Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengadilan Sayyid Zahir
“Keputusan final,” Yasmeen bersuara, nada tegangnya sedikit melunak. Ia mendekat pada dua pria yang memegang kunci kekuasaannya.
“Khalid, aku butuh kau menyusun dakwaan. Gambarkan Zahir sebagai penyakit yang harus dibuang dari tubuh Nayyirah. Biar tiga Syeikh dari Kabilah Azhar yang mengonfirmasi kesalahannya atas pengkhianatan, sesuai hukum kuno.”
Tariq menatapnya. “Dan Anda, Sayyidah?”
Mata hijau Yasmeen memancarkan perhitungan. “Aku yang akan mengesahkan hukuman. Biar aku yang tanggung jawab secara politis. Kedaulatan Nayyirah harus dibuktikan oleh mereka yang hidup di sini, bukan hakim istana yang pengecut.”
Khalid membungkuk dalam. “Ini akan menghapus semua keraguan. Hukuman rakyat, bukan intrik istana.”
“Tepat.” Yasmeen menatap Khalid tajam. “Belajar dari masa lalu. Kalau Sultan curiga persidangan ini diatur, dia akan kirim utusan untuk mengoreksiku. Tapi kalau tiga Syeikh terhormat yang memimpin, dan disaksikan seluruh Wazir, Kesultanan akan berpikir dua kali sebelum menantang Nayyirah.”
Yasmeen mengangguk, mengakhiri rapat. Tariq dan Khalid bergegas keluar, memikul tugas berat itu.
Dua hari berlalu. Setiap detik terasa mencekik di Istana Nayyirah. Sunyi, tapi ada energi listrik di udara. Para pelayan bergerak hati-hati, tahu fajar penguasa baru telah tiba. Penguasa lama—yang masih dikurung di sayap pribadinya—akan segera tumbang.
Khalī Tariq mengerahkan seratus pria dari Kabilah Al-Jarrah. Tubuh kekar, berseragam hitam-putih, mereka berbaur dengan pengawal istana yang setia pada Darah Emirat. Pedang di pinggang, wajah mereka serius dan tegas. Kekuatan tidak dipamerkan, tapi diperlihatkan dengan tenang. Pesannya jelas: Yasmeen tidak sendiri.
Di ruang bacanya, Yasmeen mengenakan jubah putih Jaddī-nya yang sudah diubah agar pas di tubuhnya. Pena menari di atas kertas, menandatangani surat kompensasi untuk para Wazir yang terlibat korupsi kecil di bawah Zahir. Mereka yang cepat menunjukkan loyalitas padanya. Pembersihan internal yang sunyi dan efisien.
Balas dendam tidak akan memberiku apa-apa, pikirnya. Hanya kekuasaan absolut yang bisa melindungi masa depanku dan Nayyirah. Zahir harus lenyap, bukan karena kebencian pribadi, tapi karena perhitungan politik.
Satu jam sebelum sidang, Umm Shalimah datang membantunya. “Sayyidah, Anda harus makan. Hari ini akan panjang,” bujuk Umm Shalimah, matanya khawatir.
“Aku tidak lapar, Shalimah. Hanya kopi Arab yang kuat. Dan bawakan cermin.”
Umm Shalimah menyodorkan cermin perak. Yasmeen menatap wajahnya yang masih seperti anak sepuluh tahun. Fitur halus, dengan mata hijau yang terlalu tua.
“Apa yang Anda cari, Sayyidah?” tanya Umm Shalimah lembut.
“Aku mencari Emirah yang baru, Umm,” bisik Yasmeen. “Hari ini, gadis kecil bernama Yasmeen telah mati. Yang tinggal hanya penguasa Nayyirah. Jangan lagi ada air mata, jangan lagi ada keraguan. Hari ini, panggung keadilan dimulai.”
***
Pengadilan diadakan di Ruang Audiensi Kuno. Dinding batu tebal menelan suara, mengisolasi para penghuninya dari gurun yang berdenyut di luar.
Yasmeen duduk di singgasana yang baru diukir untuknya, jauh lebih kecil dari kursi Jaddī-nya. Di sisi kirinya, Khalī Tariq diam seperti patung. Di sisi kanannya, Wazir Khalid gelisah, setumpuk perkamen di pangkuannya.
Di seberang Yasmeen, tiga kursi rendah dari kayu ebony diduduki tiga pria tua dengan janggut abu-abu panjang dan sorban hitam. Syeikh Musa, Syeikh Faiq, dan Syeikh Adnan—perwakilan dari kabilah terkuat di sekitar Oasis Azhar. Wajah mereka kaku, tanpa senyum, tanpa permusuhan. Hanya keadilan tribal yang tidak bisa ditawar.
Di tengah ruangan, duduk Sayyid Zahir.
Zahir terlihat lebih kurus, tapi masih mengenakan jubah mahal berwarna gelap. Wajahnya memancarkan keangkuhan yang sakit-sakitan.
Matanya bertemu mata Yasmeen, ia menyeringai pahit, mencoba merendahkan putrinya. Tapi Yasmeen tidak bereaksi. Dia hanyalah cermin dingin yang memantulkan keputusasaan Zahir.
Syeikh Musa menggedor lantai dengan tongkat kayu tebal. Bunyi tajam memecah keheningan.
“Kami hadir hari ini, atas nama Yang Mulia Emirah Yasmeen, untuk mendengarkan dakwaan terhadap Sayyid Zahir. Ia didakwa mengkhianati kedaulatan Emirat Nayyirah,” kata Syeikh Musa, suaranya kering seperti angin gurun.
“Bicara, Wazir Khalid.”
Khalid berdiri. Nadanya gemetar karena gugup, tapi ia berhasil menguasai diri. Suaranya nyaring dan jelas.
“Para Syeikh terhormat, Emirah, Sayyid Zahir. Saya akan menyajikan bukti pengkhianatan yang sistematis. Bukti pertama: perjanjian yang ditandatangani Sayyid Zahir, tepat setelah wafatnya mendiang Emir. Perjanjian itu berisi janji Sayyid Zahir untuk menyerahkan kontrol Oasis Azhar—sumber kehidupan Nayyirah—kepada keluarga Al-Muntasir, yang bersekutu dengan Permaisuri Hazarah. Dokumen ini disembunyikan dan melanggar sumpah suci Emirah bahwa Oasis Azhar akan tetap berada di bawah kendali Darah Emirat.”
Khalid menyodorkan perkamen. Ketiga Syeikh itu mengamati, alis mereka bertaut. Di seberang, Zahir tertawa sinis.
“Dokumen tidak bertanda tangan itu? Omong kosong!” seru Zahir. “Itu hanya rancangan yang kami bahas untuk menghindari amarah Kesultanan setelah putri kecilku yang arogan ini menolak perintah mereka!”
“Perintah untuk mengkhianati kami?” Syeikh Faiq menyela dingin. “Kalau itu hanya rancangan, kenapa mata-mata Anda, Faris, ditemukan menuju Oasis dengan surat kuasa untuk segera melaksanakan transfer administrasi, Sayyid Zahir?”
Zahir terdiam. Wajahnya mulai kehilangan warna.
Wazir Khalid melanjutkan. “Bukti kedua: surat jaminan aset. Sayyid Zahir berjanji menyerahkan kontrol Tambang Perak Al-Nadim kepada Utusan Permaisuri sebagai 'kompensasi' atas penolakan Emirah untuk pergi ke Kota Agung. Kompensasi atas penolakan Emirah berarti ia menjual aset Nayyirah hanya untuk mendapatkan waktu dan otoritas sementara baginya. Nilai kerugian finansial diestimasikan lebih dari tujuh puluh ribu Dinar perak per tahun.”
Saat Khalid menjabarkan angka-angka, suara Zahir merosot menjadi erangan pelan. Di dunia ini, pengkhianatan ekonomi yang menyebabkan penderitaan rakyat adalah kejahatan paling serius.
Zahir memukul lututnya dengan frustrasi. “Aku melakukannya untuk Nayyirah! Untuk melunakkan Permaisuri! Kalau kalian pikir aku melakukan ini demi diriku—”
“—Maka, mari kita bicara tentang dirimu,” sela Yasmeen, suaranya lembut di tengah ruangan besar itu. Untuk pertama kalinya, ia angkat bicara. Suaranya memaksa seluruh perhatian berpusat padanya.
Ia memberi isyarat kepada Khalid. Khalid ragu sejenak, mengingat rencana untuk tidak membahas racun. Tapi Yasmeen memberinya pandangan tajam: lakukan apa yang kuperintahkan.
Khalid berdeham. “Ada bukti tidak langsung yang mengindikasikan niat jahat dan penyalahgunaan posisi oleh Sayyid Zahir, yang bertujuan melukai Sayyidah Emirah demi memajukan tujuan politik pribadinya.”
“Fitnah!” teriak Zahir. “Bukti tidak langsung?!”
“Bukti tersebut adalah kesaksian istri Anda sendiri, Mehra,” ujar Khalid. “Kami memiliki surat pernyataan resmi yang ditandatangani dan disaksikan. Mehra bersaksi bahwa Anda berniat membuat Yang Mulia Yasmeen sakit agar Permaisuri segera membawanya, sekaligus memberi Anda kesempatan untuk memerintah sendiri.”
Tiga Syeikh menoleh, kini dengan kejijikan di wajah mereka. Mereka adalah pria gurun. Pengkhianatan politik bisa dimengerti, tapi membahayakan darah keturunan sendiri, bahkan menggunakan istri kedua sebagai kambing hitam, itu menjijikkan.
“Mehra berbohong! Dia wanita gila, cemburu!” raung Zahir. Ia melompat berdiri, tangannya terikat di belakangnya, ditarik oleh dua pengawal Tariq. “Putriku tidak pernah menyukaiku, dan sekarang kau—gadis kecil tidak tahu terima kasih—menggunakan kebohongan istriku sendiri untuk menjatuhkanku!”
Yasmeen menatap Zahir. Wajahnya dingin, tanpa emosi. Zahir bukan lagi ayahnya. Dia adalah musuh. Ancaman yang harus dinetralkan.
“Saya telah mendengar kesaksian Wazir Khalid dan kami telah meneliti semua dokumen,” kata Syeikh Musa, memegang perkamen perjanjian Oasis Azhar. “Sayyid Zahir, kabilah Nayyirah menemukan Anda bersalah atas pengkhianatan kedaulatan dan upaya membahayakan kemakmuran Emirat melalui penggelapan dan penyerahan aset vital.”
Suara itu mematikan. Yasmeen melihat mata Zahir membelalak. Keangkuhannya runtuh. Dia menyadari ini bukan sidang yang bisa ia manipulasi, melainkan keputusan yang sudah final.
“Tidak! Ini semua jebakan anak kecil itu!” jerit Zahir, matanya berdarah. Ia menatap tajam pada Yasmeen, yang tampak begitu kecil di singgasananya, namun kekuatannya jauh lebih besar daripada Emir terdahulu.
Syeikh Musa memandang Yasmeen. “Yang Mulia Emirah, para Syeikh telah memutuskan bahwa Sayyid Zahir bersalah. Kami menyerahkan keputusan akhir mengenai hukumannya di tangan darah Emirat, seperti wasiat mendiang Emir.”
Tiba-tiba, suara Zahir menusuk seperti belati, meluncurkan serangan personal yang ia tahu paling mematikan bagi Yasmeen. Itu adalah manuver putus asa, senjata terakhir seorang pria yang tidak memiliki apa-apa lagi.
“Pengasingan? Hukuman mati? Lakukan saja!” teriak Zahir, mencondongkan tubuh ke depan, seolah ingin meraih kerah jubah Yasmeen. “Kau dengarkan aku, Yasmeen! Kau boleh mengambil segalanya dariku, mengambil Zain, mengambil harta, mengambil Nayyirah! Namun, ingat ini: kau tidak akan pernah lari dari takdirmu. Harith Al-Qaim sudah tahu betapa cerdasnya kau sekarang! Dia akan semakin menginginkanmu! Kau akan tetap menjadi pengantin boneka yang menyedihkan di Kota Agung! Dan Pangeran Malik—”
Zahir menarik napas dalam-dalam, senyum mengerikan terbentuk di wajahnya, seperti topeng neraka.
“—Pangeran Malik akan melihat bagaimana pengantin Emirnya menangis—”