Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Setelah dari perpustakaan lama, Helena meminta Alina untuk mengantarkannya ke rumah keluarga Biancardi. Selain ingin mengunjungi ibunya, ia juga ingin menyelidiki kamar Amara.
"Terimakasih sudah mengantarku, Lin," ucap Helena sebelum turun dari mobil Alina.
"Sama-sama. Masuklah, semoga kau menemukan sesuatu sebagai petunjuk." Kata Alina mengharapkan segala sesuatunya berjalan mudah bagi sahabatnya.
Helena mengangguk lalu turun dari mobil Alina. Gerbang rumah besar itu menyambutnya, dingin dan asing ~ karena rumah ini tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. Ia tidak memiliki tempat disini selain sebagai bayangan yang akan digunakan sebagai rencana cadangan.
"Mama dimana bi?" Tanya Helena bertemu salah satu pembantu rumah tangga di dekat pintu utama.
"Nona muda, anda pulang?" Bibi Chou, perempuan keturunan Jepang itu senang melihat Helena datang. Dia menghentikan kegiatannya dan menghampiri Helena. "Nyonya ada di kamar Nona Amara,"
Kamar Amara? Apakah ibunya juga berusaha mencari petunjuk tentang kakaknya?
"Oh yaudah, makasih ya." Helena tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam dan langsung naik ke lantai dua.
Begitu masuk, suasana rumah tampak sepi, terlalu sepi untuk sebuah sore yang biasanya dipenuhi suara ibunya yang menonton televisi. Helena menapaki anak tangga, menuju lantai atas dengan tujuan yang jelas, kamar Amara.
Tangannya bergetar ketika menyentuh pegangan kayu yang dingin. Setiap langkah terasa semakin menekan dadanya. Sesaat sebelum sampai, ia melihat pintu kamar Amara yang tidak tertutup rapat. Dari celah itu, ia berniat melangkah masuk, namun langkahnya terhenti.
Suara keras terdengar dari dalam kamar tersebut.
"... Siapa yang menyebarkan rumor itu? Bagaimana kalau Lucian atau Helena tahu?"
Itu suara ibunya yang berbicara dengan nada tinggi. Helena menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, jantung berdegup kencang. Sama siapa ibunya berbicara? Ibunya menyebut Amara?
'jangan-jangan ibu sebenarnya tahu kemana Amara pergi?' bisik hati Helena.
"Sayang, rumor itu menyebar begitu saja. Aku sudah mencari tahu siapa yang menyebarkannya dan-"
"Jangan bilang kau tidak berhasil menemukan bajingan yang menyebarkan rumor sialan itu, Erick!!!"
Helena terlonjak kaget mendengar teriakan marah ibunya.
"Tenang, kau harus tenang,"
Helena menempelkan punggungnya ke dinding, mencoba menahan napas agar tidak menimbulkan suara. Dari dalam kamar Amara, suara ibunya meninggi, nyaris pecah.
"Bagaimana aku bisa tenang. Mereka menyebarkan rumor palsu sementara Amara tidak akan pernah kembali!"
Kalimat itu menghantam telinga Helena bagaikan palu. Dadanya bergemuruh, otaknya berputar cepat. Amara… tidak akan kembali? Apa maksudnya?
Amarah dan ketakutan bercampur, membuat langkahnya tak lagi bisa ditahan. Dengan keberanian yang ia punya, Helena menerobos pintu kamar Amara yang setengah terbuka, menyalak ke arah suara orang tuanya..
“Apa maksud Mama barusan?!” teriaknya dengan nada bergetar, matanya berkaca-kaca.
Suara pertengkaran langsung terhenti. Helena bisa melihat ayahnya berdiri kaku, sementara ibunya menatap dengan wajah pucat seperti baru saja menyadari sesuatu yang seharusnya tidak terdengar.
“Mama…” suara Helena melemah, tapi penuh luka. “Kenapa Mama bilang Amara tidak akan kembali? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan dariku?”
"Oh, Helena, kau datang? Mana suamimu?" Tanya Ibunya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Apa maksud mama? Amara tidak akan kembali?" Helena mengulang pertanyaannya berharap mendapatkan sebuah jawaban dan bukan kebisuan dari orang tuanya.
"Helena," Ayahnya tercekat, wajahnya sedikit pucat. Sementara ibunya bungkam sambil berusaha menyembunyikan kegelisahan.
"Mama, papa, kemana Amara pergi? Kenapa dia tidak akan kembali?" Helena mengulang pertanyaannya, kali ini lebih menuntut.
"Helena, kau salah dengar. Tidak ada yang membicarakan Amara." Kata ayahnya tegas.
Sebuah keheningan mencekam turun seketika. Hanya suara detak jam tua di diatas meja yang terdengar, mengisi celah di antara mereka.
Ibunya memalingkan wajah, seakan menolak bertemu dengan sorot mata Helena yang penuh luka. Napasnya masih tersengal karena emosi, tapi kali ini nada suaranya terdengar tergesa, nyaris panik.
“Kau salah dengar, Helena,” ucapnya cepat, berusaha terdengar tegas tapi justru terdengar bergetar. “Mama tidak bilang begitu. Kau pasti salah tangkap.”
Helena melangkah lebih dekat, matanya membara. “Salah dengar? Mama baru saja bilang Amara tidak akan kembali! Aku dengar jelas!”
Ibunya menggeleng dengan keras, lalu menoleh sekilas ke arah suaminya, seakan meminta pertolongan. Ayah Helena hanya berdiri kaku, wajahnya muram, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
“Helena, sudah… jangan dibesar-besarkan,” potong ibunya lagi, kali ini dengan nada lebih dingin, mencoba menguasai diri. “Kamu terlalu lelah, mungkin telingamu~”
“Jangan bohongi aku, Ma!” Helena memotong dengan suara lantang, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. “Aku berhak tahu kebenarannya!”
Keheningan kembali menyelimuti kamar itu. Sang ayah akhirnya menundukkan kepala, tetapi tak juga mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya ibunya yang berdiri tegak, wajahnya keras, meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa Helena artikan.
Helena berdiri di hadapan mereka, tubuhnya bergetar menahan emosi. Air mata yang jatuh di pipinya bukan hanya karena sedih, tapi juga karena marah.
“Cukup sudah!” serunya dengan suara bergetar. “Jangan lagi kalian anggap aku anak kecil yang bisa dibohongi dengan kata-kata kosong! Aku sudah kehilangan Amara, dan aku tidak akan diam kalau kalian masih menyembunyikan sesuatu tentang dia!”
Mata ibunya berkilat, entah karena amarah atau mungkin karena takut. “Helena, tolong… jangan paksa Mama. Ada hal-hal yang lebih baik kalau kamu tidak tahu.”
Helena menggeleng dengan keras, suaranya meninggi. “Tidak! Aku harus tahu! Kalau kalian benar-benar peduli sama aku, katakan sekarang juga! Apa maksud Mama bilang Amara tidak akan kembali? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”
Ayahnya akhirnya mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh dilema. Ia melangkah maju, mencoba meraih tangan Helena, tapi Helena mundur selangkah, menatapnya dengan penuh kekecewaan.
“Papa…” suaranya pecah. “Kalau Mama tidak mau jujur, setidaknya Papa jangan diam. Aku butuh jawaban!”
Ruangan terasa semakin sempit, udara seakan menekan. Ibunya menggenggam erat sisi meja, wajahnya kaku menahan kata-kata, sementara ayahnya menatap putrinya lama.
Helena sadar Hari ini, kedua orang tuanya tidak sedingin biasanya. Mereka tampak rapuh dan itu lebih manusiawi.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...
hemmm biar aman bayar bodyguard ajaa hel
nextttt thor
makin seru dan menegangkan eyyy