Kuliah? Haruskah aku menjadi cepat dewasa, menemukan pasangan lalu menikah? Tunggu, aku harus meraih gelar sarjanaku lebih dulu. Tapi, bagaimana kalau bisa meraih keduanya?
Oh, Tidak ...! Ini benar-benar membingungkan.
Ini kisah Adinda Dewi Anjani, gadis desa yang terpaksa merantau ke kota untuk kuliah, demi menghindari perjodohan dengan anak kepala desa yang ketampanannya telah menjadi sorotan berita.
Lika-liku kisah Anjani mengejar gelar sarjana, tak luput dari godaan cinta masa kuliah. Apalagi, tren slogan "Yang Tampan Jangan Sampai Dilewatkan" di antara geng kampusnya, membuat Anjani tak luput dari sorotan kisah cinta. Lalu, akankah Anjani lebih memilih cinta sesama daripada gelar yang pernah dimimpikan olehnya? Atau justru pembelajaran selama masa kuliah membuatnya sadar dan memilih hijrah? Yuk, kepo-in ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indri Hapsari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CS1 Tawaran untuk Mario
"Bapak harap semangat belajar kalian terus meningkat, agar lebih siap mengikuti UAS bulan depan. Selanjutnya, selesaikan tugas kelompok tepat waktu dan setiap anggota berhak memberi penilaian kinerja sesama anggota di kelompoknya. Bapak akhiri. Selamat siang."
Pak Koko menutup kelas siang itu. Mahasiswa senior yang menjadi asisten Pak Koko terlihat membawakan buku ajar milik beliau. Usai Pak Koko keluar, mahasiswa lain berjalan santai keluar kelas. Beberapa masih ada yang duduk diam sambil membicarakan tugas kelompok yang baru saja diberikan.
Juno dan Dika baru saja menyapa Anjani dan Meli. Rupanya mereka berempat berada di kelompok yang berbeda. Juno yang ditunjuk Pak Koko sebagai ketua kelompok mengajak Dika dan seorang temannya untuk pergi ke kantin dulu sebelum berkelompok menyelesaikan tugas. Dalih bahwa urusan perut menjadi prioritas demi kelancaran tugas telah diterima dengan baik oleh kelompoknya.
Anjani juga ditunjuk sebagai ketua kelompok oleh Pak Koko. Anjani senang saat tahu dia satu kelompok dengan Meli. Akan tetapi, rasa senang itu telah bercampur dengan kekhawatiran saat tahu siapa anggota kelompoknya yang lain. Dia sama sekali belum memiliki gambaran akan jadi seperti apa pengerjaan tugas kelompok saat bersama Berlian. Ya, Berlian satu kelompok bersama Anjani.
"Mimpi apa aku semalam, sih! Tau-tau udah satu kelompok aja sama duo cupu yang nggak modis ini. Ah!" Berlian menggerutu sambil mengekor di belakang Anjani dan Meli.
Mendengar Berlian berkata demikian, Anjani dan Meli kompak menghentikan langkah dan balik badan. Anjani menatap heran ke arah Anjani. Meli lain lagi. Wajahnya terlihat kesal. Meski sudah terbiasa dengan olok-olok dari Berlian, rasanya mereka berdua tidak akan puas jika hanya sekedar mengabaikan.
Rupanya Berlian menanggapi sikap Anjani dan Meli dengan biasa saja, seolah memang tidak memiliki salah kata. Lebih dari itu, Berlian menatap balik ke arah Anjani dan Meli sambil bersedekap seolah menantang.
"Berlian, kalau tidak suka mending kamu pulang nggak perlu ikut kerja kelompok. Dan ... sudah jelas kan nilaimu akan seperti apa? Kalau kau bersedia, mohon kerjasamanya dan tidak perlu mencela." Anjani berkata tegas. Akhir-akhir ini dia mulai terbiasa menanggapi Berlian.
"Oke-oke. Ayo! Ngerjain di mana, nih?" ujar Berlian pada akhirnya.
"Gazebo penuh semua, tuh. Udah, kita ngemper aja di sini. Ala-ala lesehan." Meli memberi saran untuk mengerjakan tugas sambil duduk di tepian.
"Hah? Yang elegan dikit dong milih tempat duduknya. Di gazebo deket kantin aja sana. Ayo, aku yang pilih!" kata Berlian.
Anjani dan Meli memutuskan untuk mengikuti Berlian. Benar saja apa yang dikatakan Berlian, dia berhasil melakukan sabotase kedudukan di salah satu gazebo dekat kantin. Mulanya gazebo-gazebo di sana penuh oleh senior. Entah apa yang dikatakan oleh Berlian sehingga senior-senior itu sukarela pergi.
Kerja kelompok dimulai. Kekhawatiran Anjani benar. Kerja kelompok siang itu diwarnai perdebatan. Berdebat dalam mencapai kesepakatan jawaban tugas adalah hal wajar, dan Anjani senang sekali menanggapinya. Akan tetapi, saat harus berdebat untuk hal-hal di luar tugas, rasanya sungguh menjengkelkan. Menanggapi hanya sekali saja rasanya tidak cukup. Anjani sampai berkali-kali mencari kata yang tepat untuk mengakhiri perdebatan yang tidak penting itu, tapi selalu saja ada celah untuk kembali membara.
"Yuhuu! Akhirnya selesai juga!" teriak Meli setelah dua jam pengerjaan tugas.
"Berisik! Norak banget, sih!" Berlian mulai lagi.
"Sudah cukup berdebatnya. Berlian, terima kasih atas kerjasamanya untuk tugas kali ini." Anjani mencoba bijaksana.
"Oke, kuharap kita nggak akan satu kelompok lagi!" kata Berlian sambil merapikan laptopnya. Laptop itu tadi sangat bermanfaat bagi Anjani dan Meli, sehingga mereka tidak perlu meminjam di rental khusus mahasiswa.
"Satu lagi. Jangan lupa dengan tantangan yang sudah kita sepakati. Ingat ya, akhir semester ini. Bye!" kata Berlian, kemudian dia bergegas pergi meninggalkan gazebo.
Berlian benar-benar serius dengan tantangan itu. Sejauh ini, hanya Meli yang sudah menunjukkan keseriusannya menanggapi tantangan Berlian soal gebetan. Sementara Anjani hanya berusaha keras pada tantangannya soal nilai. Waktunya kurang satu bulan lagi, dan Anjani sama sekali tidak memiliki ide untuk serius pada tantangan mendapat gebetan.
Kenapa aku jadi mikirin tantangan Berlian, sih? Batin Anjani.
"Woi, Anjani. Ngelamun lagi, ya? Aduh, sepertinya kamu harus cepet-cepet liburan ke desamu, deh. Paling enggak, bisa bebas dari Berlian untuk beberapa saat. Hihi."
"Kurasa begitu, Mel. Oya, menurutmu apakah nilai-nilai kita akan lebih unggul dari Berlian?"
"Tentu saja, dong. Katamu kita harus yakin. Ah, karena kamu tanya begitu aku jadi ragu, nih. Apa kita perlu les tambahan? Semacam tutor juga boleh. Gimana?" ide Meli.
Anjani memikirkan ide yang disarankan oleh Meli. Jiwa kompetisi Anjani membara. Dia seolah tidak ingin dikalahkan Berlian. Bukan tanpa sebab sehingga muncul ambisi demikian. Anjani berharap, sikap Berlian melembut saat Anjani berhasil unggul dalam tantangan.
Soal gebetan itu, haruskah aku serius juga menanggapinya? Ah, tapi bagaimana mungkin aku bisa. Batin Anjani kembali menyeru tanya.
***
Hari berganti. Pagi ini Anjani datang ke kampus dua jam lebih awal dari jadwal kuliahnya. Biasanya tidak banyak yang dia bawa, tapi kali ini dia juga menenteng tas kecil di tangan kanannya. Dia menelusuri koridor dengan santai, sambil sesekali menengok ke beberapa tempat. Ada seseorang yang dia cari.
Lima belas menit menelusuri gedung, akhirnya yang dicari ketemu. Rupanya orang yang dia cari ada di salah satu gazebo, bukan di ruang kelas. Tanpa banyak menimbang lagi, Anjani pun bergegas menemuinya.
"Mario, tumben nggak bareng sama Kak Ken?" tanya Anjani sambil mengambil posisi duduk di bangku seberang Mario. Saat itu Mario terlihat sedang duduk sendiri, tidak ada Ken di sana.
"Mario. Sepertinya memang tidak ada sebutan Kak lagi untukku." Mario berkata tanpa melihat ke arah Anjani. Sejujurnya itu membuat Anjani sedikit jengkel, tapi cepat-cepat dia abaikan.
"Tentu saja. Rupanya kita lahir di tahun yang sama. Ya, meskipun kamu masih lebih tua, sih. Tapi tetap saja tahunnya sama. Mungkin, aku saja yang saat kecil terlambat masuk sekolah." Anjani mencoba menjelaskan fakta yang dia dapat dari teman-teman yang mengidolakan Mario.
Mario meletakkan smartphone yang sedari tadi menjadi perhatiannya. Kini dia melihat ke arah Anjani yang tepat berada di depannya. Mario sedikit tersenyum pada Anjani. Senyuman yang menurut teman-teman angkatan Anjani jarang sekali ditemui.
Deg! Gini nih kalau berurusan sama cowok tampan. Harus pintar-pintar mengendalikan perasaan biar nggak baper atau ke-GR-an. Batin Anjani. Dia baru saja melihat pesona seorang Mario Dana Putra.
"Anjani, tak kusangka diam-diam kau memperhatikan diriku. Sampai tahun lahirku pun kau tau." Mario berkata sambil tetap mempertahankan senyumnya.
Anjani berusaha keras agar tetap dalam kesadarannya. Tidak boleh lagi ada salah tingkah. Pada akhirnya Anjani tidak menanggapi perkataan Mario. Dia hanya tersenyum, senyum yang dipaksakan.
"Baik, terserah kamu mau memanggilku seperti apa. Dan ... ada perlu apa menemuiku. Kamu tidak sedang ingin menggodaku kan?" kata Mario tiba-tiba. Kali ini dia merekahkan senyumannya, membuatnya terlihat jauh lebih tampan.
Anjani tidak ingin terjebak dan salah tingkah. Mengatasi itu, cepat-cepat dia keluarkan isi tas kecil yang tadi dibawanya. Isinya adalah setoples kue kering.
"Kau pernah menjadi perwakilan dalam pemilihan mahasiswa berprestasi. Itu artinya kecerdasanmu tidak bisa diremehkan. Bantu aku dan Meli menguasai beberapa materi. Cukup satu bulan ini saja. Tenang, kami akan membayarmu. Hitung-hitung sebagai tambahan upah kerjamu jadi sales sepatu. Ditambah bonus kue kering setoples setiap minggunya. Gimana?" Anjani antusias.
Ekspresi wajah Mario berubah. Senyum yang tadi tersuguh kembali disembunyikan. Mario mulai serius.
"Caramu memberi tawaran pekerjaan untukku unik juga, Anjani. Kuhargai itu. Dengan upah dan bonus kerja yang kau tawarkan, aku bersedia."
"Yes!" Anjani bersorak.
"Tapi ...."
"Loh, tapi apa?" tanya Anjani.
"Aku yang menentukan kapan dan di mana. Bagaimana?"
Anjani tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak. Wajar Mario meminta demikian, karena pasti dia akan menyesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Itu wajar, dan Anjani merasa hal itu akan baik-baik saja nantinya.
"Setuju," kata Anjani kemudian.
***
Tunggu lanjutannya 😉
❤ like dan jejak komentarnya jangan lupa, ya. See You. ❤
FB : Bintang Aeri
IG : bintang_aeri
Dukung karya author di sana ya 💙
Eh, aku juga punya cerita nih guys.
Nggak usah penasaran ya, karena bikin nagih cerita nya🥺
jgn lupa mampir juga di novelku dg judul "My Annoying wife" 🔥🔥🔥
kisah cewe bar bar yang jatuh cinta sama cowo polos 🌸🌸🌸
tinggalkan like and comment ya 🙏🙏
salam dari Junio Sandreas, jangan lupa mampir ya
salam hangat juga dari "Aster Veren". 😊