.
Sari yang mendengar itu,ia merasa bangga. Adik kecil nya yang selalu membutuhkan pendapat dirinya, sekarang mampu membela sang istri di depan semua keluarga nya.
Dengan tulus sari menepuk bahu raisa. Menguatkan dan meyakinkan bahwa suami nya ada di pihak nya.
Raisa menoleh,dia mengangguk kan kepalanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca menahan haru.
"Mas... ternyata kamu benar-benar membuktikannya."
Gumam Raisa dalam hati, matanya berkaca-kaca saat menatap sosok suaminya yang kini berdiri tegar di hadapannya.
Tatapannya penuh haru, campuran antara kagum dan syukur seolah hatinya berbisik, aku tak salah memilihmu...
"Halah kamu ini wan. Terlalu buta oleh cinta, kamu tidak ingat saat kemarin? Saat hana dan raisa bertemu. Sikap nya sudah menunjukan bahwa memang raisa pemarah dan tidak tahu sopan santun!" sela atun dengan nada kesal nya. Bahkan atun mengingatkan kembali kejadian saat iwan membela hana di depan raisa.
Sementara saudara yang lainnya menatap heran,tidak ada yang berani menyela. Semua nya hanya menjadi penonton setia.
"Cukup, Bu..."
Suara Iwan terdengar tegas, namun tetap menjaga sopan santun.
"Kemarin aku sudah salah besar. Aku terlalu buta hingga membela orang lain dan melukai hati istriku sendiri."
Ia melirik Raisa dengan tatapan penuh penyesalan.
"Sekarang, izinkan aku memperbaiki semuanya. Aku mohon, jangan lagi ucapkan hal-hal yang bisa menyakiti perasaannya."
"Lagian, Ibu ini kenapa sih?" Sari menyela dengan nada kesal.
"Ngapain juga bawa-bawa orang luar ke acara keluarga sendiri?"
Ia menggelengkan kepala pelan, benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah laku ibunya yang semakin membuat suasana keruh.
"Jaga bicara mu teh. Teteh ini keseringan deket sama raisa ya jadi gini."jawab atun dengan mata yang melotot"jadi kurang ajar sama ibu!" sambung nya,terlihat kekesalan di wajah nya.
Sari di buat melongo,dia menggeleng pelan. Namun saat ia ingin membuka suara,raisa menggenggam tanga ipar nya itu. Sontak sari menoleh ke arah nya,raisa memberi isyarat dengan gelengan kecil.
Mau tidak mau sari harus mengalah,membiarkan ibu nya terus menyalahkan kekacauan ini pada raisa.
"Lagian, Iwan! Kamu ini kenapa sih? Malah milih dia dibanding Hana!" bentak Bu Atun tanpa malu-malu.
"Dari pakaian, wajah, sampai harta... Raisa jelas kalah jauh!"
Tak tanggung-tanggung, Atun melontarkan semua isi hatinya di depan keluarga besar.
Sontak, suasana langsung hening.
Iwan, Sari, dan semua yang ada di ruangan, termasuk Raisa, terhenyak kaget. Tak ada yang menyangka Atun akan seberani dan setega itu mengucapkannya. Mata Raisa membesar, hatinya terasa seperti diremas.
Di tengah keributan dan tatapan penuh kecanggungan dari semua orang, bibir Hana perlahan melengkung membentuk senyum samar. Matanya tak lepas menatap Atun yang kini berdiri di sampingnya, membela mati-matian meski semuanya tahu kenyataan sebenarnya.
“Hebat juga si ibu tua ini. Akhirnya dia tunjukkan keberpihakannya,” gumam Hana dalam hati, penuh kepuasan.
Ada rasa senang, bahkan menang dalam dada Hana. Ia tahu, satu per satu rencana kecilnya mulai berhasil. Saat Raisa terpaku diam, wajahnya menahan sakit hati, hati Hana justru bersorak penuh kemenangan.
“Lihat saja, Raisa. Ini baru permulaan. Kau pikir dengan wajah lugu dan hati sabar itu kau bisa mempertahankan semuanya? Tidak semudah itu…”
Meskipun wajahnya dibuat seolah-olah tersakiti dan pura-pura terharu, dalam hati Hana tertawa penuh sinis. Ia senang melihat Iwan dihadapkan pada pilihan yang memecah belah hatinya. Dan kini, dengan Atun berdiri sebagai tameng, Hana merasa langkahnya semakin mulus.
"Cukup, Bu. Kenapa Ibu jadi bicara ke mana-mana?" jawab Iwan dengan kesal. Dia benar-benar tidak menyangka jika sang ibu berani mengatakan itu semua di depan banyak orang.
"Ibu mengatakan yang sebenarnya, Iwan. Coba saja kalau kamu menikah dengan Hana, pasti sekarang kamu sudah punya momongan," sela Atun dengan penuh keyakinan, seolah tidak memedulikan keberadaan menantunya di sana.
"Bu..." lirih Raisa dengan suara gemetar, menahan air mata dan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Semua orang sontak menoleh padanya, keheningan seketika meliputi ruangan. Bahkan Atun pun menoleh, seolah baru menyadari keberadaan menantunya yang sejak tadi diam namun menyerap setiap kata seperti duri yang menusuk hati.
Raisa berdiri perlahan, tubuhnya sedikit bergetar. Matanya memerah, menatap Atun tanpa gentar meski hatinya terasa dicabik.
"Selama ini saya diam, bukan berarti saya tidak tahu bu... Tapi kalau ibu berpikir saya pantas dibanding-bandingkan, saya mundur. Saya bukan perempuan sempurna, tapi saya istri sah mas Iwan. Dan saya tidak akan izinkan siapa pun merendahkan harga diri saya, bahkan ibu sendiri."