NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 Antara Logika dan Degupan

Jam di dinding ruang koordinasi lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel baru saja menunjuk pukul dua belas siang. Rapat sudah selesai, laporan sudah dikirim, tapi tidak satu pun dari mereka berempat yang beranjak. Entah kenapa — mungkin karena terlalu fokus, atau mungkin karena terlalu nyaman — Bhumi, Bulan, Marvin, dan Liora masih duduk di posisi masing-masing, laptop terbuka, dengan sisa tatapan yang terlalu sering bertemu untuk disebut kebetulan.

Hening yang mengisi ruangan bukan hening canggung — lebih seperti jeda antara dua irama hati yang mulai sinkron pelan-pelan.

Sampai akhirnya, pintu terbuka.

“Permisi, semuanya,” suara Arsen muncul lebih dulu, disusul langkah cepat Satria di belakangnya.

“Jam makan siang, nih,” tambah Arsen sambil mengangkat dua paper bag besar. “Kalau gak disuruh makan, saya yakin kalian semua bakal ngerasa kenyang cuma karena debat.”

“Dan saya bawa makanan berat, bukan data berat,” timpal Satria dengan senyum penuh semangat. “Nasi ayam lada hitam, soto lamongan, sama es teh jumbo.”

Bulan langsung menoleh sambil tersenyum lembut. “Wah, makasih banyak, Pak Arsen, Pak Satria.”

“Wah, enak banget,” kata Liora cepat, sudah menegakkan badan dan menatap paper bag seperti predator menemukan mangsa. “Aku lapar banget.”

“Baru kali ini aku setuju sama kamu,” gumam Marvin dari sebelahnya, suaranya datar tapi cukup membuat Liora melirik sinis.

Bhumi menepuk meja pelan. “Oke. Kita makan di sini aja. Tutup laptop semua. Hari ini kita udah kerja cukup keras.”

Arsen cepat-cepat menyiapkan piring dan gelas di atas meja panjang, sementara Satria dengan sigap menata makanan satu per satu.

“Wah,” kata Liora sambil mengendus aromanya, “kayaknya Tuhan sayang banget sama aku hari ini.”

“Kenapa?” tanya Bulan sambil tersenyum.

“Soalnya aku bisa makan enak dan lihat dua Pengusaha ganteng di satu ruangan.”

Bulan langsung menatapnya, setengah malu, setengah geli. “Liora, tolong, kita di jam kerja.”

“Jam kerja juga butuh vitamin visual,” balas Liora cepat, membuat Arsen hampir tersedak air minum.

Bhumi hanya geleng-geleng, tapi matanya sesekali melirik Bulan yang sedang membuka wadah makanannya. Ia tampak sederhana — hanya kemeja putih dan rambut dikuncir rendah — tapi caranya menunduk, menata sendok, dan menyibak poni pelan membuat Bhumi tanpa sadar menahan napas sepersekian detik. Bukan karena cantik yang mencolok… tapi karena tenang. Dan ketenangan itu anehnya… bikin deg-degan.

Sementara itu, di sisi lain meja — situasi berbeda terjadi.

Liora duduk tepat di sebelah Marvin, jarak kursinya nyaris bersentuhan karena meja besar itu dipenuhi wadah makan siang.

“Eh, geser dikit dong,” kata Liora sambil mendorong kursi Marvin pelan dengan bahu.

“Aku udah di ujung,” jawab Marvin datar.

“Ujung hati siapa?” celetuk Liora cepat.

Marvin menoleh perlahan, ekspresinya datar tapi matanya jelas menahan tawa. “Kamu niat makan atau niat ganggu aku?”

“Keduanya,” jawab Liora dengan bangga.

Satria, yang duduk di ujung meja dekat pintu, hanya bisa berbisik ke Arsen, “Sen, mereka berdua kok kayak lagi lomba siapa yang bisa bikin jantung saya copot duluan?”

Arsen membalas pelan, “Udah biasa, Sat. Ini bukan ruang kerja. Ini ring debat bercita rasa romansa.”

Bhumi menatap mereka berdua sekilas dan menghela napas, setengah lelah setengah geli. “Kalian berdua bisa gak makan tanpa berantem?”

“Gak bisa,” jawab Liora dan Marvin bersamaan.

Bulan nyaris menyemburkan minumnya, menutup mulut dengan tisu sambil tertawa kecil.

“Lihat?” kata Bhumi pelan, menatap Bulan dengan senyum hangat. “Aku bahkan gak perlu mikirin dinamika tim. Mereka udah punya genre sendiri.”

Bulan menunduk, menahan senyum. “Genre debat romantis.”

“Kalo aku sama kamu?” tanya Bhumi tanpa sadar, nadanya turun setengah oktaf, lembut tapi mengandung sesuatu.

Bulan menoleh cepat, pipinya langsung memanas. “Kita… genre profesional.”

Bhumi mengangguk pelan, tapi matanya tetap menatap Bulan sedikit lebih lama dari seharusnya. “Profesional, tapi kayaknya matamu gak setuju.”

Bulan menunduk cepat, pura-pura sibuk dengan nasinya. “Bhumi, makan.”

“Sudah,” jawabnya pendek, tapi nada suaranya… tersenyum.

Sementara itu, Liora menatap ke arah mereka berdua, matanya menyipit. “Hmm, ada dua orang di seberang meja yang tiba-tiba jadi tenang gak banget, nih.”

Bulan langsung meliriknya. “Makan, Li.”

Liora tersenyum lebar. “Ohh, jadi kalau Bhumi yang nyuruh, nurut banget ya.”

Bulan mendesah pelan. “Liora…”

Marvin ikut nimbrung, nadanya dingin tapi terdengar seperti menahan senyum. “Kamu iri, Liora?”

“Iri?” Liora mengangkat alis tinggi. “Aku? Please, aku cuma pengamat.”

“Pengamat dengan nada sinis biasanya tanda denial,” jawab Marvin cepat.

“Dan kamu ngomong kayak gitu biasanya tanda mulai peduli,” balas Liora, tersenyum puas.

Arsen menatap ke langit-langit, memejamkan mata sebentar. “Ya Tuhan, ini baru jam makan siang.”

Satria menepuk bahunya. “Sen, saya ngerti kenapa kamu botak dikit di bagian depan.”

Arsen mendesis. “Botak apaan!, ini Namanya efek cinta korporat, Satria. Efek cinta korporat.”

Makan siang itu berjalan dengan tempo aneh — setengah rapat, setengah sitkom. Liora dan Marvin sibuk beradu kata, tapi tatapan mereka makin lama makin lembut; Bulan dan Bhumi jarang bicara, tapi setiap kalimat kecil di antara mereka seperti punya makna tersirat.

Sampai akhirnya, ketika semuanya hampir selesai makan, Bhumi menggeser piringnya sedikit dan berkata datar,

“Mulai besok, sesi koordinasi dibuka jam delapan pagi.”

Liora langsung mengangkat alis. “Jam delapan?”

“Kenapa?” tanya Bhumi tenang.

“Karena itu jam biologis orang normal baru bangun,” sahut Liora cepat.

Marvin menatapnya dingin. “Berarti kamu gak normal.”

Liora tersenyum manis. “Normal itu relatif, Pak Marvin. Tapi kamu… luar biasa.”

Marvin menatapnya lama. “Definisi luar biasa, bikin kepala pusing tapi hati gak bisa diem.”

Liora membeku sepersekian detik, pipinya memerah, sementara Arsen terseret tawa yang ditahan.

Bulan cuma tersenyum kecil. “Ya Tuhan, semoga minggu ini gak jadi drama seri.”

Bhumi menatapnya dari samping. “Kalau jadi, aku gak keberatan.”

“Kenapa?”

“Karena pemeran utamanya kamu.”

Bulan terdiam, pipinya langsung merona samar.

Dan Bhumi? Untuk pertama kalinya siang itu — tersenyum tanpa menyembunyikan apa pun.

**

Rooftop Arjuno Grand Hotel malam itu sepi. Angin berembus pelan di antara pagar kaca bening, meniup lembut ujung rambut siapa pun yang berdiri di sana. Lampu-lampu kota Surabaya berpendar jauh di bawah, membentuk hamparan cahaya yang berdenyut lembut — seperti lautan bintang yang dibalikkan ke bumi.

Langit di atas mereka bersih, hanya dihiasi awan tipis dan separuh bulan yang menggantung tenang.

Udara malam membawa aroma asin dari laut yang jauh di utara, bercampur dengan wangi samar kopi dan lavender dari café kecil di sudut rooftop yang sudah tutup lebih awal. Hanya meja-meja kosong dan beberapa kursi rotan tersisa, dengan lilin elektrik yang masih menyala temaram di setiap meja — menambah kesan hangat di tengah dinginnya angin malam.

Lantai kayu terasa dingin di bawah sepatu, dan di sisi barat, kolam pantul kecil memantulkan cahaya lampu dari bawah pagar kaca, membuat permukaannya berkilau seperti cermin hitam. Setiap hembusan angin membuat permukaannya bergetar lembut, seolah ikut bernapas bersama keheningan malam.

Dari sini, kota terlihat hidup tapi jauh — gedung-gedung tinggi berdiri gagah, mobil-mobil di jalanan hanya tampak seperti semut berlampu yang bergerak perlahan. Suara samar klakson dan kehidupan malam kota teredam oleh ketinggian; yang tersisa hanya ketenangan yang sulit dijelaskan.

Rooftop itu seolah menjadi ruang terpisah dari dunia di bawah sana — tempat di mana waktu berjalan lebih lambat, dan setiap napas terasa lebih panjang.

Tempat yang diam, tapi berbicara lewat angin dan cahaya. Tempat yang terasa seperti jeda di antara hari-hari yang terlalu cepat berlalu.

Dan malam itu, di bawah langit yang nyaris sempurna, suasana rooftop Arjuno Grand Hotel bukan sekadar indah. Ia memanggil dengan diam — seolah tahu, akan ada sesuatu yang penting terjadi di sana.

Bhumi Jayendra duduk di salah satu kursi tinggi dekat pagar, dasinya sudah longgar, kemejanya sedikit terbuka di bagian atas. Di tangannya, segelas kopi hitam yang uapnya menari samar di udara dingin.

Tak lama, pintu rooftop berderit terbuka. Marvin Nalendra muncul dengan jas tergantung di bahu dan sebotol air mineral di tangan.

“Masih kerja jam segini?” katanya santai sambil duduk di kursi sebelah Bhumi.

Bhumi menatap ke arah lampu-lampu kota tanpa menoleh. “Enggak. Cuma pengen istirahat sebentar.”

“Istirahat, katanya,” sahut Marvin pelan. “Padahal otaknya masih muter di sistem keamanan sama satu orang yang bukan bagian dari sistem itu.”

Bhumi mengangkat alis tipis. “Langsung tembak ya.”

“Biar efisien,” jawab Marvin sambil membuka tutup botol airnya. “Gue gak perlu jelasin, lo juga tahu maksud gue siapa.”

Bhumi tidak menjawab. Ia hanya memutar cangkirnya perlahan, matanya masih menatap lurus ke depan.

Dari jauh, angin membawa aroma hujan yang tersisa — segar tapi juga berat, seperti udara sebelum badai.

Marvin menyandarkan punggungnya, menatap ke arah langit yang hanya menampakkan sedikit bintang.

“Tadi pagi lucu banget,” katanya tiba-tiba. “Asisten gue nyaris pingsan gara-gara dua wanita cantik.”

Bhumi menghela napas pelan. “Satria ya?”

“Dia kayak anak kecil liat bintang jatuh. Dan lo tahu bagian paling parahnya?”

“Apa?”

“Dia minta gue kenalin.”

Bhumi tertawa kecil, nadanya rendah dan lepas. “Dan lo apain?”

“Gue biarin Bhumi Jayendra dan Marvin Nalendra jadi bodyguard dadakan.”

Bhumi menatapnya sekilas, senyum kecil muncul. “Itu bukan bodyguard. Itu refleks.”

“Refleks atau cemburu?” pancing Marvin, suaranya ringan tapi matanya tajam.

Bhumi diam sejenak. Angin malam meniup rambutnya pelan, dan di antara suara lampu kota, hanya terdengar dengusan tawa tipis dari bibirnya.

“Cemburu,” katanya akhirnya, pelan tapi jujur. “Mungkin iya. Gue gak ngerti, tapi… rasanya gak enak waktu ada yang terlalu dekat sama dia.”

Marvin menatapnya lama, lalu tersenyum. “Itu bukan hanya cemburu, Bhumi. Itu diagnosis awal jatuh cinta tahap satu.”

Bhumi tertawa pelan. “Suaranya kayak dokter gagal.”

“Tapi tepat.”

“Cinta tahap satu?”

“Iya,” jawab Marvin dengan nada tenang. “Gejalanya, fokus kerja menurun, tatapan kebanyakan berhenti di satu orang, dan detak jantung gak sinkron sama jam kerja.”

Bhumi menyandarkan punggung, menatap langit. “Kalau gue bilang… setiap kali dia ngomong, dunia rasanya berhenti sebentar?”

“Berarti lo udah masuk tahap dua,” sahut Marvin cepat. “Degupan gak bisa dibohongin.”

Hening beberapa saat. Suara angin makin kencang, menggoyangkan rambut mereka sedikit, membawa aroma kopi dan malam yang dingin.

Bhumi menatap ke bawah, ke arah lampu-lampu kota yang berkilau. “Dulu gue pikir… gue gak bakal punya waktu buat ngerasa kayak gini lagi.”

Marvin menoleh pelan. “Dan sekarang?”

“Sekarang gue sadar, kadang yang bikin hidup seimbang bukan logika, tapi orang yang bikin logika lo berhenti.”

Marvin tersenyum tipis. “Dan jelas orang itu bukan gue.”

Bhumi meliriknya. “Lo? Lo terlalu banyak ngomong buat bikin gue eneg.”

“Dan lo terlalu banyak mikir buat nyembunyiin rasa,” balas Marvin cepat.

Mereka berdua tertawa pelan. Tapi tawa itu, di antara angin malam dan lampu kota, terdengar hangat — bukan tawa dua CEO, tapi dua manusia yang tahu persis rasanya menolak perasaan, lalu kalah oleh hal sekecil tatapan.

Bhumi menyesap kopinya lagi. “Lo sendiri, gimana? Liora.”

Marvin menatap lurus ke depan. “Cerewet. Kepala batu. Terlalu ekspresif. Tapi…” ia berhenti sejenak, menatap langit, “kalau dia gak ada, kayanya ada yang kosong.”

Bhumi mengangguk pelan. “Kayak kebisingan yang lo cari.”

“Persis,” kata Marvin. “Dan lo juga kan? Rembulan. Tenangnya bahaya.”

Bhumi menatapnya datar, tapi senyum samar muncul di bibirnya. “Tenang, tapi bisa bikin otak gue kacau.”

Suasana rooftop kembali diam. Cahaya oranye dari lampu taman memantul di gelas kopi Bhumi, sementara di bawah sana, kehidupan kota terus berdetak.

Marvin berdiri lebih dulu, merapikan jasnya. “Lucu ya, Bhum.”

“Apa?”

“Kita dua orang paling logis di mana pun. Tapi cuma butuh dua perempuan buat ngerusak kelogisan itu.”

Bhumi menatapnya dari kursinya. “Mungkin bukan ngerusak, Vin. Mungkin… mereka ngebenerin bagian yang dari dulu rusak tapi gak kita sadari.”

Marvin menatapnya lama — kali ini tanpa sarkasme.

Lalu ia mengangguk pelan. “Mungkin  lo bener.”

Bhumi memalingkan pandangan ke arah kota, matanya menatap jauh, suaranya nyaris seperti gumaman,

“Kalau gini terus, gue gak yakin bisa pura-pura profesional lama-lama.”

Marvin menepuk bahunya ringan. “Tenang. Gue kasih diagnosis final.”

“Apa?”

“Lo udah bener bener jatuh cinta, Bro. Dan kayak biasa, lo kalah mutlak.”

Bhumi tersenyum kecil, menatap sisa uap kopi di tangannya.

“Dan lo?”

Marvin berjalan menuju pintu, menoleh sebentar dengan senyum tipis.

“Gue… lagi jatuh dalam debat yang gak pengen gue menangin.”

Bhumi tertawa pelan. “Shit. Kita kacau banget, ya.”

“Banget,” jawab Marvin sambil membuka pintu. “Tapi untuk pertama kalinya, gue gak keberatan sekacau ini.” Lalu Marvin meninggalkan Bhumi menuju pintu keluar rooftop.

Pintu rooftop tertutup. Bhumi duduk sendirian, menatap langit malam yang perlahan memudar dari kelabu ke biru tua. Di matanya, ada sesuatu yang baru — lembut, tapi nyata.

Ia menatap gelasnya, lalu bergumam pelan,

“Antara logika dan degupan, aku tahu mana yang menang malam ini.”

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!