Sederhana saja. Tentang seorang gadis yang bernama Hazel yang sulit melupakan seseorang yang berperan penting dalam lembaran masa lalunya dan Calix si lelaki yang memiliki ribuan cadangan disana-sini.
Karena sebuah insiden yang mana Hazel nyaris dilecehkan oleh beberapa Brandalan, menggiring Hazel, pada jeratan seorang Calix Keiran Ragaswara, laki-laki yang narsisnya mencapai level maksimal, super posesif, super nyebelin, sumber bencana, penghancur terbaik mood Hazel.
"Sekarang, Lo hanya punya dua pilihan. Lo jadi pacar gue. Atau gue jadi pacar elo!" Calix Keiran Ragaswara.
Penasaran? simak ceritanya!
-Start publish 14 juli 2023.
-FOURTH NOVEL
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rsawty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MPB•MANDI HUJAN
"Hazel, hey.. Hazel.." jiwa Hazel tertarik keluar dari dunia imajinasi kala Calix melambai-lambaikan tangan didepan wajahnya, dia terkesiap.
"Ah--Calix? Ada apa?"
"Lagi ngelamunin apa lo?"
"Hah? Enggak! Enggak kok, gue cuma--lagi merenungi nasib! Iya nasib.. hehehe.." ketawa Hazel terdengar mencurigakan, terdengar garing gitu, padahal tak ada yang lucu disini.
Calix menatapnya aneh. "Dasar Freak lu!"
Karena tidak bisa bergerak lebih leluasa, sedikit kesusahan, Hazel memutar balikan tubuhnya, kegiatan serupa dengan Calix, ikut mengamati embun yang masih betah turun dari atas langit.
Berhubung cuaca yang tak mendukung seperti ini, tentu banyak orang-orang yang beraktivitas akan mencari tempat berteduh. Akan tetapi, lokasi tempat mereka termasuk strategis, tak ada yang meneduh disini selain mereka berdua, alias sepi.
"Calix, buka resleting jaket lo." Titahnya. Hazel tak bisa membukanya karena tangannya terkurung dibalik jaket.
"Ngapain?"
"Buka dulu ish! Tinggal buka aja, apa susahnya sih?!"
Akhirnya Calix menurunkan resleting jaketnya sesuai perintah, Hazel keluar dari sana, dia dapat bernapas dengan stabil. Didalam jaket Calix, dia kesusahan mengambil oksigen akibat berhimpitan.
"Dari pada kita hanya diem bae disini, ada kegiatan lain yang lebih asik dibandingkan dengan ini."
"Apa, emang? Lo ngajakin gue melakukan tumbal pesugihan? Yaudah gas, asal lo yang jadi tumbalnya."
"Omongan lo terlalu ngelantur, ck." Tubuh gagahnya terseret, ditarik paksa oleh Hazel keluar dari tempat berteduh mereka.
"Eh--lo ngapain sih?! Basahkan jadinya?!"
Seluruh pakaian mereka berdua kini telah basah kuyup diguyur oleh air hujan. Jika ujungnya basah-basahan, buat apa tadi berteduh?
Calix masih mencoba menjaga kepala Hazel dengan kedua telapak tangan besarnya. "Cari penyakit lo?!"
"Gak ngaca? Lo juga udah kehujanan, sama aja lo juga cari penyakit."
"Ck, stamina gue kebal. Gak kaya lo cewek lemah, mudah terkena penyakit."
"Gak usah khawatir.." dengan kepala mendongak keatas, Hazel mulai memejamkan mata sambil membuka lengan.
"Gue? Khawatir sama lu? Dih, mimpi lu!" Cercanya, dia memperhatikan Hazel yang saat ini memutarkan badannya, menari-nari di bawah guyuran hujan, seraya merentangkan tangan mulai terbawa suasana.
"Lix? Lu cobain deh kayak gue."
"Apaan?"
"Pejamkan mata lo."
Calix menurut, dia menutup kelopak matanya. Entah untuk apa gunanya, Calix juga tak tahu, yang lebih begonya, dia malah melaksanakan segala suruhan Hazel.
"Mendongak, terus tarik napas lo dalam-dalam--" Calix meraup napasnya, mencoba untuk meresapi udara di sekeliling.
Kulitnya diterpa oleh jutaan butiran air hujan, tak ada yang lain dapat ditangkap oleh indera penciumannya selain aroma mint bersumber dari air hujan dan angin Damai..adem..juga tenang..
"Gimana? Tenang, bukan?"
"Biasa aja. Siapa yang ngajarin lo melakukan hal yang unfaedah kaya gini?"
"Ada...dia, orang yang spesial dalam hidup gue..." Gumam Hazel tak jelas, Calix pun tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
"Lo bilang apa barusan? Dia, orang yang--" Kening Calix tertekuk dalam, nyaris menyatu saking penasaran dengan kalimat Hazel berikutnya yang tak dapat ditangkap dengan lebih seksama oleh dua telinganya.
"Eum? Enggak.." Hazel menggeleng, enggan memberi tahu. Bisa ditelan Calix hidup-hidup dia kalau sampai keceplosan disini.
"Oh iya, ada hal lain yang jauh lebih seru ketimbang yang kita praktekan barusan."
Hazel lalu menarik lengannya. Tubuhnya kembali tergiring menuju sebuah genangan air. Three--two--one!
Plash!!
Air yang keruh, bisa dibilang sedikit becek tersebut terpercik kemana-mana kala Hazel meloncat tepat di genangan air, mengenai kewajah berharga Calix yang kini memejamkan mata geram sambil meraup wajahnya.
"Hazel..."
Menipiskan bibirnya, Hazel mati kutu. Dia terdiam. Dengan kikuk, memamerkan seretan gigi putihnya. Rada takut, apabila Calix akan mencekiknya disini karena dirinya telah bermain-main pada siluman iblis ini.
Namun ternyata prasangkanya salah, karena tak berselang lama kemudian, senyum usil terukir. "Gini, yang bener.."
Memberi contoh pada Hazel, dia meloncat lebih kuat dari yang Hazel lakukan barusan. "Mampus lu!!" Semburan air lebih kencang mengenai Hazel.
Mereka berdua sama-sama terbungkam seraya bersitatap, sebelum akhirnya dengan kompak meloncat bersama-sama. Tawa lepas keduanya turut menyertai ditengah derasnya hujan. "Hahaha..." Hanya ada rasa bahagia yang menyergap mereka, bahkan hingga lupa waktu.
Sekali-kali kembali ke masa kecil tidak apa-apakan? Usia yang sudah akan beranjak dewasa bukan berarti tak ingin bermain seperti anak kecil pada umumnya. Kadang kala, masa kecil lebih asik ketimbang masa dewasa yang lebih rumit dari pada yang terkira.
Masih dengan sisa-sisa tawa mereka, Calix menangkup pipi mulus Hazel, dia menyatukan dahi mereka berdua. "Ini pertama kalinya.."
"Eum? Pertama kali apa?"
"Untuk kali pertama, gue liat tawa tulus lo.. setiap hari, lo bersikap friendly sama siapa saja. Murah senyum. Tapi--entah mengapa gue menemukan, ada sebuah kilat kesedihan dimata lo.."
...*****...
"Hujannya awet banget sih..? Mama bisa cemas kalo gini.." racaunya.
Memeluk tubuhnya sendiri, Hazel mengusap-usap lengannya, berharap dengan begitu, sedikit menghangatkan tubuhnya.
Hujan bukannya mereda, justru yang ada awet hingga sekarang. Dewa alam tak mendengarkan segala do'a yang dia panjatkan dalam hati.
Mereka sekarang berada dalam rumah kosong berlindung diri dari badai angin yang melengkapi embun menerjang bumi.
Belum lagi, dia harus terperangkap dengan Calix, si Pria paling berbahaya. Juga pembawa mala petaka dalam hidupnya.
Hazel menutupi matanya kala lelaki itu dengan serampangan membuka pakaiannya didepan matanya.
Sudah berapa kali, cowok ini memamerkan tubuhnya padanya? Coba saja dia jadi gigolo, tubuh sempurnanya tak akan menjadi sia-sia.
"Lu bisa gak sih kalo buka pakean jangan sembarang! Gue cewek juga, tahu?!"
"Ya terus kenapa? Sudah ribuan cewek yang liat badan proporsional gue. Jadi, apa salahnya pamer sama lo juga? Lo kan pacar gue. Masa cewek-cewek lain pada terpukau liat tubuh gue, sementara cewek gue sendiri, malah nutup mata?"
"Gue bukan cewek-cewek lain yang lo sebutin itu.."
Hanya mengedikan bahunya tak acuh, Calix memeras bajunya yang basah akan hujan, dia melangkah lantas menyampirkan ditali temali yang terdapat dipojokan.
Dia menoleh kearah Hazel setelahnya. "Buka baju lo."
Dengan segera, Hazel menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Panik? Tak usah ditanya! Dirinya dan Calix, ibaratkan kelinci dan binatang buas.
"Maksud lo apa nyuruh gue buka baju hah?! Lo jangan berani-berani berbuat yang aneh-aneh! G-gue bakal laporin sama pihak yang berwajib!"
Gertakannya di sambut decakan sebal oleh Calix. "Gak ada yang mau mecem-mecemin lu, ck. Seragam lo basah semua, harus dibuka biar lo gak masuk angin.."
Sekarang dia mengambil posisi duduk disudut tanpa alas sambil menyandarkan punggungnya ditembok.
Dengan tatapan meremehkan matanya aktif, mengamati Hazel dari kaki hingga ujung kepala. Kemudian dia merotasikan matanya.
"Dengan badan kurus kerempeng lo itu, muka pun kaya opet, kayaknya lo terlalu percaya diri kalo gue bakal melecehkan lo disini.. ngaca dulu sana! Tepos gitu, gak sedikit pun buat gue tertarik."
Hazel mendengus pelan. Entah bersyukur atau tidak. Bagus juga jika memang Calix tak tertarik dengan tubuhnya, dia bisa selamat. Tapi--dia juga tak senang mendengar hinaannya. Menohok hati mungielnya.
"Lo pake pakaian daleman, kan?"
"Pake."
"Yaudah buka aja. Gak bakal gue apa-apain. Janji deh."
"Gue pegang janji lo! Kalo lo melanggar, siap-siap aja habisin sisa umur lu di jeruji besi!"
"Iya ck, buruan! Lo udah kedinginan banget keliatannya. Sampe menggigil gitu, bisa sakit lo lama-lama!"
Meski dalam keadaan ragu-ragu, Hazel mulai melucuti pakaian seragamnya, menyisakan rok juga tanktop hitam yang membalut sempurna pada tubuh mungilnya.
Seusai menyampirkan pakaiannya berjejer dengan baju milik Calix, dia meraih tas ranselnya disebuah kursi lapuk dan kusam untuk menutupi bagian tubuhnya yang sekiranya harus ditutupi.
Seketika Calix membuang muka begitu sempat menangkap dua gundukan milik Hazel yang menyembul dari pakaian ketatnya.
Dia terlalu percaya diri tadi berjanji, padahal belum tentu dia bisa mengontrol diri. Jakunnya saja sudah kelihatan bergerak naik turun. Masih untung jika dia tak akan khilaf disini.
'Shiit! Padahal badannya gak sesemok cewek-cewek di luaran sana, tapi kenapa bisa buat gue ampe nelen ludah, njirr!!' Batinnya menjerit didalam sana.
Tangannya terbuka, seolah memberi isyarat agar Hazel masuk kedalam dekapannya, pandangannya masih melengos, belum mampu melihat Hazel. "Peluk sini, biar gue angetin dikit."
"Lo--beneran gak apa-apain gue kan?" Demi tuhan, Hazel ketar-ketir sekarang. Apalagi dia sudah tahu bagaimana karakter Calix yang nekat. Bila tak mengeluarkan baju, mungkin dia akan mati kedinginan.
"Gak. Barusan gue udah janji kan..?" Lirihnya. Namun, imbuhannya dalam hati berbeda dari kalimat yang dia sampaikan secara lisan. 'Gak bisa janji, Zel.. lu terlalu indah untuk dianggurin..'
Hazel memberanikan diri untuk mendekat, dia menekukkan lututnya dilantai, meletakkan tasnya sebelum beringsut kearah Calix memakai lutut.
Calix meraihnya menggunakan sebelah tangan, tubuh kecil gadis itu masuk kedalam dekapannya.
Mereka saling menghangatkan dengan suhu badan masing-masing. Dengan nyaman, Hazel menenggelamkan wajahnya dibalik dada bidang Calix.
Calix menaikan satu kakinya, kepalanya pun dia sandarkan pada dinding. Dia menengadah melihat langit-langit rumah terbengkalai ini. Setiap sudut ruangan ini, dipenuhi sarang laba-laba. Suatu hal yang wajar, karena ini adalah rumah tua yang sudah terbengkalai.
"Tenang aja, ini bukan kali pertama gue, peluk cewek." Ungkapnya berterus terang.
Kepala Hazel bergerak, dia mengangguk. "Udah tahu kok. Karena lo, cowok brengsek Calix.." sahut Hazel tak menghiraukan. Kini giliran Calix yang mengangguk pelan.
'Kalo ada cowok yang paling brengsek dari lo, mungkin itu, dia..' Lanjut Hazel dalam hati.
"Iya, gue emang brengsek."
"Udah berapa banyak cewek yang lo perawanin?"
Pandangan Calix menunduk mendengar sebuah pertanyaan yang dilayangkan, bertemu dengan manik mata Hazel yang menyembulkan kepalanya dari balik dada dada telanjangnya.
Tuk!
Calix menyentil dahinya gemas. "Ngaco lu ah! I'm such an assholee, but--" (Aku memang bajingan, tapi--)
Ucapannya terjeda, jari telunjuknya beralih menyelipkan anak rambut Hazel yang sedikit menutupi paras cantiknya, kebelakangan telinga.
Dia menatap gadis didepan matanya begitu intens. "Gue, belum pernah melakukannya sampai sejauh itu."
"My virginity is only for my wife later.."(Keperjakaanku hanya untuk istriku nanti) tambahnya berbisik pelan didepan wajah Hazel. Padahal bukan apa-apa, tapi mengapa Hazel sampai tersentuh?
Sepertinya, Calix tidak sebejat dalam pikirannya. "Tapi--kalo soal ciipokan, greepe-greepe, terus neneen sama cewek, gak usah ditanya...udah bosan-bosan.."
Nah kan, kumat lagi. Baru saja Hazel berasumsi baik mengenai Calix, ekspresi gadis itu langsung luntur, berubah drastis menjadi sedatar-datarnya kala mendengar pemaparan Calix berikutnya.
Alhasil, Hazel mengerutkan batang hidungnya tak suka. Baiklah, dia akan menarik kembali pikiran sempitnya yang mana sempat menyimpulkan hal baik tentang Calix. Hampir saja dia terperdaya.
Hazel mencomot bibirnya yang suka tak difilter kalau berbicara. "Kalo ngomong, kalimatnya disaring dulu. Frontal amat nih mulut. Minta di selotip kayaknya."
Calix menggapai pergelangan tangan Hazel. "Gue praktekin sama lu, mau?"
Tak urung, Hazel memukul dada bidangnya. "Ingat janji lo barusan!" Terkekeh ringan, Calix menekan belakang kepala Hazel agar semakin mengencangkan rengkuhannya.
"Bercanda Zel bercanda..jangan diambil serius.."
"Lo gak ngerasa bersalah gitu? Sudah menodai anak orang.."
"Buat apa? Mereka yang nyerahin diri ke gue.."
"Elah, salah sendiri di gas-gas aja."
"Gue cowok Zel.. ibarat ikan yang dikasih umpan, mana bisa nolak?"
Hazel hanya membulatkan mulut membentuk O menyudahi obrolan tak ada gunanya, lalu seusainya diantara mereka hanya keheningan yang melanda, larut dalam suasana, tak ada yeng membuka suara.
Hazel yang menyandarkan sisi kepalanya didada kokoh Calix kemudian Calix hanya sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Kini hanya ada bunyi gemericik hujan yang mendarat diatas genting rumah kumuh tersebut yang memecahkan suasana. Hingga akhirnya, Hazel yang menyeletuk lebih duluan.
"Oh iya, gue harus hubungi keluarga gue, biar gak ada yang khawatir sama gue."
Hazel memutar arah, meraih tas ransel berwarna brown miliknya yang tak jauh dari jangkauannya, selepas dia membuka resletingnya, dia menggeledah isi tasnya.
Dia mengeluarkan ponselnya dari sana, mencoba menyalakan benda tersebut. Sayangnya, benda pipi itu tak mau menyala, "Kok gak nyala sih?!"
Berulang kali pinggir ponselnya menampar di telapak tangannya. Berharap dengan begitu, bisa ada keajaiban dan ponselnya akan menyala.
"Kenapa?" Calix menumpukkan dagunya di bahu Hazel, memperhatikan aktivitas Hazel yang sedang mengutak-atik benda pipi ditangannya.
"Ini, hp gue gak bisa nyala. Mungkin terkena air tadi pas kita mandi hujan."
"Salah lo sih.. udah tahu hp kentang, gak dijaga dengan baik. Seharusnya lo tadi mandi hujan gak bawa tas.."
Menggunakan sebelah tangan, sementara salah satu yang lainnya masih melingkar manis di pinggang ramping Hazel, Calix merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, menyodorkannya pada Hazel.
"Nih. Pake handphone gue aja."
"Emang gak kena hujan juga?" Hazel meraihnya.
"Hp gue anti air."
"Sultan mah beda." Gumam Hazel berdecak takjub.
Jika tak mengingat penampilan mereka dalam keadaan meresahkan, Hazel mungkin masih menggunakan ponsel ini ber-swafoto bersama dengan Calix, grafik kameranya sudah jelas lebih dari kata bagus.
Mengesampingkan hal yang tak penting, dia mengutamakan tujuannya lebih dahulu. Jari-jemarinya mulai menari-nari dipermukaan keyboard. Untungnya, dia menghapal nomor Mamanya.
Hazel menempelkan ponsel Calix ke telinga saat panggilan berdering. Entah kedetik yang keberapa, panggilan akhirnya tersambung.
"Hallo? Kalau boleh tahu, ini siapa?"
"Hallo Mah? Ini Hazel.."
"Loh, Hazel? Kamu ganti kartu? Kenapa nomornya beda?"
"Hazel lagi pinjem hp temen. Soalnya hp Hazel gak bisa nyala gara-gara kena air.."
Disela-sela Hazel berbincang dengan Mamanya, Calix menggunakan kesempatan, mengumpulkan helaian rambut basah Hazel kemudian mengalihkannya kesamping.
Hazel sedikit terganggu dengan tekstur lembut yang bergerak liar di tengkuk lehernya. "Calix.." desisnya berusaha sepelan mungkin agar tak kedengaran sampai diseberang sana.
"Ya Hazel?"
"Eumm? M-mama tenang aja--" Hazel mencoba mendorong kepala Calix agar menjauh dari sasarannya. "Kalo hujan udah reda, Hazel bakal langsung pulang."
"Yaudah. Yang penting hati-hati yaa.. kalo ada apa-apa langsung hubungi Mama.."
"Siap Mah! Kalo gitu Hazel tutup teleponnya.."
Tut.. tut.. tut..
Saat panggilan terputus, bokong Hazel bergerak tak nyaman kala merasakan ada yang mengganjal di bawah sana.
Wait?! Apa ini yang menonjol?!
"L-lix? Lu bawa tongkat di celana?"
"Tongkat?"
"Ada yang menonjol dibawah sana.."
DAMN!
Bugh!
Punggung Hazel menghantam lantai berdebu, kini dia telah berbaring disana dengan Calix berada diatasnya. Calix mengekangnya dengan menindih tubuhnya.
Sepasang netra Calix beda dari tadi. Kini memancarkan dominan--gairah? Gila! Posisi macam apa ini?! Hazel menjadi tegang luar biasa. Dia dikekang oleh predator..
Terdeteksi sebuah bunyi alarm marabahaya, seolah menyuruh Hazel agar lekas mendorong lelaki ini, atau kalau bisa, lari sesegera mungkin dari kandang buaya.
"C-calix? Lo mau ngapain..?"
"Humm?" Mata Hazel melirik punggung tangan Calix yang bekerja, menjelajahi pipinya lembut. Dia berhenti tepat dibibir ranum Hazel dan mengusapnya tak kalah lembut.
"Kalo gue narik janji gue. Boleh?" Suara beratnya bercampur serak-serak basah, menandakan jika jiwa setannya telah bangkit.
Hazel berusaha mendorong dadanya agar dia bisa lolos. Tubuh Calix begitu kokoh, usahanya tak membuahkan hasil. Bukannya tersingkir, yang ada hanya dia yang kewalahan. "L-lo bilang apaan sih?! Jangan aneh-aneh deh!"
Karena Hazel yang terus memberontak minta dibebaskan dari kurungannya, Calix akhirnya mengunci kedua pergelangan tangan Hazel sekaligus, menekannya disamping kiri dan kanan kepala Hazel sendiri.
Detik demi detik, wajah Calix kian mendekat, memangkas jarak mereka. Hazel menelan salivanya berat. Tak ada yang bisa dia lakukan sekarang, pergerakannya saja telah diblokir oleh Calix.
Batin Calix mengatakan, jika dia tak boleh melakukan ini, tapi dia seolah sulit mengontrol diri. Hazel terlihat--sangat seksi.. "Lo pasif, biar gue yang aktif. Gak banyak, dikit doang gue nyicipnya.."
Hazel ingin berteriak, mengabsen seluruh nama hewan di kebun binatang sambil menampar kuat pipi laki-laki ini, tapi dia malah memejamkan mata saking tegangnya, lagi pula tak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Lidahnya pun mendadak keluh.
Wajah Calix mulai miring mengincar objek kenyal yang terlihat sangat manis jika dicicipi, hembusan napas mereka sudah saling beradu di permukaan kulit mereka satu sama lain.
Tepat satu senti lagi bibirnya menyatu dengan bibir pucat Hazel, dia memejamkan mata kuat-kuat sebisa mungkin meminimalis diri.
Cengkeramannya dipergelangan tangan Hazel semakin bertenaga, dia sedang mencoba mengendalikan sisi liarnya.
"Shiit! Ini gak boleh terjadi!"
Dia akhirnya bangun setelah jiwa normalnya bisa menguasai jiwa gilanya. Kelopak mata Hazel terbuka sedikit setelah tak merasakan apapun, dia mengintip Calix yang kini mengacak rambutnya kalut.
"Sorry Zel, hampir aja gue lost control. Padahal gue udah janji tadi.."
Dalam perasaan antara lega dan kecewa, Hazel menyusul bangkit, "Lain kali, jangan gitu lagi.." lirihnya.
Dia lega karena pertahanan Calix cukup kuat, dan anehnya juga dia agak kecewa dilain sisi, kira-kira kecewa kenapa ya?
...*****...
Burung berkicau merdu diatas sana, awan hitam yang membungkus langit, digantikan oleh awan putih yang cerah. Angkasa pun terlihat biru menawan.
Calix melenguh pelan sambil menggeliat, dia membuka mata, terjaga dari tidurnya, mengerjap beberapa kali mencoba menyesuaikan cahaya yang menelusup masuk ke ventilasi rumah minimalis tersebut.
"Hujan udah berhenti..?" Gumamnya bermonolog, dia melirik ke sisinya, yang mana dia mendapati Hazel yang masih terlelap sambil bersandar di bahunya.
"Zel..Hazel.." tubuh Hazel terguncang digoyang oleh Calix. Berhasil membangunkan Hazel.
"Eumm..?"
"Hujan udah reda. Lo gak mau pulang?"
"Jam berapa?" Tanya Hazel dengan muka bantal khas bangun tidur. Sama dengan suaranya yang serak.
Calix memeriksa arloji yang bertenggar dipergelangan tangannya, jarum jam sudah menunjuk diangka empat. Sedang Hazel, mengucek-ngucek matanya. "Udah jam empat sore."
Dengan nyawa langsung terkumpul total, Hazel menegakan duduknya. Dia terkejut mendengar jika waktu sudah memasuki sore hari. "What the--gue harus pulang sekarang!" Paniknya.
Tanpa basa-basi lekaslah Calix beranjak ke sudut dari seberang sana untuk mengambil pakaian mereka, dibuntuti oleh Hazel. Untunglah pakaian mereka tak lagi sebasah sebelumnya, sudah sedikit mengering.
Calix membantu Hazel berpakaian biar lebih cepat, dimulai dari memasukan lengan baju seragamnya, tak ketinggalan mengancingkan satu persatu kancing yang tersusun. "Aduh--gimana ini?! Pasti Mama udah kepalang mengkhawatirkan, gue.."
Telaten, dia menata rambut tergerai indah milik Hazel yang sudah agak kering agar lebih rapi. Lagi dan lagi Hazel bersikap seperti di mobil kala itu.
Calix tak tahu alasan dari Hazel yang terlalu panikan jika mengenai Mamanya, tapi dia tahu pasti, Mamanya memiliki kepribadian yang overprotektif pada Putrinya ini.
Calix pun kemudian bertutur guna menenangkan Hazel. "Tenang aja.. gak usah panik. Lo berikan alasan yang meyakinkan ke Mama lo. Kalo enggak, gue aja yang menghadapi Mama lo, gimana? Biar gue yang ngomong sama dia."
"Enggak! Makin runyam kalo gitu.." Jangan sampai itu terjadi!
Sesudah memperbaiki penampilan Hazel, Calix pun ikut mengenakan pakaiannya, yang terakhir dia mengambil tas hitamnya untuk dia sandang dipunggung, begitu pula dengan Hazel.
Mereka keluar dari rumah tua tersebut, menaiki kendaraan Calix yang terparkir didepan. Sebelum Calix menurunkan kaca helmnya, tak tertinggal dia berpesan pada Hazel.
"Kalo gak mau jatuh, pegangan yang erat. Peluk kalo perlu, gue bakal ngebut, biar cepat sampe."
*****
jadi bisa jedotin itu kepala calix yang konslet nya udah kelewatan
sama sikap dia yang overprotektif itu
mantep kak
semangat!!
kok ciwi ciwi pengen banget jadi pacarnya calix
iya ga zel? wkwk