Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.
Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akting Bianca
Pagi itu mentari bersinar lembut di atas vila keluarga Alessandro. Rumah besar yang dikelilingi taman mawar itu tampak hangat, namun di dalamnya suasana tidak seindah yang tampak dari luar. Aroma roti panggang, kopi hitam, dan omelet yang baru matang mengisi udara. Suara peralatan makan beradu pelan, mengisi keheningan meja makan panjang yang penuh dengan perak dan porselen mahal.
Alessandro duduk di ujung meja, mengenakan kemeja putih dengan kancing bagian atas terbuka. Di sebelahnya ada istrinya, Marcella. Di sisi lain, Dante, anak laki-lakinya Dan tentu saja, di kursi paling dekat dengan Alessandro, duduk Bianca, putri bungsunya yang dikenal manja namun licik.
Pagi itu tampaknya berjalan normal, sampai Bianca meletakkan sendoknya dengan suara cukup keras. Alessandro menoleh pelan.
“Kenapa, sayang? Ada yang tidak enak?” tanyanya.
Bianca menatap ayahnya dengan ekspresi yang tampak seperti campuran sedih dan tersinggung.
“Papa,” katanya dengan suara lembut tapi menggigit, “Bianca dengar dari mama… katanya kakek mau menyerahkan perusahaan Valenza Group sama Kak Aurel.”
Ucapan itu membuat suasana meja langsung hening. Marcella menatap suaminya sambil tersenyum tipis, sementara Dante yang sejak tadi diam menoleh perlahan, tertarik mendengar arah pembicaraan itu.
“Benar begitu, Pa?” lanjut Bianca, kali ini nadanya lebih dalam, seolah menahan tangis. “Kakek benar-benar kasih perusahaan sebesar itu ke Kak Aurel? Kenapa Bianca nggak dapat apa-apa? Emang Bianca bukan cucu kakek juga?”
“Sayang, kakek punya pertimbangan sendiri. Aurel sudah lebih dulu dilibatkan dalam urusan bisnis Valenza, mungkin itu sebabnya.”
“Pertimbangan?” potong Bianca cepat, matanya mulai berair. “Kakek selalu bilang semua cucunya sama di matanya, tapi nyatanya nggak! Kakek pilih kasih, Pa! Kenapa semua yang besar, semua yang penting, selalu buat Kak Aurel?”
Nada suaranya meninggi, tangannya mengepal di pangkuan.
Marcella pura-pura menenangkan dengan lembut. “Sudahlah, Bianca. Kamu tahu sendiri Aurel itu kesayangan kakek. Dari dulu apa pun selalu dia yang lebih dulu. Bahkan waktu masih kecil, kakek beliin dia kuda poni, sementara kamu cuma dapat boneka biasa.”
Bianca menatap mamanya, lalu mengangguk kecil, seolah semakin terpicu oleh perkataan itu.
“Iya kan, Ma? Aku selalu dapat sisa. Sekarang perusahaan juga begitu.”
Dante yang sedari tadi diam ikut menimpali tanpa ekspresi jelas.
“Mungkin kakek melihat Aurel lebih pantas. Lagipula, dia sekarang sudah jadi bagian dari keluarga Don Leo. Itu jelas keuntungan besar buat Valenza.”
Nada datar Dante seperti minyak yang disiram ke bara api. Bianca langsung menatapnya tajam.
“Jadi kamu juga berpikir aku nggak pantas, gitu?”
Dante mengangkat bahu, lalu meneguk jus jeruknya tanpa bicara. Tapi Marcella, yang tahu celah ini bisa dimanfaatkan, segera menyusul.
“Dante tidak bermaksud begitu, sayang,” ucapnya halus. “Hanya saja, kakek Gio mungkin memang ingin memperkuat hubungan keluarga lewat Aurel dan Leo. Politik keluarga seperti itu tidak bisa kita lawan.”
Alessandro menatap istrinya dengan tajam, seolah tahu arah pembicaraan istrinya mulai memanas. Tapi Marcella tetap tersenyum, berpura-pura tenang.
Bianca, dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya, menunduk. “Aku cuma… aku cuma pengen Papa ngerti, Bianca juga pengen dianggep. Aku juga bisa, Pa. Aku juga bisa urus perusahaan. Aku juga punya otak, bukan cuma nama belakang ‘Valenza’ aja.”
Nada lirihnya membuat Andro menurunkan garpunya. Ada raut ragu di wajahnya. Bianca memang tahu titik lemahnya: hatinya yang lembut terhadap putrinya.
Marcella melihat reaksi suaminya dengan tatapan puas. Ia menambahkan pelan, “Kalau Bianca memang ingin diberi kesempatan, bukankah bagus, Andro? Lagipula, perusahaanmu sendiri butuh penerus juga. Masa semuanya diserahkan ke Leo dan Aurel?”
Suasana hening sesaat. Andro menatap piringnya, lalu Bianca yang kini menatapnya dengan mata basah, bibir bergetar seolah menahan tangis.
“Baiklah…” ucap Andro akhirnya, pelan tapi pasti. “Papa punya satu perusahaan ekspor kecil di bawah nama Alessandro Group. Tidak sebesar Valenza, tapi kalau kamu mau belajar dan bertanggung jawab, Papa akan percayakan itu ke kamu.”
Mata Bianca langsung berbinar.
“Beneran, Pa?!”
Andro tersenyum kecil. “Iya, sayang. Tapi ini bukan main-main, Bianca. Papa mau kamu serius. Urus perusahaan itu dengan tanganmu sendiri.”
Tanpa menunggu, Bianca bangkit dari kursinya dan memeluk ayahnya erat-erat.
“Makasih, Pa! Aku janji, Bianca nggak akan bikin Papa kecewa!” katanya dengan suara ceria yang hampir bergetar karena antusiasme tapi semua penuh dengan kepura-puraan.
Dante hanya mengamati dari ujung meja, sementara Marcella menutupi senyum liciknya dengan meneguk kopi. Dalam hati, ia tahu benih kecil yang ditanamnya sudah tumbuh.
Setelah Bianca duduk kembali, ekspresinya berubah halus. Ia menatap papanya dengan mata berbinar polos, tapi dalam pikirannya, badai ambisi sudah berputar.
Sedikit demi sedikit, batinnya berbisik. Kalau sudah bisa pegang satu perusahaan, nanti bisa dua, tiga… dan pada akhirnya, semua akan jadi milikku.
Aurel boleh pegang Valenza hari ini. Tapi besok… semua orang akan tahu siapa Bianca Valenza sebenarnya.
Setelah sarapan, Dante keluar lebih dulu, membawa laptopnya. Ia menuju ruang kerjanya tanpa bicara.
Sementara Andro berdiri, menepuk bahu putrinya. “Papa mau kamu datang ke kantor siang ini, Bianca. Papa akan kenalkan kamu.”
“Baik, Pa. Bianca siap.”
Begitu sang ayah pergi, Marcella mencondongkan tubuhnya, berbisik halus di telinga putrinya.
“Bagus. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya, kan?”
Bianca menatap mamanya, senyumnya berubah dingin. “Tentu saja, Ma. Aurel pikir dia yang paling sempurna. Kita lihat seberapa lama dia bisa duduk di tahta itu.”
Marcella menepuk tangan putrinya lembut, bangga sekaligus puas. “Kamu memang anak Mama.”
Bianca tertawa kecil, lalu berdiri, langkahnya ringan tapi matanya berkilat tajam. Di dalam dirinya, bukan sekadar keinginan membuktikan diri yang tumbuh tapi juga kehausan akan kekuasaan.
Ia berjalan ke balkon, memandang jauh ke arah timur di mana matahari mulai tinggi.
"Valenza Group mungkin bukan milikku hari ini tapi aku akan rebut semua yang kamu punya aurel termasuk suamimu. " ucap Bianca dalam hati sambil tersenyum tipis.
Bersambung.....