"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Malam itu. Malam di mana Aira, Yumna, dan Dira usai menyaksikan acara Talk Show di Jaya Tv.
Dira masih berdiri menyandar di samping mobil. Seluruh pandangannya bertumpu pada mobil palisade hitam milik Zian yang meninggalkan halaman Jaya Tv dengan membawa Yumna dan Aira di dalamnya.
Aga sudah membuka pintu mobil untuk sang nona. Tapi, Dira masih berdiri diam saja enggan beranjak dari tempatnya.
Lelaki itu pun menutup kembali pintu mobil, dan berdiri tak jauh di samping Dira.
"Mau nyusul mereka?"
"Siapa?" Dira menolah pada Aga. Dilihat dari samping seperti itu, wajah tampan Aga terlihat makin sempurna.
"Mbak Aira, dan mbak Yumna."
Dira menggeleng.
"Gak. Mereka udah pulang."
"Kita juga pulang. Pak Firman sudah menunggu." Aga menatap Dira seiring kalimat tegas yang diucapkannya.
Dira terdiam. Sepasang matanya berkedip pelan. "Jika tidak pulang sekarang?"
"Harus pulang sekarang," tegas Aga.
"Kamu takut dipecat ayah?" tukas Dira dengan sedikit mencibir.
"Tidak." Aga menggeleng singkat.
"Aku hanya takut tidak bisa menjalankan amanah."
"Segitunya." Dira terlihat tidak begitu suka. Atau mungkin tidak begitu percaya.
"Pak Firman mempercayakan kamu padaku. Sebisa mungkin aku harus menjaga kepercayaannya. Mendapatkan kepercayaan dari orang lain itu tidak mudah. Tapi, menjaga kepercayaan itu jauh lebih susah."
Dira mengedikkan bahunya santai.
"Saat masih kuliah. Sepertinya kamu bukan tukang khutbah. Sejak kapan alih profesi?" Dira membawa pertanyaannya sambil melangkah masuk ke dalam mobil.
Aga menarik napas pelan, lalu sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.
Mobil melaju perlahan membawa dua orang yang saling diam.
Dira memilih duduk di kabin penumpang bagian belakang. Sedangkan Aga duduk tenang di balik kemudi mobil dan fokus menatap jalanan.
Meski Dira sibuk memainkan ponsel selama perjalanan, nyatanya ia cukup memerhatikan arah. Saat hampir tiba di persimpangan gadis itu menginstruksikan, "Depan, belok kanan!"
"Itu bukan arah jalan pulang." Aga terdengar enggan.
"Iya emang. Aku belum mau pulang. Masih ada urusan yang harus kuselesaikan."
"Tapi--"
"Di sini yang berhak memberi perintah siapa?" Dira menggunakan otoritasnya sebagai majikan pada Aga.
Aga mengangguk tanpa disertai sepatah kata. Di persimpangan yang dimaksud, ia memilih arah sesuai yang diinginkan Dira.
Di jalan itu sekian kM sudah yang ditempuh, tapi Dira belum memberi aba-aba untuk berhenti. Hingga
"Ini mau kemana?"
"Gak tau," sahut Dira acuh dan sekenanya.
"Dira." Aga menoleh menatap gadis yang duduk manis di belakangnya.
"Berhenti di sini aja." Spontan Dira memberi perintah saat melihat sebuah kursi di pinggir jalan yang di kanan kirinya terdapat pohon-pohon besar yang rindang.
Patuh, Aga menepikan mobil dan berhenti. Dira segera turun dan melangkah ke kursi kayu di tepi jalan, lalu duduk. Tak lama Aga menyusulnya, namun hanya berdiri saja tak jauh di samping Dira.
"Nunggu apa?"
"Nunggu ayah merubah keputusan," sahut Dira. Terdengar ia menghela napas pelan.
"Kamu tau, malam ini ayah mau mengenalkanku pada laki-laki itu." Dira mulai membuka cerita pada Aga. Ada rasa percaya yang hadir tanpa dipinta untuk lelaki yang berperan sebagai supirnya itu.
"Laki-laki siapa?"
"Yang katanya mau dijodohkan denganku. Sekarang ia pasti sudah di rumah. Jadi aku gak akan pulang, sampai orang itu pergi dari rumahku."
"Kalau kamu memang tidak mau dijodohkan, kenapa tidak bicara jujur saja pada pak Firman?"
"Jika ayahku mau mendengar, jika tidak?"
"Selama aku kenal pak Firman, beliau bukan orang yang otoriter. Malah putrinya yang lebih otoriter," kata Aga dengan nada datar.
"Kau menyindirku, Aga?" Dira memberi tatapan tajam pada pria tampan yang berdiri tak jauh di sampingnya itu.
Aga Hanya menggeleng singkat, dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Bersamaan itu pula, ponsel yang bertahta indah di saku kemeja Aga menunjukkan intensitasnya. Nada lembut menyeruak di antara hening sesaat yang tercipta di antara mereka.
"Telpon dari ayahmu."
"Jangan angkat!" cegah Dira cepat.
Aga menggeleng, menurutnya telepon dari pak Firman itu wajib dijawab.
"Aku gak bisa mengabaikan telepon ayahmu."
"Baik." Dira sedikit mendengkus kesal.
"Kalau ayah tanya aku, bilang aja kamu gak tau."
Kali inipun Aga menggeleng.
"Aku harus jujur," ucapnya.
"Aga. Bantu aku saat ini saja. Aku mohon." Dira memasang raut wajah memelas, berharap supir tampannya itu memahami situasinya saat ini.
Aga diam. Mungkin sudah mulai terpengaruh. Tersentuh dengan tampang menghiba yang disodorkan Dira. Tapi,
"Aku mau membantumu dalam hal apapun, tapi tidak untuk berbohong pada orang tua."
"Tsk." Dira berdecak kesal. Tapi itu tak menyurutkan niat Aga untuk menerima telepon dari pak Firman.
Lelaki itu berdiri menyisih saat bicara dengan ayah Dira. Sementara si gadis manis memerhatikan dengan seksama, berharap dapat mendengar apa yang diperbincangkan Aga dengan ayahnya.
Sayangnya, jarak menghalangi kekuatan indera pendengaran Dira.
Tak lama Aga kembali ke samping Dira, dan langsung berkata,
"Kita pulang. Sebentar lagi mau hujan."
Dira bergeming. Memang sudah mulai terasa jatuhnya titik-titik bening. Namun, Dira enggan beranjak dari tempat duduknya.
"Aku akan bantu kamu untuk bicara dengan pak Firman, jika kamu memang gak mau dijodohkan." Aga berkata dengan suara yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
"Aku bukannya gak bisa bicara dengan ayah tentang itu, Aga. Tapi ayah pasti minta alasan kenapa aku menolak dijodohkan." Dira menatap Aga dengan raut serius.
"Kamu pasti sudah punya alasannya 'kan? Tinggal sampaikan aja itu pada pak Firman," saran Aga, dan itu benar. Mudah saja kedengarannya. Tapi Dira merasa itu cukup memberatkan.
"Aku udah menyukai orang lain. Itu alasanku."
"Ya udah. Tinggal itu aja yang disampaikan. Kalau kamu gak berani, aku yang akan ngasih tau pak Firman." Aga terlihat serius ingin membantu. Tapi.
"Bukan gak berani."
"Trus?"
"Ayah pasti akan minta dipertemukan dengan orang yang kusukai. Dan itu yang aku gak bisa." Kali ini Dira berkata dengan suara sedikit pelan, dan kepala yang menunduk.
"Orang yang kamu sukai itu ada di dunia ini? Bukan berasal dari alam ghaib 'kan? Tentu bisa dipertemukan dengan pak Firman."
"Bukan begitu Aga. Tapi, karena--"
"Karena?" Aga menanti jawaban Dira lebih lanjut. Namun si gadis manis itu sudah menutup mulut.
Untaian kalimat selanjutnya hanya terucap dalam hati Dira saja. Karena dia bahkan tidak tahu kalau aku suka. Ah berat.
Sadar kalau Dira enggan menjawab, Aga tak memaksa. Ia tengadahkan pandangan ke atas. Ke arah datangnya titik gerimis yang semakin besar, dan kini sudah berganti nama menjadi hujan.
"Hujan. Kita pulang sekarang." Aga coba membujuk Dira sekali lagi. Meski tidak dengan bahasa yang terdengar manis, tapi raut khawatir terpancar di tatap mata lelaki itu untuk sang nona.
Hasilnya tetap sama dengan yang pertama, Dira enggan beranjak dari duduknya. Kebingungan dan kekhawatiran masih membelit jiwa. Abaikan kehadiran titik-titik hujan yang menyerang bersama-sama.
Aga hanya bisa menghela napas samar, lalu berbalik badan menuju ke mobil. Mungkin ia ingin berteduh dari hujan di sana. Membiarkan Dira sendirian saja tetap di posisi semula.
Siapa suruh hujan-hujanan.
Ternyata, Ghailan Arya tidak setega itu. Ia keluar lagi dari mobil menghampiri Dira dengan membawa payung. Dibentangkannya payung bermotif pelangi itu untuk melindungi Dira dari hujan, dan membiarkan tubuhnya sendiri kebasahan.
Dira terdongak menatap posisi mereka berdua saat ini. Ia bisa saja meminta Aga duduk di dekatnya, dan berlindung di bawah satu payung berdua. Tapi, tidak. Hati Dira menolak. Nanti malah terlihat romantis, seperti dua orang yang sedang pacaran.
Tanpa Dira sadari, posisinya saat ini bersama Aga bahkan jauh lebih romantis dari definisi romantisme dua orang yang dimabuk asmara.
Coba dibayangkan saja, atau mungkin ada yang mau memvisualisasikan.
Narasinya begini.
Seorang gadis duduk terdiam di tengah hujan, lalu lelaki itu datang membentangkan payung untuknya. Ia sendiri tetap berdiri, basah kuyup, seolah rela menukar hangat demi menjaga sebuah amanah terindah yang dititipkan kepadanya.
Ahayy..sangat manis bukan.
Bahkan Zian Ali Faradis yang melihat penampakan aestetik itu sampai menepikan mobilnya, dan berhenti. Lelaki tampan itu turun lalu menghampiri Aga dan Dira yang saat ini tengah dalam suasana canggung dalam diam, atau justru bahagia dalam senyap.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat