Nabila Fatma Abdillah yang baru saja kehilangan bayinya, mendapat kekerasan fisik dari suaminya, Aryo. Pasalnya, bayi mereka meninggal di rumah sakit dan Aryo tidak punya uang untuk menembusnya. Untung saja Muhamad Hextor Ibarez datang menolong.
Hextor bersedia menolong dengan syarat, Nabila mau jadi ibu ASI bagi anak semata wayangnya, Enzo, yang masih bayi karena kehilangan ibunya akibat kecelakaan. Baby Enzo hanya ingin ASI eksklusif.
Namun ternyata, Hextor bukanlah orang biasa. Selain miliarder, ia juga seorang mafia yang sengaja menyembunyikan identitasnya. Istrinya pun meninggal bukan karena kecelakaan biasa.
Berawal dari saling menyembuhkan luka akibat kehilangan orang tercinta, mereka kian dekat satu sama lain. Akankah cinta terlarang tumbuh di antara Nabila yang penyayang dengan Hextor, mafia mesum sekaligus pria tampan penuh pesona ini? Lalu, siapakah dalang di balik pembunuhan istri Hextor, yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Izin
Namun, Nabila ingat bahwa ia ingin melihat nama vila itu. "Eh, tapi, Pak. Saya cuma mau lihat nama vilanya aja."
"Untuk apa?" Hextor bertanya saat sudah di dalam rumah dan menutup pintu. Ia menatap wanita yang cukup mungil menurutnya itu, karena dirinya bertinggi 179 sentimeter.
"Oh, mungkin Bapak bisa kasih tau nama vila ini? Suami Saya mau datang ke sini."
"Apa!?" Rasa kesal pria itu yang sudah reda, kini bangkit kembali. Seketika ia geram dengan merapatkan giginya kuat-kuat. "Siapa yang mengizinkan orang itu datang kemari!?"
"Suami Saya ingin ketemu Bapak," sahut Nabila dengan polosnya.
"Untuk apa?" Hextor berusaha menekan nada suaranya, tapi tatapan matanya malah tajam pada Nabila.
"Dia ingin minta gajiku, Pak."
"Gaji apa? Kamu 'kan baru sebulan denganku. Uang yang kuberikan adalah gaji yang dibayar di muka. Jadi, gaji berikutnya adalah bulan depan."
Nabila tampak bersedih. Berarti suaminya tak bisa datang. "Apa ... Bapak tidak bisa pinjamkan uang, barang sedikit saja? Suami Saya sedang kehabisan uang, Pak."
"Memangnya suamimu tidak bekerja? Dia tidak punya tanggungan lagi di rumah, 'kan?"
Nabila menggeleng. "Suami Saya buruh serabutan. Kadang gak dapat kerjaan, mau makan apa? Kasihan, Pak. Sedang sehari-hari aku bantu dia dengan jadi buruh nyuci, baru dia bisa makan."
"Apa? Jadi Nabila ini tulang punggung? Bisa-bisanya dia begitu superior dengan istrinya seolah ia adalah seorang raja. Hh ... ternyata makan pun istrinya yang carikan. Benar-benar pria berenggsek!" Namun, Hextor tak bisa ikut campur urusan rumah tangga Nabila, segeram apa pun ia pada suami wanita ini. "Ya sudah. Aku pinjamkan saja. Sejuta, cukup, 'kan? Biar aku transfer saja." Ia mengangkat ponsel yang sedari tadi dipegangnya.
"Suami Saya tidak punya rekening di bank. Makanya dia mau ambil ke sini."
"Hh ... pria ini benar-benar menyusahkan!" Namun, Hextor berusaha mengelola emosinya. "Tidak bisakah dia menunggu sampai kita kembali ke rumah?"
"Kapan?" tanya Nabila dengan wajah lugu.
"AKU SEDANG BERISTIRAHAT DI SINI, NABILA! AKU TIDAK MAU DIGANGGU!" Akhirnya meledak juga kemarahan Hextor.
Seketika Nabila menunduk. "Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Enzo dalam gendongan pun menangis. Nabila berusaha menenangkan dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Cup-cup, Enzo. Kita ke kamar ya." Ia menyeka matanya. Ternyata Nabila menangis. Ia segera pergi mendatangi tangga.
Kepala Hextor terasa pusing. Kenapa pula ia menumpahkan kemarahan pada Nabila? Nabila hanya menyampaikan apa yang diminta suaminya. Nabila itu hanya korban. Korban penindasan suaminya sendiri. Seharusnya pria itu jadi tempat berlindungnya, tapi semua dikerjakan Nabila buat suaminya. Sebegitu cintakah Nabila pada suaminya? Padahal jelas-jelas Aryo sering merendahkan istrinya di tempat umum. Kenapa Nabila bisa secinta itu pada pria berenggsek ini!? Kenapa?
Hextor seketika sadar ia tengah menelepon Arman. Pasti Arman sudah mendengar semua pembicaraannya dengan Nabila karena ia lupa menutup telepon. Kembali ia meletakkan ponsel itu di telinga. "Arman. Besok jemput saja sepupuku di bandara dan langsung bawa ke sini. Dia tidak tahu alamat vila ini."
"Baik, Tuan."
Setelah menutup sambungan telepon, ia segera naik ke lantai atas. Di depan pintu kamar Nabila, Hextor malah tampak kebingungan. Namun, tak lama, ia mengetuk pintu dan mengintip masuk.
"Pak, jangan masuk!"
Hextor sempat melihat, Nabila duduk di tepi ranjang membelakangi pintu. Sepertinya tengah menyussui hingga pria itu mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. "Eh, Nabila. Bisakah kamu turun setelah menyussui Enzo? Aku ingin bicara." Suaranya terdengar begitu tenang.
"Iya." Suara Nabila terdengar serak.
Baru kali ini Hextor merasa bersalah. Seumur hidup ia belum pernah mengasari wanita yang tak punya salah. Apalagi ucapannya juga sempat membuat Enzo terkejut dan menangis. Ia sungguh sangat menyesal.
Biasanya ia bisa mengontrol dirinya dengan baik. Entah kenapa, setiap bicara dengan Nabila, ia seringkali tidak bisa mengontrol diri. Ada apa dengan diri ini? Apakah karena ia masih berkabung kehilangan Helena? Padahal sudah beberapa minggu berlalu dan ia sudah belajar mengikhlaskan. Apa itu saja belum cukup?
Hextor melangkah gontai menuruni tangga. Mungkin keputusannya untuk pulang, terlampau cepat. Namun, ia tak bisa meninggalkan Enzo sendiri terlalu lama. Bisa-bisa Enzo tak mengenal dirinya lagi saat bertemu.
***
Nabila duduk di sofa menghadap Hextor. Wajahnya masih menunduk membuat pria itu iba.
"Besok aku ada tamu, jadi aku tidak mau diganggu," ucap Hextor dengan nada rendah. "Karena itu, usahakan suamimu datang sore."
Nabila mengangkat kepalanya dengan wajah terkejut. "Jadi suami Saya boleh datang, Pak?"
"Nanti aku kirimkan alamatnya ke hapemu."
"Terima kasih, Pak." Nabila mulai tersenyum.
"Oya, jangan pernah bawa Enzo keluar tanpa izinku."
"Iya, Pak." Nabila mengangguk patuh.
"Dan suamimu tidak boleh menginap di sini." Kini Hextor bicara tegas.
"Iya." Nabila menghela napas lega. Ini hal yang sangat dinantikannya, bertemu suami tercinta.
***
Hextor menatap ponselnya. Ia masih bimbang, tapi mau sampai kapan? Sudah saatnya ia berhenti ragu. Ia harus melihat video itu.
Dengan nekat, Hextor membuka video yang dikirim Arman. Sebentar ia melihat video itu dan seketika ia mengerut dahi dengan apa yang dilihatnya.
Video itu mengambil gambar suasana di sebuah restoran yang dinding bagian luarnya dari kaca tebal yang menghadap ke jalan. Yang mengambil video sepertinya sedang makan dengan pacarnya dan kebetulan restoran itu sedang sepi. Saat yang mengambil gambar berbicara dengan pacarnya, kameranya menghadap ke jalan raya dan saat itu jalanan juga sepi sampai sebuah sedan mewah berwarna abu-abu melintas dan sebuah mobil dari arah berbeda melaju kencang menabrak mobil itu. Bunyinya sangat keras hingga sedan berwarna abu-abu itu remuk dari samping.
Hextor bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam hingga tak sadar air matanya jatuh. Ia hampir gilla. Mobil yang entah dari mana, menabrak mobil istrinya dengan sangat keras dan setelahnya mobil itu kabur. Padahal bagian depan mobil itu sudah rusak parah.
Yang mengambil video pun terkejut karena pecahan kaca ada terpental dan merusak dinding kaca restoran itu. Pegawai restoran pun keluar dan pemilik video segera mematikan kameranya.
Hextor masih menatap nanar ponselnya. Siapa yang dengan tega menyusun rencana sejahat ini? Ini sebuah kasus pembunnuhan yang sangat rapi. Kalau orang awam akan menganggapnya ini kecelakaan tabrak lari biasa, tapi ini sungguh pembunnuhan terencana. Lalu siapa sebenarnya yang ingin melenyapkan nyawa Helena?
Pelan-pelan rasa sakit itu mulai menumpuk hingga menjadi dendam. Mulai malam ini, Hextor mungkin akan kesulitan tidur lagi, tapi tidak mengapa. Ia kini punya alasan baru untuk tidak mudah tidur. Bukan karena kehilangan Helena tapi karena ingin menghancurkan sang pembunnuh. Entah dengan cara apa.
***
Pria itu menikmati duduk-duduk di taman belakang menikmati pemandangan. Sebuah kolam renang yang di kelilingi taman yang luas. Tempatnya sedikit agak jauh dari vila. "Well-well-well, pemandangannya indah juga. Udaranya pun sejuk," ujar pria berwajah sedikit berbeda dari Hextor. Wajah Hextor campuran Itali, Indonesia dan Turki sedangkan Emir berwajah Rusia, Itali dan Turki. Emir memang sepupu dari keluarga ayahnya, Hugo dan kini menetap di Serbia dan menjadi jenderal di sana. Pemerintah Serbia memang membeli senjata dari perusahaan Hextor dan sudah menjadi pelanggan tetapnya.
Bersambung ....
❤❤❤❤❤
kalo suka bilang aja...
keburu diambil sergi..