Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Matahari baru saja merambat naik ketika Aruna membuka matanya. Kamar masih terasa redup, tirai belum sepenuhnya dibuka. Ia menghela napas panjang, merasakan tubuhnya lelah meski baru saja tidur. Malam tadi ia kembali sulit memejamkan mata. Bayangan Arkan terus menghantui pikirannya, kata-kata dingin yang keluar dari bibir pria itu masih jelas terngiang.
Ia duduk perlahan di tepi ranjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, kantung mata menghitam, bibir kering. Rambutnya berantakan, tak seindah gaun putih yang semalam ia kenakan. Gaun itu memang membuatnya tampak berbeda, tapi rasa asing di dadanya belum juga hilang.
Tok... tok... tok...
“Na, bangun sudah? Jangan lama-lama di kamar. Banyak yang harus kita bicarakan hari ini.” Suara Mama terdengar jelas dari balik pintu.
Aruna menutup mata, menarik napas panjang. “I-iya, Ma. Sebentar.”
Dengan langkah berat ia menuju kamar mandi, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Ia berharap air itu mampu menyapu bersih rasa sesak di dadanya. Namun setelah berganti pakaian sederhana, rasa itu tetap melekat.
Di meja makan, Mama sudah duduk dengan beberapa map berisi contoh undangan, dekorasi, dan daftar vendor. Papa sibuk membaca koran, tapi sesekali mengangguk mendengar ucapan istrinya.
“Na, ayo makan cepat. Setelah ini kita harus ke rumah keluarga Dirgantara lagi. Mereka ingin memastikan soal undangan dan lokasi resepsi,” ujar Mama tanpa menatapnya.
Aruna hanya mengambil sepotong roti, mengunyahnya pelan. Setiap suap terasa hambar.
“Jangan bengong. Kamu harus ikut mendengar. Bagaimanapun juga, ini pernikahanmu,” Mama kembali bersuara, kali ini lebih tegas.
Aruna menahan diri untuk tidak menjawab. Kalau ia berkata sesuatu, ia tahu hanya akan memicu pertengkaran.
Pukul sepuluh pagi, mobil keluarga sudah meluncur menuju rumah besar keluarga Dirgantara. Aruna duduk di jok belakang, menatap keluar jendela. Jalan raya yang ramai justru membuatnya merasa semakin sendiri.
Sesampainya di halaman megah itu, pintu pagar terbuka, menyambut mereka masuk. Aruna merasa tubuhnya kaku, seperti boneka yang dipaksa bergerak.
Begitu pintu rumah terbuka, aroma harum bunga mawar langsung menyambut. Ibu Dirgantara dengan senyum hangat menyambut kedatangan mereka.
“Selamat datang lagi. Mari kita bahas lebih detail soal undangan dan lokasi. Kita harus cepat supaya semua berjalan lancar,” katanya ramah.
Aruna menunduk sopan, lalu mengikuti langkah Mama menuju ruang tamu.
Ruang tamu kembali dipenuhi dengan berkas-berkas. Desain undangan berwarna emas, sketsa dekorasi dengan tema putih, bahkan katalog makanan. Mama dan Ibu Dirgantara sibuk berdiskusi, sesekali meminta pendapat Papa.
Aruna duduk di sofa, pandangannya kosong. Ia seperti tidak ada di sana. Hingga suara langkah berat terdengar. Aruna menoleh.
Arkan.
Pria itu muncul dengan kemeja biru tua, wajahnya tetap tenang dan dingin. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di kursi seberang Aruna. Tatapan matanya sempat singgah padanya, membuat Aruna buru-buru menunduk.
“Arkan, bagaimana menurutmu desain undangan ini?” tanya Ibu Dirgantara sambil menunjukkan satu contoh.
Arkan hanya melirik sebentar. “Sederhana. Bagus. Tidak berlebihan.”
Jawaban singkat itu membuat semua orang mengangguk.
Aruna menahan diri. Dalam hati, ia ingin sekali berkata, Kenapa kau bisa memutuskan dengan mudah, sementara aku bahkan tak bisa bernapas?
Diskusi berlangsung lama. Setiap kali orang tua mereka berbicara, Aruna hanya diam. Hingga akhirnya, Ibu Dirgantara menoleh padanya, “Aruna, sayang, kamu sendiri suka tema putih untuk dekorasi?” tanyanya lembut.
Aruna terperanjat. Semua mata kini menatapnya. Ia berusaha tersenyum tipis. “I-iya, Bu. Putih… indah.”
Senyum Ibu Dirgantara melebar. “Bagus. Jadi kita sepakat.”
Aruna menunduk lagi, seolah-olah dirinya benar-benar tidak bisa bernapas, tercekik oleh kenyataan pahit yang ia hadapi.
Menjelang siang, pembahasan selesai. Mereka diajak makan siang di ruang makan besar. Meja panjang dengan hidangan lengkap tersaji. Aroma ayam panggang dan sup jamur menguar, tapi selera Aruna hilang.
Ia duduk di samping Mama, berusaha makan perlahan. Sesekali ia mengangkat gelas, namun tangannya gemetar.
Arkan duduk di seberang. Ia makan dengan tenang, gerakannya rapi. Sesekali tatapannya terarah pada Aruna, membuat gadis itu makin gugup.
“Aruna, kamu nggak makan banyak?” tanya Ibu Dirgantara.
Aruna tersenyum kaku. “Sudah cukup, Bu.”
Arkan tiba-tiba menyodorkan piring berisi sayuran ke arahnya. “Makanlah. Wajah mu terlihat pucat.”
Aruna terdiam, wajahnya memanas. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Mama menatapnya tajam, seolah berkata. Jangan menolak.
Akhirnya ia mengambil sedikit sayuran dari piring itu. “Makasih.” Suaranya nyaris tak terdengar.
Setelah makan siang, suasana agak lebih santai. Mama dan Ibu Dirgantara masuk ke ruang kerja untuk membicarakan anggaran, sementara Papa berbincang dengan salah satu kerabat.
Aruna keluar sebentar ke halaman belakang, mencari udara segar. Taman rumah itu indah, dengan kolam kecil dan pohon-pohon rapi. Ia duduk di bangku kayu, menatap air yang beriak pelan.
Hatinya masih berat. Seandainya aku bisa pergi jauh dari semua ini.
Namun suara berat itu tiba-tiba terdengar dari belakang. “Kamu selalu terlihat ingin kabur.”
Aruna menoleh. Arkan berdiri beberapa langkah darinya, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tetap datar.
“A-aku hanya… ingin udara segar,” jawab Aruna terbata.
Arkan melangkah mendekat, lalu duduk di bangku sebelahnya. Untuk sesaat, keheningan menggantung.
“Kamu selalu diam di depan mereka,” kata Arkan pelan.
Aruna menunduk. “Aku… tidak tahu harus berkata apa.”
Arkan menatapnya. “Kalau kamu terus diam, orang akan mengira kamu lemah. Kamu mau dianggap begitu?”
Aruna terperanjat. Ia menoleh, menatap mata pria itu. Tatapan dingin, tapi entah kenapa ada sesuatu yang berbeda di baliknya.
“Aku… aku tidak lemah,” balasnya pelan.
Arkan hanya menatapnya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangan. “Buktikan.”
Kalimat itu membuat dada Aruna bergetar. Ia tidak tahu apa maksud Arkan, tapi nadanya terdengar seperti tantangan.
Sore hari, mereka bersiap pulang. Mama tampak puas dengan semua pembicaraan, Papa terlihat lega. Aruna berjalan paling belakang, seperti biasa.
Saat hendak masuk mobil, ia mendengar suara Arkan lagi.
“Aruna.”
Ia berhenti, menoleh.
Arkan berdiri di teras, menatapnya lurus. “Besok kita ada janji lagi. Aku akan menjemputmu, jangan membuat wajahmu menjadi pucat. Kamu harus belajar terlihat kuat.”
Aruna membuka mulut, ingin membalas, tapi suara Mama memanggilnya dari mobil. Akhirnya ia hanya mengangguk kecil, lalu masuk.
Sepanjang perjalanan pulang, kata-kata itu terus berputar di kepalanya. Jangan membuat wajahmu menjadi pucat. Kamu harus belajar terlihat kuat.
Malam itu, di kamarnya, Aruna duduk termenung. Ia menggenggam bantal, menatap kosong.
Ia masih membenci keadaan ini. Ia masih merasa terjebak. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang aneh—suara Arkan, tatapannya, kata-katanya—semuanya membuat dadanya berdebar dengan cara yang tidak ia pahami.
Air mata jatuh lagi, namun kali ini bercampur dengan rasa bingung.
Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan dia?