Hanna harus menerima kenyataan pahit bahwa sang suami telah memiliki hubungan dengan saudara kandungnya.
Ia merasa di bodohi dengan sikap suaminya yang baik dan penyayang, begitu juga dengan sikap adik kandungnya yang terlihat baik dan polos. Namun ternyata mereka menjalin hubungan terlarang di belakangnya.
Apakah Hanna akan memaafkan suami dan adiknya? atau ia akan pergi dari kehidupan rumah tangganya?
Yuk ikuti ceritanya! jangan lupa like, komentar, dan suscribe ya. Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ratih Ratnasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Setelah selesai sarapan pagi, Dafa dan Bram pamit pada Hanna untuk segera berangkat.
"Tante, aku sekolah dulu, ya."
"Iya sayang hati-hati di jalan." Dafa segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan. Sedangkan Bram masih menatap Hanna.
"Mas, ke-kenapa lihat aku seperti itu?" Bram tersenyum menatap Hanna, membuat Hanna jadi salah tingkah.
Bram melangkah lebih dekat pada Hanna, hingga Hanna mundur satu langkah untuk menghindarinya.
"Kenapa?" tanya Bram.
"Kenapa? Apa maksudnya?" Bram kembali tersenyum.
"Kau sangat manis, aku menginginkan lagi," kata Bram tanpa rasa malu.
Bram menarik tangan Hanna untuk mendekat padanya, lalu ia mendekatkan wajahnya pada Hanna. Semakin dekat, dadanya semakin berdebar. Namun tiba-tiba, "Ayah, kenapa lama?"
Hanna mendorongnya dengan kasar, "Aku mencintaimu, Hanna," ucap Bram dengan tersenyum, lalu ia segera masuk kedalam mobil dan mengedipkan matanya pada Hanna.
"Apa kata dia, cinta?" gumamnya dalam hati.
Setelah kepergian Bram dan Dafa, Hanna kembali masuk kedalam. Tiba-tiba bi Serly menghampirinya, "Cie, kamu lagi dekat dengan tuan Bram ya,"
"Apa maksudnya, bi?"
"Tadi bibi lihat, sepertinya tuan Bram menyukaimu,"
"Haha, mana mungkin bi. Bibi suka becanda,"
"Sudahlah, mending terima saja. Tuan Bram orangnya baik kok, apalagi dia tampan dan kaya raya. Semenjak di tinggalkan istrinya, dia belum mau menikah lagi, banyak wanita yang datang padanya tapi dia tak pernah mau."
"Bibi lihat, sepertinya tuan Bram menyukaimu. Semoga saja kalian berjodoh," kata bi Serly.
"Hahaha, bibi ini suka ngelantur kalau lagi ngomong,"
"Bibi serius loh,"
"Bibi, ada-ada saja. Kalau gitu aku mau ke atas dulu ya bi," ujar Hanna, lalu ia segera melangkah ke lantai atas.
Hanna sendiri merasa bahwa Bram menyukainya, tapi Hanna tidak membenarkan ucapan bi Serly. Ia merasa tidak mungkin jika ia berjodoh dengan pria seperti Bram. Bram pria tampan, kaya raya, dan seorang pengusaha. Mana mungkin ia mencintai wanita seperti Hanna dari keluarga sederhana.
***
"Mas, ini sarapannya."
"Terima kasih," balas Revan.
"Mas, masih libur ke kantor,"
"Hem, iya. Kenapa?"
"Tidak apa-apa, Mas." Revan menikmati masakan Sarah, ia benar-benar sangat lapar, karena semalam ia langsung tidur.
Sarah tersenyum menatap Revan, ia seperti ada sesuatu yang dilakukan pada Revan.
Setelah selesai sarapan Revan kembali ke kamarnya dengan diikuti oleh Sarah.
"Kenapa kau mengikutiku?"
"Memangnya kenapa, Mas?"
"Sarah, aku ingin kita tidur terpisah. Kau tidurlah di kamarmu, jangan pernah masuk ke kamarku,"
"Ini sudah pagi, Mas. Aku bolehkan masuk ke kamarmu, aku hanya ingin menemanimu saja." Revan menarik nafasnya dengan kasar, entah kenapa ia sangat kesal pada Sarah.
"Baiklah aku tak akan masuk ke kamarmu, tapi tolong ini minum dulu. Aku membuatkan susu untukmu," ucap Sarah dengan menyodorkan segelas susu yang ada di tangannya.
Revan segera meminum susu itu, agar Sarah tidak ikut masuk ke kamarnya. Ia sedang tidak ingin diganggu.
"Sudah habis, jadi tolong pergi dari sini!"
"Baik, Mas." Sarah memutarkan badannya dengan tersenyum licik, lalu ia segera melangkah. Namun tiba-tiba Revan merasakan panas pada tubuhnya.
"Argh," Revan segera masuk ke kamarnya, ia tak kuat menahan panasnya.
Sedangkan Sarah bukan kembali ke kamarnya, ia malah mengintip Revan dari luar pintu kamarnya.
"Maaf, Mas. Aku melakukan ini padamu, agar aku mendapatkan hakku,"
Sarah segera masuk ke kamar Revan, lalu ia menghampirinya.
"Mas kenapa?"
Revan menatap Sarah dengan tatapan tajamnya.
"Kau yang memasukkan obat pada minumanku?"
Sarah pun mengangguk mengiyakannya.
"Ya, Mas. Agar aku mendapatkan hakku, aku ini istrimu, Mas." Sarah tersenyum tanpa rasa takut, ia menghampiri Revan lalu ia membuka kancing bajunya satu persatu. Membuat Revan menginginkannya walaupun hati kecilnya menolak.
"Baiklah," ucap Revan, mendorong Sarah keatas tempat tidur.
Sarah tersenyum senang karena Revan mau melakukannya walaupun ia harus memasukkan obat perangsang dulu.
"Terima kasih, Mas," bisiknya pada telinga Revan.
Revan mengepalkan jari tangannya, ia sangat marah pada Sarah karena telah memberinya obat perangsang sehingga ia harus melakukannya walaupun terpaksa.
"Lihat saja nanti, Sarah," ucapnya dalam hati dengan menahan amarah di dalam dadanya.
Setelah selesai melakukan hubungan di pagi hari, Revan langsung segera memakai pakaiannya kembali, begitu juga dengan Sarah. Revan melangkah ke arah jendela memandang pemandangan diluar rumahnya dengan amarah yang masih tertahan dalam dadanya.
Sarah menghampiri Revan, lalu ia memeluknya dari belakang.
"Lepaskan tanganmu!" tegasnya.
"Kenapa, Mas. Bukankah kau sudah mendapatkan hakmu, kenapa kau masih marah, Mas?"
Revan membalikkan badannya lalu ia menatap Sarah dengan tatapan tajam.
"Kau yang sudah memberiku obat perangsang! Kau harus menerima konsekuensinya."
"Hahaha, kenapa harus marah, Mas. Bukankah kau sangat menikmatinya?" Revan mulai geram pada Sarah yang sangat berani padanya.
Plakkk... Revan menampar pipi Sarah dengan keras hingga Sarah merasakan sakit dan perih.
"Mas, apa maksudmu? Kenapa kau menamparku!"
"Wanita murahan yang pernah aku temui selama ini, asal kau tahu Sarah. Aku menikahimu bukan karena cinta, ingat itu!"
"Apa maksudmu, Mas?" air mata Sarah mulai menetes membasahi pipinya, baru kali ini Revan kasar padanya hingga ia menampar Sarah dengan keras.
"Aku tak sudi memiliki istri sepertimu, Sarah."
"Mas, kenapa seperti itu? Kau yang sudah merusak kesucianku, kenapa sekarang kau berkata seperti itu!" teriak Sarah.
Revan tertawa mendengar ucapan Sarah.
"Kau yang merelakan kesucianmu padaku, kenapa kau baru menyesal sekarang?"
Plakkk... Sarah menampar pipi Revan dengan rasa marahnya.
"Kau!" Revan melotot karena Sarah berani menamparnya.
"Apa?"
"Beraninya kau menamparku," bentaknya.
"Kau pantas mendapatkan itu, Mas."
Baru kali ini Revan mendapatkan tamparan dari seorang wanita, Revan sangat marah pada Sarah karena Sarah sudah berani padanya.
Revan menarik tangan Sarah dengan kasar dan mendorongnya ke atas tempat tidur, lalu ia mencekiknya.
"Lepaskan aku, Mas."
"Wanita murahan tak punya harga diri, berani sekali kau menamparku!"
Revan melepaskan tangannya dengan kasar setelah melihat Sarah yang kehabisan nafas.
"Kau pantas mendapatkan tamparan, Mas!"
Plakkk...Revan kembali menamparnya, lalu ia menarik rambut Sarah kebelakang.
"Jangan berani melawanku! Kau hanya wanita murahan bagiku, kau jangan berharap hidup bahagia denganku."
Air mata Sarah kini tumpah, ia tak menyangka pada sikap Revan yang sangat kejam padanya. Selama Revan menikah dengan kakaknya, ia tak pernah melihat Revan berlaku kasar pada Hanna. Namun entah kenapa sekarang Revan menyakitinya?
Revan melepaskan tangannya dengan kasar, sehingga kening Sarah terbentur pada dinding.
"Sakit, Mas," ucapnya dengan meringis merasakan sakit pada kening.
"Kau pantas mendapatkan itu, mulai sekarang kau bukan istriku lagi. Kau hanya budakku, ingat itu!" setelah mengatakan pada Sarah, lalu Revan pergi meninggalkannya yang masih menangis menatap kepergian Revan.
"Kau jahat, Mas."
"Auh," Sarah merasakan kram di perutnya.
"Ah, perutku sakit!"
...----------------...