Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pedangmu telah datang.
***
Namun, pada suatu sore yang muram, ketika Lanang tengah berlatih di tepi hutan, seseorang tiba-tiba datang menemuinya.
Seorang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rapi khas bangsawan muncul di hadapannya. Sorot matanya menyimpan kecerdasan sekaligus wibawa. Dialah Saloka, putra Adipati, sahabat masa kecil Lanang yang sudah lama tak terdengar kabarnya.
“Lanang… jadi kau ada di sini rupanya.” Suaranya bergetar lega.
Lanang menoleh, wajahnya penuh keringat dan hawa hitam tipis mengepul di sekeliling tubuhnya.
“Saloka…” bisiknya lirih, seolah tak percaya.
Saloka melangkah maju.
“Maafkan aku, Lanang, karena baru mencari mu sekarang. Aku sudah mendengar kabar tentang kehancuran Pademangan Tirta Wisesa. Tetapi ketika aku datang ke sana, yang tersisa hanyalah puing-puing. Aku sempat mengira kau tidak selamat.”
“Untung saja telingaku masih cukup tajam untuk menangkap kabar, bahwa kau hidup dan bersembunyi di hutan ini,” tutur Saloka dengan lega.
Bryan yang menyaksikan pertemuan itu sempat tertegun. Wajah Saloka benar-benar mirip dengan wajahnya sendiri ketika masih muda.
Mereka sempat bertukar kabar, tetapi di tengah percakapan, pandangan Saloka jatuh pada benda-benda yang berserakan di sekitar Lanang: dupa hitam yang masih mengepul, boneka jerami dengan paku menancap di dada, serta kendi berisi darah ayam. Ia terdiam sesaat, lalu tatapannya mengeras.
“Jadi benar desas-desus itu? Kau mempelajari ilmu hitam?” ucapnya dengan nada getir. “Lanang, apa yang kau lakukan? Ini jalan yang sesat. Ini sama saja kau menggadaikan jiwamu hanya demi membalas dendam.”
Tak menjawab, Lanang mengepalkan tangannya. Bayangan Biyungnya, Mbak Yu Wening, dan api pembantaian itu kembali berkelebat di benaknya.
“Aku tidak punya pilihan, Saloka!” serunya getir. “Kalau aku tidak menjadi kuat, siapa yang akan membalas mereka? Siapa yang akan mengusir Belanda dari tanah kita? Kau? Dengan gelar adipati warisan itu? Sekarang kalian lebih mirip boneka!” suaranya meledak penuh emosi.
Saloka terdiam. Matanya berkaca-kaca, tetapi sorotnya tetap tegas.
“Aku akan melawan dengan caraku. Tapi bukan dengan jalan ini, Lanang. Jalanmu hanya akan menyeretmu menuju jalan iblis.”
Kata-kata itu menghujam hati Lanang. Namun api dendam yang telah membakar jiwanya membuat ia memilih untuk menutup telinga.
Sejak saat itu persahabatan mereka mulai retak. Seorang memilih jalan putih yang penuh risiko, tetap merunduk dan menyamar dalam matkeas serdadu, sementara yang lain menapaki jalan hitam yang lebih pasti, tetapi terkutuk.
Keduanya sadar, suatu hari kelak, mereka akan dipaksa saling berhadapan.
Tiga tahun berlalu dalam arus ingatan itu. Bryan merasakan waktu mengalir seperti air dingin di tengkuk. Ia masih berada di balik mata Lanang, menyatu dengan napasnya, menyerap getir yang mengeras bersama.
Hutan menyelimuti hari-hari Lanang. Ia bertapa dalam diam, berpuasa berhari-hari, berendam di sungai pada tengah malam, lalu duduk bersila di bawah beringin tua hingga kedua kakinya mati rasa. Bryan ikut menanggung pedihnya. Setiap helaan napas membawa rasa besi di lidah, seakan tanah dan angin sendiri menguapkan bau getir.
Dan Suatu malam, hawa mendadak turun drastis. Dingin merayap dari akar beringin, menembus tulang. Daun bergetar tanpa angin. Bryan menajamkan pendengaran yang bukan miliknya, lalu menangkap bisikan yang tidak berasal dari mulut siapa pun.
“Panggil aku. Bebaskan aku!"
Suara itu menggema di dalam kepala Lanang, dan Bryan ikut mendengarnya. Ia ingin menutup telinga karena suaranya seperti merasuk, tetapi dia tidak memiliki telinga miliknya sendiri di tempat ini.
Tak lama setelahnya, dari sela akar, asap hitam meruap, pekat seperti jelaga yang hidup. Dan muncullah siluet raksasa hitam legam, wajahnya samar, matanya seperti bara yang baru dipantik.
“Siapa kau?” suara Lanang terdengar pelan. Bryan ikut bergetar. Ada rasa takut, ada pula sesuatu yang serupa harapan.
“Aku yang terkurung sejak jutaan purnama. Aku lahir dari darah, ratap, dan kutukan manusia,” jawabnya. “Kau memanggilku, anak manusia. Kau mencari kekuatan?”
Bayangan api pembantaian menyambar benak Lanang. Bryan merasakan luka lama terbuka kembali, seolah dada sendiri yang robek. Suara ibunda, wajah Wening, dan reruntuhan rumah datang berbarengan. Di sela gelap itu, tekad yang keras seperti baja menutup celah ragu.
“Aku ingin kekuatan,” ucap Lanang. “Kekuatan untuk membalas.”
“Beri aku tempat di dalam ragamu,” bisik entitas itu. “Jadilah wadahku, dan aku akan menjadi pedangmu.”
Bryan ingin berteriak, ingin berkata JANGAN! Namun kata-katanya hanya berputar di ruang batin yang tidak didengar siapa pun. Ia merasakan gelisah yang sangat manusiawi, bersisian dengan kelegaan pahit yang muncul dari dada Lanang.
“Lakukan,” kata Lanang akhirnya.
Asap hitam menerjang masuk. Tubuh Lanang melengkung seperti disambar petir. Bryan merasakan panas dan dingin datang bersamaan, urat-urat menegang, penglihatan berpendar. Seperti a sesuatu yang menyusup, menancap, lalu menyatu. Ketika gelombang itu surut, napas Lanang menjadi berat, tetapi lebih kuat. Dan ada kehadiran lain di balik sorot mata Lanang, tatapannya lebih tenang, tapi sekaligus lapar.
.
.
Beberapa pekan kemudian, Bryan menyaksikan langkah Lanang menuruni hutan. Mereka berhenti di sebuah gubuk reyot, tidak jauh dari pusat terdekat, tempat serdadu Belanda beristirahat.
Malam menetes lambat. Di dalam gubuk, Lanang menyiapkan kendi berisi darah ayam, benang, paku besi, dan boneka jerami. Bryan mencium anyir yang tajam, merasakan dingin merambat dari lantai tanah.
“Kita Mulai!” bisik sesuatu di dalam dadanya. Bryan tidak tahu itu suara siapa, hanya tahu suaranya ada.
Lanang duduk bersila. Sayup mantera mulai meluncur dari bibirnya, berat dan patah-patah, seakan bahasa yang lebih tua dari kata-kata. Bryan merasa getar halus memenuhi ruangan. Udara menebal, saat jarum menembus jerami tepat di bagian dada.
Kendi digoyang, cairan di dalamnya beriak seirama dengan detak jantung seseorang yang jauh di sana.
Malam itu dari arah lor di kejauhan, terdengar satu teriakan. Satu serdadu berhasil dijatuhkan, napasnya tercekik, wajahnya membiru.
Keesokan hari, dua orang lagi tumbang tanpa luka. Bryan ingin mencari tau, tetapi hanya dapat memandang dari mata Lanang. Ia merasakan sensasi asing yang merayap di kulit, seperti puas yang datang tanpa senyum.
Kabar pun berembus melewati ingatan yang dibagi. Keluarga para serdadu di negeri jauh tertimpa musibah aneh. Ada yang jatuh sakit tanpa sebab, ada yang berhenti bernapas dalam tidur. Bryan merasakan aura sedingin batu es ketika kenyataan itu menempel pada batin Lanang. Pada saat yang sama, ia juga merasakan getar takjub yang sulit diingkari.
“Lihat,” kata suara itu lagi, tenang seperti malam. “Pedangmu telah sampai, dan mewujudkan keinginanmu.”
Lanang menatap boneka jerami. Bibirnya tidak tersenyum, tetapi dadanya mengembang, seolah akhirnya ia menggenggam sesuatu yang selama ini dia kejar. Bryan menyadari, di titik ini, rasa kagumnya telah melampaui ngeri. Ia ikut terperangkap dalam rasa puas yang bukan miliknya, lalu seketika tersadar dan bergidik karena hampir menyukai kekuatan yang merenggut nyawa orang lewat jalur gelap.
“Cukup,” bisik Bryan pada dirinya sendiri, meski tahu tidak ada yang mendengar.
Namun tangan Lanang bergerak lagi. Jarum berikutnya menancap. Mantera berikutnya mengalir. Udara kembali menebal, lalu menipis. Jeritan dari kejauhan tetap menjawab.
Di malam itu, puncak kekaguman Lanang pada kekuatannya tercapai. Ia merasa bukan lagi bocah yang pernah di hancurkan oleh api dan meriam. Ia merasa menjadi sesuatu yang baru, yang dapat menyentuh musuh tanpa terlihat, yang dapat mengirimkan balasan hingga menyeberangi lautan.
Bryan menelan ludah. Dalam dada yang mereka pakai bersama, ada dua hal yang berjalan berdampingan. Yang satu adalah kemenangan yang telah lama dinanti. Yang lain adalah bayangan panjang yang mulai memakan tepi jiwa.
Dan keduanya terus tumbuh, saling menyuburkan dalam gelap.
.
.
.
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya