NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Buku Hitam

Peta itu remuk di genggaman Hwa-young sebelum ia lemparkan ke lantai kayu yang dingin. Serpihan debu beterbangan di udara pengap rumah sewaan mereka di Distrik Selatan, setiap butirnya terasa seperti ejekan atas kegagalannya. Rencana garamnya hancur bahkan sebelum dimulai.

"Bagaimana mungkin?" bisik Sora, serak karena tak percaya. Wajahnya yang biasa tenang kini menegang. "Sandi itu ... hanya kau dan Ratu yang tahu. Yi Seon tidak mungkin memecahkannya secepat ini."

"Dia tidak perlu memecahkannya," desis Hwa-young, rasa pahit memenuhi mulutnya. Ia mondar-mandir seperti binatang yang terperangkap. "Dia hanya perlu tahu di mana aku akan memukul. Setelah sutra, target logis berikutnya adalah garam. Dia tidak bodoh, Sora. Dia menungguku di sana."

Ini bukan sekadar strategi. Ini terasa personal. Seolah Yi Seon bisa membaca setiap keraguan dan ambisi di dalam kepalanya, seperti yang pernah ia lakukan di kehidupan sebelumnya, tepat sebelum semuanya menjadi abu.

"Kalau begitu kita harus bergerak lebih cepat!" Sora mencondongkan tubuh, matanya menyala. "Serang sekarang juga, sebelum dia melaporkan semuanya pada Matriarch Kang!"

"Tidak!" Suara Hwa-young memotong tajam, menghentikan Sora di tempatnya. "Justru itu yang dia tunggu. Dia ingin melihat seberapa dalam jaringanku, siapa saja orang-orangku. Dia ingin mengambil alih seluruh operasi ini untuk dirinya sendiri."

Mae-ri, yang berdiri diam di sudut, bergidik. Hwa-young berhenti, napasnya memburu. Ia tidak bisa gagal lagi. Kenangan akan dinginnya pedang algojo di lehernya tiba-tiba terasa begitu nyata. Ia tidak akan kembali ke sana.

"Kita harus mengalihkan perhatiannya," kata Hwa-young, lebih tenang tapi menusuk. "Bukan dengan umpan hantu seperti koin tembaga. Kali ini, kita berikan dia sesuatu yang nyata untuk dikejar. Sesuatu yang akan membuat Matriarch Kang juga panik."

"Apa itu?" tanya Sora. "Apa yang lebih berharga dari monopoli garam?"

Hwa-young berhenti dan menatap lurus ke mata Sora. Ada kilatan berbahaya di matanya, sebuah ide gila yang lahir dari keputusasaan murni.

"Buku Besar Bayangan milik Matriarch Kang."

Sora tersentak seolah ditampar. "Apa? Maksudmu ... daftar hitam itu? Yang berisi nama semua pejabat yang ada di kantongnya?"

"Tepat," Hwa-young menegaskan, secercah senyum dingin tersungging di bibirnya. "Jika kita mendapatkannya, kita tidak lagi bertarung di pasar gelap. Kita membawa pertarungan ini ke ruang dewan kekaisaran. Amunisi politik yang akan memaksa Yi Seon memilih pihak secara terbuka."

"Itu bunuh diri," balas Sora cepat, menggelengkan kepalanya. "Buku itu ada di Kantor Pajak Distrik Tengah. Tempat itu bukan sekadar kantor, Hwa-young. Itu adalah pusat intelijen Kang. Penjagaannya lebih ketat daripada Istana Timur."

"Dan justru karena itulah tidak ada yang berani menyentuhnya," timpal Hwa-young. "Semua orang berpikir buku itu terlalu dijaga, atau Kang menyimpannya di brankas pribadinya. Mereka salah."

Ingatan itu datang lagi, bukan sebagai data, tapi sebagai gema dari masa lalu. Sebuah percakapan lirih antara ibunya dan ayahnya, sang Kaisar. Sebuah laporan intelijen yang diabaikan, yang kemudian menjadi salah satu paku di peti mati mereka.

"Kang itu paranoid," Hwa-young menjelaskan, seperti bisikan konspirasi. "Dia tidak akan menaruh semua hartanya di satu tempat. Dia menyimpan salinan buku itu di tempat yang paling membosankan, paling resmi, dan paling mudah dilupakan, ruang arsip tua di Kantor Pajak." Ia menunjuk satu titik di peta Distrik Tengah yang tergeletak di lantai. "Di sana. Di balik rak yang paling reyot, ada brankas besi tua. Isinya bukan emas, tapi nama. Nama, tanggal, dan jumlah suap yang bisa meruntuhkan separuh kekaisaran."

Sora menatapnya, ragu. "Bagaimana kau bisa seyakin itu?"

"Karena itu adalah informasi terakhir yang Ibuku berikan kepada Ayah sebelum ia dieksekusi," jawab Hwa-young datar, rasa sakit yang familier menusuk dadanya. "Kang tidak pernah mengubah kebiasaannya. Ketakutannya adalah kelemahannya."

Sora menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Keraguan di matanya berganti menjadi tekad baja. "Baiklah. Kapan?"

"Malam ini," jawab Hwa-young tanpa ragu. "Kita tidak punya waktu. Yi Seon sudah selangkah di depan. Kita harus membalikkan papan catur ini sekarang juga."

*

Udara malam di Distrik Tengah terasa berat, pekat dengan bau asap batu bara dan intrik. Bulan sabit yang tipis bersembunyi di balik kabut, seolah tak ingin menjadi saksi atas apa yang akan terjadi. Hwa-young dan Sora berjongkok di gang sempit di belakang Kantor Pajak, bayangan mereka menyatu dengan tumpukan sampah dan kegelapan.

Jantung Hwa-young berdebar lebih kencang daripada saat ia menyusup ke gudang bijih besi. Ini berbeda. Ini adalah jantung kekuasaan musuhnya. Satu kesalahan kecil berarti kematian.

"Tiga penjaga di depan, dua di belakang," bisik Sora, matanya tajam mengamati. "Satu berpatroli setiap lima belas menit. Dia akan lewat lagi sebentar lagi."

"Ruang arsip di lantai dua," Hwa-young balas berbisik, menunjuk ke sebuah jendela dengan teralis besi yang sudah berkarat.

"Aku bisa membuka teralis itu," kata Sora, "tapi butuh waktu. Setidaknya lima menit."

"Kita tidak punya waktu lima menit," potong Hwa-young. Matanya liar mencari di sekitar mereka. "Penjaga itu akan kembali dalam empat menit. Kita butuh pengalihan." Ia melihat tumpukan sampah basah di sudut gang, dan sebuah ide menjijikkan tetapi brilian terbentuk. "Sora, kau bawa belerang?"

Sora mengernyit. "Untuk bom asap?"

"Bukan," Hwa-young tersenyum licik. "Untuk bau. Bakar sedikit di tumpukan sampah itu. Ciptakan bau busuk yang luar biasa. Bau bangkai tikus yang terlupakan."

Kilat pemahaman melintas di mata Sora, diikuti oleh senyum kagum. "Mengusir mereka dengan bau? Jenius."

Sora bergerak tanpa suara. Sedikit bubuk kuning dituangkan, dan sebuah korek api kecil dinyalakan. Api kecil merayap, dan dalam sekejap, bau busuk yang menusuk hidung mulai menyebar, seperti napas neraka.

Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara gerutuan. "Demi Dewa, bau apa ini?" Salah satu penjaga belakang berjalan terhuyung-huyung ke arah sumber bau, menutupi hidungnya dengan sapu tangan.

"Sekarang!" desis Hwa-young.

Mereka melesat ke bawah jendela. Jari-jari Sora menari dengan cekatan di atas gembok tua itu, alat-alat kecilnya bekerja dalam keheningan yang menegangkan. Setiap detik terasa seperti satu jam. Penjaga itu masih sibuk menendang-nendang sampah, mengumpat.

Klik.

Gembok itu terbuka. Sora mendorong teralis yang berderit pelan. Hwa-young menyelinap masuk lebih dulu, diikuti Sora.

Di dalam, udara pengap dan berbau kertas lapuk menyambut mereka. Gelap total. Lentera kecil milik Sora menyala, cahayanya hanya sebesar kepalan tangan, menampakkan rak-rak arsip yang menjulang seperti kerangka raksasa.

"Di belakang rak paling tua," Hwa-young menunjuk.

Mereka mendorong rak kayu reyot itu bersama-sama. Awan debu tebal meledak, membuat mereka terbatuk. Di baliknya, sebuah brankas besi tua berdiri angkuh, seolah menantang mereka.

"Kuno, tapi kokoh," gumam Sora, menyentuh gembok kombinasinya.

"Kang tidak percaya kunci fisik," kata Hwa-young, mengambil alih. Ia memejamkan mata, memaksa dirinya kembali ke hari tergelap dalam hidupnya. Hari di mana ayahnya ditangkap. Kemenangan terbesar Kang. "Tahun 17, bulan 11, hari ke-14."

Jari-jarinya yang gemetar mulai memutar tombol kombinasi.

Klik...

Kenangan akan wajah ayahnya yang kalah.

Klik...

Senyum kemenangan Matriarch Kang.

Klik...

"Ada langkah kaki di bawah," bisik Sora tegang. "Penjaga itu kembali."

Hwa-young mengabaikannya, fokusnya menajam. Seluruh dunianya menyempit pada suara putaran logam itu.

KLAK.

Brankas itu terbuka dengan suara berat. Hwa-young menahan napas. Di dalamnya, hanya ada satu benda, sebuah buku tebal bersampul kulit hitam, diikat dengan tali sutra merah darah.

"Buku Besar Bayangan," bisiknya penuh kemenangan, mengangkat buku itu. Beratnya terasa seperti beban seluruh kekaisaran.

"Kita harus pergi!" desak Sora.

Mereka buru-buru mengembalikan rak buku itu dan kembali ke jendela. Saat Hwa-young setengah jalan keluar, sebuah teriakan memecah keheningan malam.

"Siapa di sana! Penyusup!"

Seorang penjaga melihat siluet mereka. Sial! Alarm berbunyi, lampu-lampu mulai menyala di dalam gedung.

"Lari!" teriak Sora.

Mereka melompat dan berlari menyusuri gang-gang sempit. Suara langkah kaki dan teriakan para penjaga mengejar di belakang mereka.

"Kita harus berpisah!" teriak Sora di persimpangan gang, napasnya terengah-engah. "Aku akan memancing mereka ke timur! Buku itu lebih penting!"

"Jangan bodoh, Sora!"

"Ini satu-satunya cara! Jaga dirimu, Nyonya Hwa!" Sebelum Hwa-young bisa membantah, Sora berbelok tajam, sengaja membuat suara gaduh.

"Kejar yang itu!" Para penjaga terkecoh.

Hwa-young mengambil kesempatan itu, berlari ke arah yang berlawanan, memeluk buku besar itu erat-erat ke dadanya. Ia harus keluar dari distrik ini sebelum gerbang ditutup.

Di tikungan pasar yang sepi, ia menabrak sesuatu dengan keras. Saat ia mendongak, siap berbohong, ia melihat wajah yang familier di bawah topi jerami lebar. Paman Go, dengan gerobak sayur layunya.

"Nyonya, Anda tampak terburu-buru," kata pria tua itu dengan tenang, seolah mereka bertemu untuk minum teh.

"Paman Go?"

"Seorang kurir dari nona Sora menyuruh saya menunggu di sini," Paman Go tersenyum tipis. "Katanya, 'Putri Mahkota mungkin butuh tumpangan'."

Tanpa membuang waktu, Hwa-young melompat ke belakang gerobak. Paman Go dengan sigap menimbunnya dengan kubis dan kangkung layu. Beberapa saat kemudian, para penjaga berlari melewati mereka, tidak sedikit pun melirik seorang pedagang tua yang pulang terlambat.

*

Kembali di rumah sewaan, Hwa-young menjatuhkan dirinya di kursi, tubuhnya gemetar karena adrenalin. Ia meletakkan Buku Besar Bayangan di atas meja.

"Kita berhasil, Mae-ri," katanya, napasnya masih belum teratur.

Mae-ri menatap buku itu dengan kagum bercampur ngeri. "Ini ... senjatanya?"

"Senjata terkuat kita," Hwa-young mengoreksi. Ia membuka sampul kulit hitam itu. Di halaman pertama tertulis, Daftar Aset Politik.

Ia membalik halaman dengan jari-jari gemetar. Nama-nama pejabat tinggi, gubernur, kepala serikat, semuanya ada di sana, lengkap dengan jumlah suap mereka. Ini adalah dinamit.

Lalu, matanya terpaku pada sebuah nama di halaman ketiga, ditulis dengan tinta tebal oleh tangan Kang sendiri.

Jenderal Kim. 300 keping emas. Perintah, Menjaga Istana Timur.

Darah serasa surut dari wajah Hwa-young. Jenderal Kim. Pengawal pribadi Yi Seon. Orang yang ia anggap netral. Dibeli. Semuanya bohong.

Rasa mual menyerangnya. Dengan tangan gemetar, ia terus membalik halaman, seolah mencari sesuatu yang bisa membantah kengerian yang mulai merayap di hatinya.

Dan di halaman terakhir, di bawah daftar suap terbesar, ada satu nama lagi. Ditulis dengan tinta merah, seolah untuk menandakan kepemilikan yang paling berharga.

Pangeran Mahkota Yi Seon. 5000 keping emas. Perintah, Mengawasi Putri Mahkota.

Buku itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai dengan suara gedebuk yang memuakkan.

Yi Seon.

Bukan sekutu. Bukan saingan. Dia adalah bidak Kang yang paling kuat. Pengkhianat. Lagi-lagi ia dikhianati oleh pria yang sama.

Kata-kata Yi Seon di gudang bijih besi kembali menghantamnya, Jika kau terbakar, aku akan memastikan kau tidak membawaku bersamamu.

Ternyata artinya bukan melindunginya, tapi memastikan dia, sebagai mata-mata Kang, tidak ikut terseret dalam permainan Hwa-young. Seluruh rencananya, serangannya terhadap sutra, kegagalannya dengan garam, semuanya telah diawasi. Yi Seon tidak hanya selangkah di depan, dia adalah sutradara dari drama ini.

"Dia tahu," bisik Hwa-young, bergetar hebat. "Dia tahu kita mencuri buku ini. Dia akan datang..."

BRAK! BRAK! BRAK!

Pintu depan digedor dengan kekuatan brutal.

"Putri Mahkota Hwa-young!" Suara dingin dan berwibawa itu milik Jenderal Kim. "Saya tahu Anda di dalam! Buka pintu ini atas perintah Pangeran Mahkota!"

Mae-ri memekik pelan. Hwa-young memungut buku itu, pikirannya berpacu liar. Yi Seon mengirim Kim bukan untuk buku itu, tapi untuknya. Untuk membungkamnya.

BRAK!

Pintu itu retak.

"Mae-ri, bakar buku ini!" perintah Hwa-young, mendorong buku itu ke pelayan setianya. "Apapun yang terjadi, jangan biarkan mereka mendapatkannya!"

Saat Mae-ri berlari ke perapian, Hwa-young menghunus belati kecil dari balik bajunya, bersiap untuk pertarungan terakhirnya.

Pintu itu hancur berantakan.

Tapi yang berdiri di ambang pintu bukanlah Jenderal Kim.

Itu Yi Seon.

Wajahnya pucat di bawah cahaya lentera, matanya tertuju pada Hwa-young, lalu beralih ke Mae-ri yang hendak melemparkan buku itu ke dalam api.

"Jangan!" teriak Yi Seon, serak karena panik.

"Pengkhianat!" desis Hwa-young, mengangkat belatinya.

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Hwa-young!" Yi Seon melangkah maju, tangannya terulur. "Berikan buku itu padaku!"

Di belakangnya, Jenderal Kim tampak sama bingungnya.

"Aku lebih baik mati daripada membiarkanmu menang lagi!" teriak Hwa-young, rasa sakit dan pengkhianatan memberinya kekuatan.

Yi Seon menerjangnya. Mereka bergumul, dan dalam kekacauan itu, sebuah lentera minyak terguling, menumpahkan isinya ke tumpukan kain dan kertas kering di sudut ruangan.

Api langsung menyambar dengan ganas.

"Buku itu!" teriak Mae-ri, ragu-ragu.

Yi Seon melepaskan Hwa-young dan melompat ke arah Mae-ri, merebut buku itu tepat saat api mulai menjilat sampulnya. Ia menjerit kecil saat panas menyengat tangannya, tetapi ia memeluk buku itu erat-erat.

Ruangan itu dengan cepat dipenuhi asap.

"Kau tidak akan mendapatkannya!" raung Hwa-young, mencoba menyerang lagi, tetapi Jenderal Kim menahannya.

"Aku bukan pengkhianat, bodoh!" teriak Yi Seon, matanya memerah karena asap dan amarah. Api berkobar di belakangnya, melukis bayangan mengerikan di dinding. "Aku menulis namaku sendiri di buku itu! Itu adalah sandi terakhir antara aku dan ibumu! Cara agar Kang percaya aku di bawah kendalinya!"

Hwa-young membeku. Sandi ... terakhir?

"Apa...?"

"Aku harus memegang kendali atas pengawasanmu! Aku sengaja membiarkanmu mencurinya agar kau melihat namaku dan datang padaku! Tapi sekarang..." Yi Seon terbatuk hebat, "sekarang Kang akan tahu aku telah mengkhianatinya!"

KRAAAK!

Suara kayu patah yang mengerikan terdengar dari atas. Sebuah balok atap yang terbakar jatuh, menghantam lantai di antara mereka dengan ledakan percikan api. Dinding api kini memisahkan Hwa-young dan Yi Seon.

"Hwa-young!" teriak Yi Seon dari balik kobaran api, wajahnya dipenuhi keputusasaan. Buku itu masih tergenggam erat di tangannya.

Asap tebal menyesakkan paru-paru Hwa-young. Panas api menjilat kulitnya. Di satu sisi, ada jalan keluar yang dijaga oleh Jenderal Kim yang kebingungan. Di sisi lain, di balik dinding api yang terus membesar, ada Yi Seon, pria yang telah mengkhianatinya dua kali, atau mungkin, yang telah mempertaruhkan segalanya untuknya.

Api meraung, menelan semua suara kecuali detak jantungnya sendiri yang menggila. Lari atau percaya? Selamatkan diri atau selamatkan kebenaran?

Ia hanya punya waktu beberapa detik untuk memilih.

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!