Zhavira adalah seorang gadis yang manja. Dibesarkan oleh ayahnya seorang diri setelah mamanya pergi entah kemana.
Kehidupan zha berubah total ketika ayahnya meninggal, terutama setelah seorang pria datang dan mengambilnya atas wasiat sang ayah. Pria bernama Edo Lazuardo itu mengemban amanat untuk mengurus zha setidaknya hingga ia dewasa.
Zha merasa hidupnya terkekang bersama Om bekunya, dan selalu saja ada masalah diantara mereka berdua. Apalagi dengan jarak usia yang cukup jauh untuk saling mengerti satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Van pada zha.
"Morning, Zha... Oooh, Tuan?" Kaget wika ketika masuk dan melihat mereka berpelukan saat itu.
Om edo lantas membuka mata dan mendapati zha tengah begitu nyaman menenggalamkan wajah di dadanya yang bidang. Ia lantas menarik tangan secara perlahan dari bawah leher zha setelah nyaris semalaman berfungsu sebagai bantal gadisnya.
"Arrrghh!!" Om edo mengerang. Rasa lengannya kebas seketika tapi baru ia rasakan ketika lepas dari zha.
"Tuan_" Wika menghampiri, tapi om edo justru menjulurkan tangan untuk mencegahnya. Ia hanya meminta wika fokus pada zha dan sekolahnya hari ini, terlebih lagi bengkak diwajahnya sudah mereda dan ia siap berangkat seperti biasa.
Om edo lantas keluar dan menuju kamarnya sendiri. Berjalan perlan seakan masih begitu mengantuk, efek semalam begadang berusaha menenangkan zha dari ringikannya. Matanya masih berat, dan sesekali menguap sepanjang perjalanannya menuju kamar.
"Do, kau darimana?" tanya om yan dari bawah ketika melihat sahabatnya muncul dari kamar zha. Tapi om edo tak menjawab, dan ia hanya kembali fokus pada dirinya sendiri karena hari sudah semakin siang.
Zha saat itu tengah dibujuk wika untuk bangun dan mandi bersiap berangkat kesekolah. Tapi zha justru menutup dirinya kembali dengan selimut lebih rapat dari yang tadi, "Zha malu, muka zha jelek banget pasti." Tukasnya menolak [ergi kesekolah hari ini.
"Engga, bekasnya udah ilang kok. Sayang, zha baru sehari masuk sekolah masa mau izin..."
"Kan zha sakit, bukan karena males." Jawab zha dari bawah selimutnya.
"Mau kak wika bilangin om edo? Dia baru keluar dari sini loh," tantang wika padanya. Dan saat itu juga zha membuka selimut seketika, duduk, dan berdiri meraih handuk yang mengalung di leher wika. Gadis itu juga berlari secepat kilat masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan drinya, sementara wika membantu mencari seragam dan mempersiapkan semua alat sekolahnya.
"Ayo, sayang... Ini udah kesiangan," omel wika padanya, tapi masih begitu lembut terdengar ditelinga.
Zha sudah sangat siap, lalu turun kebawah berlari untuk mmenuju srapannya. Dan sejak kejadian malam tadi, mereka semua mengatur dengan ketat semua makanan yang tersedia disana terutama untuk zha.
"Pagi Om," sapa zha pada om yan yang tengah duduk dengan secangkir kopi di mejanya.
"Hey sayang, sudah sembuh?" balas om yan yang begitu ramah dan penuh cinta. Zha hanya menganggukkan kepala dan menunjukkan beberapa bekas gatal diwajahnya. Sebenarnya tak pede, tapi ia harus kesekolah demi tak ketinggalan materi hari ini. Sebentar lagi akan ujian, jadi ia harus belajar lebih keras lagi setelah ini demi cita-citanya.
Terdengar suara Langkah kaki turun dari tangga. Siapa lagi kalau bukan om bekunya zha yang menghampiri mereka untuk sarapan bersama. Dengan seragamnya yang begitu rapi, dan wajahnya yang begitu datar dan penuh keseriusan itu ia segera duduk di meja makan. Kadang zha panasan, bagaimana wajah om beku ketika dia tertawa atau minimal tersenyum padanya. Hanya ingin tahu, apakah om beku tak pegal selalu memasang wajah datar seperti itu didepan semua oang.
Sarapan selesai dan zha siap berangkat kesekolah, "Tapi, kok kak wika belum siap juga?" tanya zha padanya.
"Hari ini Om edo yang antar zha," jawab wika, yang lupa memberitahu zha sebelumnya. Dan yang pasti, zha begitu kaget meski ia tak dapat menolaknya karena ketika menatap om yan pria itu hanya menggelengkan kepala.
"Huufftzz... Yaudah deh, yang penting berangkat." Zha pasrah dengan semua keadaan yang ada. Ia lantas memakai tas dan mengikuti setiap Langkah om edo menuju mobilnya. Cukup cepat bagi zha, karena kaki pria itu begitu panjang dengan tubuhnya yang memang tinggi. Zha saja hanya setinggi dadanya saat itu, masih dibawah jangakauan ketiak.
"Om!"
"Kau lamban," tukas om edo padanya. Tapi masih memberi perhatian dengan membukakan pintu untuk zha hingga menutupnya kembali ketika zha masuk kedalam.
"Ucap apa?"
"Iya, terima kasih. Ayo cepetan, udah kesiangan ini." Omel zha padanya.
Om edo kemudian berjalan, berputar menuju kursi setirnya. Ia memulai perjalanan mereka menembus kepadatan jalan raya dengan hiruk pikuk para pengendara yang mengejar waktu. Bahkan sebuah lampu merah harus mereka hadapi, hingga rasanya zha begitu emosi.
"Kan... Ah!" kesal zha yang langsung menyenderkan kepalanya di jendela. Om edo amat tenang, dan terus fokus menatap kedepan.
Zha menoleh ketika sebuah motor terdengar berhenti didekatnya saat itu. Ia memperhatikan, dan mengetahui jika pria itu adalah zavan dan ia ingin menyapanya. Namun terhenti, dan ia justru menatap om edo yang masih diam memperhatikan jalanan.
"Siapa?" tanya Om edo padanya. Yang diam, tapi selalu memperhatikan.
"Temen, tapi beda kelas." Zha menjawab apa adanya. Hingga mobil kembali berjalan dan mereka bersama tiba disekolah. Zha segera turun usai mencium tangan om edo, dan berlari kecil karena takut telat dihari kedua sekolahnya.
Zha terus berjalan dan berjalan tanpa menghiraukan semua orang yang pasti tengah menatap wajahnya. Yang saat itu berbintik-bintik merah, begitu kotor dan menjijikkan jika dibandingkan mereka semua yang mulus dan bersih disana. Tapi, ia tak lolos dengan geng kelas yang sejak kemarin terus mengganggunya. Bisa dibayangkan bagaimana dia membuly zha saat itu dengan wajah berbintiknya.
"Eh... Loe kenapa? Kurang perawatan? Bikin jijik kita yang disini aja. Mending ngga usah sekolah daripada malu-maluin," ledek Lidya padanya. Zha hanya tertunduk, dan ia benar-benar malas mencari keributan saat ini, sedangkan dinda juga takut pada lidya dan gengya saat itu.
"Pulang sono! Eneg gue lihatnya. Jijik... Ieewwwh!!" sahut yang lain terus menghina zha.
"Kalian jijik? Keluarlah." Suara seorang pria yang bersandar dipinggir pintu kelas mereka.
"Kak Van!" Lidya langsung mendekati dan mencari perhatiannya. "Kak van tumben kesini? Biasanya Dya yang kesana." Ucapnya genit pada cowok tampan itu
Tapi van tak menghiraukannya. Ia justru melangkah mendekati Zha dan duduk di kursi menghadapnya, membuat zha semakin malu untuk memperlihatkan wajahnya.
"Kau alergi?" tanya van pada zha saat itu.
"Kok, Kak van tahu?" gagap zha tanpa berani menatap matanya. "Tapi ngga menular kok, jadi ngga perlu jijik." Sambungnya agar Van tak geli melihat wajah itu.
Tapi van justru tertawa padanya. Sedikit tersinggung dihati zha saat itu, hingga van meraih sebuah spidol yang ada dimeja terdekatnya. "Kan Van mau apa?" tanya zha.
Van membuka spidol itu setelah memastikannya tak permanen, setelah itu ia totol diwajahnya sendiri hingga mirip seperti zha saat ini meski semua orang pasti tahu jika itu hanya spidol biasa.
"Sekarang kita sama," tatap van. Saat itu, zha hanya bisa terpana melihat perlakuan van padanya, yang sederhana tapi cukup menggetarkan jiwa.
"Kak Van, kok gitu?" tanya zha yang tersipu malu.
"Tak apa, aku hanya ingin menemanimu agar mereka semua tak bisa meledek lagi. Bagaimana? Kita sama-sana jelek sekarang," Zha hanya tersenyum dan terharu melihatnya seperti itu. Menggiti bibir bawahnya dengan wajah yang semakin merah merona dari sebelumnya.