"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah selir kerajaan Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan karena trah mereka lebih unggul. Tapi ternyata ini berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak. Maafkanlah mbah Demang ya Nduk," ucap Mbah Demang padaku seraya mengatupkan kedua tangannya padaku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Duarrrrrrt
Gelegar suara halilintar tampak menyahut di langit yang mulai terlihat kelabu seakan ia turut mengamini sumpah serapah yang telah dilontarkan oleh pak Dhe lastri. Tak seberapa lama kemudian hujan deras mulai membasahi area surau dan halaman rumah Raden mas Demang.
Raden Soemitro tampak terduduk lemas setelah menyaksikan sumpah serapah keluar dari mulut pak dhe Lastri. Ia terlihat menengok dengan lemah ke arah mbale rumah untuk melihat mbah Ibu, orang yang telah melahirkannya. Raden bisa bernapas dengan lega karena mbah ibu tengah tidak berada di mbale maupun teras rumah. Ia tidak ingin perempuan yang sangat dihormatinya itu merasa sedih atas apa yang tengah ia alami saat ini.
"Untung saja mbah ibu tidak mendengarkan sumpah serapah ini. Bila mbah Ibu mendengarkan semua sumpah serapah ini, entah bagaimana caraku menghadapi beliau,"batin Raden.
Paijo menghampiri raden mas Demang. Pria yang biasanya terlihat kuat dan tegar, hari ini begitu tidak berdaya sama sekali. Raden begitu kalut dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Tentang Lastri, sumpah serapah, pernikahan yang akan ia langsungkan dan semuanya. Ingin rasanya ia membalas semua perlakuan buruk yang ia terima saat ini. Tapi jabatan yang ia emban serta masyarakat serta keluarga dari Japan yang notabene masih memililiki kekerabatan dengan kerajaan Majapahit yang menyaksikan di acara itu, membuat Raden mengurungkan niat untuk membalas semua perlakukan pak dhe Lastri.
Melihat hal itu, Paijo begitu tidak terima dengan sikap pak dhe Lastri pada tuannya tersebut. Ingin rasanya ia menghajar lelaki paruh baya beserta para komplotannya yang hadir di sana.
"Tak ajare raden. Aku wis ora sabar delengi wong sikape ora apik koyo ngunu kui," marah Paijo.
Raden membesarkan kedua bola matanya.
"Ojo. Tolong jagakne mbah Ibu wae. Ojo ngasi mbah Ibu nang ngarepan sanding surau iki. Jaganen mbah Ibu lan keluargamu nek mburitan omah. Ojo nganti nang ngarep selama pek pak dhe ne lastri iseh nek kene. Age. cepetan," larang Raden pada Paijo.
" Inggih raden."
Paijo melaksanakan perintah radennya tersebut. Ia segera mengajak keluarga besarnya untuk menyusul mbah Ibu yang tengah berada di kamar mandi di belakang rumah. Ia berusaha mengalihkan perhatian mbah Ibu dengan mengajak perempuan paruh baya itu jogrokan di kebonan agar ia tak mengetahui kejadian yang tengah menimpa Raden Mas Demang saat ini.
Lastri terlihat meneteskan air mata mendengar sumpah serapah dari pak dhe untuk diri dan keturunannya kelak.
"Apa hanya karena Raden Mas Demang tidak menyediakan acara tayuban untuk memuaskan hasrat menari serta seksual, jenengan memberikan sumpah pada anak keturunanku hingga seperti ini pak Dhe? Apa kesalahan yang telah kulakukan pada jenengan? Apa salah bapa biyungku pada jenengan hingga jenengan punya dendam kesumat pada diriku hingga anak turunku yang belum ada di muka bumi ini hingga jenengan memberikan sumpah serapah pada mereka semua? Apa karena aku tidak mengikuti acara buka selambu sesuai dengan keinginan kala itu hingga jenengan memberikan kutukan yang sangat besar ini padaku? Masih kurangkah harta peninggalan orang tuaku yang telah kalian ambil dengan paksa hingga kalian juga masih berharap untuk menjual tubuhku ini? Jenengan sungguh keterlaluan!" teriak Lastri dengan badan gemetar, air mata yang tak terasa menetes di pipi sembari menepuk keras dadanya yang menyiratkan begitu besar emosi dalam dirinya.
"Karena Jenengan sudah memberikan supoto itu padaku dan semua anak keturunanku, aku, sebagai simbah mereka semua, hanya mampu berdoa pada yang maha Kuasa, semoga semua yang Jenengan katakan tidak akan pernah terjadi pada semua anak turunku. Bila memang benar akan terjadi, aku juga tidak tahu supoto itu akan terjadi dalam waktu dekat atau pada waktu yang akan datang. Aku hanya bisa berdoa pada yang Kuasa, sebagai bentuk tolak balak atas sumpah jenengan pada seluruh keturunanku, semoga di manapun mereka berada, kelak di manapun anak turunku berada, kapan pun sumpah itu terwujud, mereka selalu mendapatkan perlindungan serta mendapatkan keberuntungan yang tak ternilai dari Tuhan. Semoga mereka tetap senantiasa diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menjalani semua cobaan dalam alur kehidupan yang mereka jalani."
Air mata terlihat berderai di kedua pipi Soelastri.
"Saya terima semua ini dengan hati yang ikhlas pak dhe. Terima kasih karena panjenengan sudah memberikan sumpah ini pada saya. Saya hanya berdoa, semoga Jenengan dan anak keturunan Jenengan tidak merasakan apa yang saya dan anak turun saya rasakan kelak."
Pak dhe soelastri menatap keponakannya dengan tatapan tajam dan menyeringai seakan
ingin menerkam perempuan tersebut.
"Hahaha. Kamu pengen tahu Soelastri. Aku sangat benci dengan seluruh keluargamu terutama bapakmu. Soeharso. Rasa sakit ini begitu membuncah karena mengetahui kalian lebih beruntung daripada aku. mengapa bukan aku yang beruntung di hidup ini? Kali ini, seakan semua dendamku terbalaskan lewat dirimu dan keturunanmu. Aku ingin kalian merasakan semua sumpah yang telah kuucapkan. Setelah hari bahagiamu ini, bersiaplah untuk menangisi semua keturunanmu satu per satu. Terutama keturunan perempuan paling sial yang telah kusebutkan itu. Lelaki mana yang mau menerima bekas jamahan pria lain. Mau melihat saja, sudah jijik duluan," sarkas pak Dhe Lastri sembari berjalan dengan petenteng meninggalkan rumah Raden mas Demang beserta para komplotannya.
Suara para tamu undangan mulai berbisik memenuhi ruangan. Ada yang mencemooh, tak sedikit pula yang membela. Raden mas Demang hanya menatap ke segala penjuru arah. Hanya dengan sekali lihat saja, para tetamu sudah tahu dengam apa yang diinginkan oleh Raden. Suara sumbang berangsur hilang hingga tidak terdengar lagi di telinganya. Seakan memahami maksud sang pemilik rumah, para tamu undangan mulai diam dan melakukan kegiatan seperti sebelumnya. Ada yang sedang menyantap makanan, melayani para tamu dan lain sebagainya.
Raden soemitro tidak memperdulikan keadaan dirinya dengan baju yang begitu lusuh terkena tanah saat ia terduduk lemas. setelah dirasa tubuhnya lemasnya sedikit mereda, Raden Soemitro menghampiri Lastri yang tengah terduduk dengan lemah lunglai di tanah seakan ia tak memiliki tenaga sama sekali saat ini. Ia terlihat duduk bersimpuh di samping lastri dan berusaha menenangkan calon istrinya agar hati perempuan itu sedikit tenang.
"Dik Lastri," sapa raden dengan suara perlahan dan lembut.
Lastri menoleh ke arah calon suaminya sejenak. Pipi yang penuh air mata tak mampu menyembunyikan rona semburat merah karena perasaan cinta pada lelaki yang tengah berada disampingnya tersebut. Ia berusaha mengalihkan wajah ke arah lain untuk mengusap guliran air mata yang menetes di pipi. Praktis saja make up sederhana dari bedak bengkuang tersapu dengan sapu tangan meninggalkan wajah asli Lastri yang berkulit kuning langsat.