Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Chandra menyalakan mobilnya dengan kasar, gas diinjak dalam-dalam. Surat yang tadi dia terima, dia lempar ke meja masih terbayang di kepalanya. Rasanya dunianya akan runtuh. Seluruh harga dirinya, perusahaan yang dia banggakan, bisa hilang dalam sekejap hanya karena satu keputusan nekat Audy.
Tanpa pikir panjang, dia meluncur ke apartemen Jenny. Dia butuh pelarian, butuh sekutu, butuh seseorang yang bisa menguatkannya—walau dalam hati kecilnya dia juga tahu, Jenny bukanlah orang yang bisa dia andalkan di situasi seperti sekarang.
Sesampainya di depan pintu, Chandra mengetuk terburu-buru. “Jen! Buka pintunya, ini aku!”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Jenny muncul dengan wajah kusut, matanya lelah, rambut masih berantakan meski tubuhnya terbungkus daster sutra mahal. Ada keresahan tampak dalam sorot matanya—cemas, tertekan, tapi cepat-cepat ditutupinya dengan sikap sinis.
“Apa lagi sih, Mas? Jangan bikin ribut. Aku lagi nggak pengen diganggu.” Suaranya dingin.
Chandra langsung masuk tanpa izin, membuat Jenny mendengus kesal. “Aku butuh bantuanmu, Jen. Audy mau narik semua investasinya dari perusahaanku. Kalau beneran terjadi, bisa habis aku!” suara Chandra pecah, penuh panik.
Jenny melipat tangan di dada, menatapnya tanpa simpati. “Terus kenapa kamu kesini? Aku juga punya kehidupan sendiri, Mas. Bukan kerjaanku ngurusin semua masalah kamu.”
Chandra menoleh cepat, menatapnya dengan mata nyaris putus asa. “Kamu ngerti nggak, kalau masalah ini tuh nggak bisa diremehin! Semua yang aku bangun dari nol bisa ancur. Aku... aku bisa kehilangan segalanya. Kita bisa kehilangan segalanya!”
Jenny mendengus, menyandarkan tubuh di sofa. Baginya, masalah yang dia sembunyikan jauh lebih besar. Perutnya mendadak terasa mual lagi, bayangan test pack dengan garis dua tadi pagi masih segar di benaknya. Dia hamil. Dan yang paling parah, dia sama sekali tidak tahu siapa ayahnya. Padahal selama ini dia sudah cukup berhati-hati, tapi siapa yang mengira kalau dia bisa sampai kebobolan.
Dia menatap Chandra tajam. “Kita? Jangan bawa-bawa aku. Hidupku udah cukup ribet sekarang. Aku bukan tempat sampah buat masalahmu.”
Chandra mendekat, meraih tangannya. “Jen, kita ini kan satu tim. Kamu ngerti kan? Kita bisa cari cara, mungkin lewat koneksi kamu di sosmed, atau apa kek... asal aku nggak hancur, perusahaanku dipertaruhkan disini.”
Jenny langsung menepis tangannya dengan kasar. “Cukup, Mas! Aku juga punya masalahku sendiri. Jangan bikin aku tambah pusing?!” suaranya meninggi, hampir pecah.
Chandra terdiam, menatapnya heran. Ada sesuatu yang Jenny sembunyikan, dia bisa merasakannya. Tapi Jenny cepat-cepat memalingkan wajah, menahan gejolak dalam dirinya.
“Aku... aku lagi nggak bisa bantu kamu sekarang. Urus aja masalahmu sendiri,” katanya dingin, lalu beranjak ke kamar, menutup pintu keras-keras.
Chandra berdiri terpaku di ruang tamu, nafasnya memburu. Panik menyergap dirinya, bagaimana caranya agar perusahaannya bisa selamat.
Sementara di balik pintu kamar, Jenny terduduk di lantai, kedua tangannya menekan perutnya yang masih rata. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Belum lahir aja udah nyusahin, sialannnn!!!!” bisiknya lirih.
Saat ini, diantara mereka tersimpan rahasia besar yang mungkin bisa menghancurkan mereka satu sama lain, tapi keduanya justru sibuk berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri.
Secara perlahan, tanpa mereka sadari, jurang di antara mereka semakin dalam dan siap menelan keduanya sekaligus.
...***...
Chandra masuk ke kamar mandi Jenny, saat pandangannya tertumbuk pada sebuah benda kecil di keranjang sampah. Sebuah kotak test pack, dengan dua garis merah terpampang jelas di sana.
Chandra tertegun. Dunia seakan berhenti sejenak. Tangannya gemetar saat meraih benda itu, lalu suara Jenny terdengar dari kamar mandi. “Mas, kamu masih lama didalem—”
Suara Jenny mendadak tercekat saat melihat Chandra berdiri dengan wajah kaku, memegang test pack itu.
“Ini... apa, Jen?” suara Chandra berat, nyaris bergetar.
Jenny terdiam, seluruh wajahnya pucat. Ia ingin berbohong, ingin mencari alasan lain, tapi garis dua itu tak bisa disembunyikan lagi.
“Jangan bilang kalau kamu beneran hamil?” Chandra maju mendekat, matanya menatap Jenny tajam, penuh campuran panik dan amarah.
Jenny hanya bisa menunduk, bibirnya bergetar. “I-iya mas..." jawabnya lirih.
Chandra menghela napas panjang, lalu mendengus kasar sambil melempar test pack itu ke meja. “Kok bisa sih Jen?!” suaranya meninggi. “Kalau kamu emang beneran hamil, mending kamu gugurin secepatnya. Aku nggak siap buat jadi ayah di situasi kayak sekarang?!”
Jenny tersentak, hatinya seperti ditusuk. “Gugurin? Kamu nyuruh aku aborsi? Ini anak kamu loh mas”
“Ya terus kamu mau pertahanin? Kamu mau ngerawat bayi itu?.” Kata-kata itu meluncur begitu saja, dingin, tegas, tanpa keraguan.
Jenny membeku. Air matanya langsung menetes, Dia memang ingin melakukan hal yang dikatakan oleh Chandra tapi entah kenapa mendengar Chandra mengatakan hal itu membuat Jenny merasa sakit hati, kata-kata Chandra yang menusuk sampai ke tulang benar-benar sulit untuk dia percaya kalau Chandra akan mengusulkan untuk aborsi.
Di tak pernah mengira Chandra akan begitu kejam, bahkan tanpa memikirkan dampak yang akan diterima oleh Jenny.
“Mas...” suaranya bergetar, penuh luka. “Tanpa kamu bilang juga aku bakalan lakuin itu, kamu pikir aku mau karir aku hancur cuma gara-gara kehamilan ini?”
Chandra menatapnya dengan frustrasi, menarik rambutnya sendiri. “Bagus kalau gitu, kita nggak mau punya masalah baru kan sayang. Tenang aja, kita masih bisa bikin lagi nanti setelah kondisi kita udah stabil, kamu nggak keberatan kan?”
Jenny terisak, dia menatap Chandra dengan mata merah. “Aku paham maksudmu, kamu nggak perlu jelasin lagi. Kamu pikir aku bodoh?!”
“Bukan gitu maksudku—”
“Sudah, Mas!” Jenny berteriak, suaranya pecah. “Sekarang mending kamu pergi deh dari sini, aku lagi pengen sendirian. Aku capek!!”
Chandra memeluk Jenny, mencoba menenangkan wanita itu, walaupun dalam hati dia sedikit kesal, karena kehamilan Jenny benar-benar sesuatu yang sama sekali nggak dia perhitungkan sebelumnya.
Tapi yang penting sekarang bagi Chandra, Jenny setuju untuk menggugurkan bayinya, setidaknya masalah ini tidak akan berlarut-larut.
"Jenn, kamu tahu kan kalau kamu tuh orang yang paling penting buat aku. Aku janji, kalau aku bakalan bikin kamu bahagi, ini cuma sebagian kecil yang harus kita korbankan demi mencapai tujuan kita. Kamu paham kan?" Chandra mulai merayu Jenny dengan bujuk rayunya.
"Setelah semuanya selesai, aku mau kita menikah dan hidup bahagia. Aku sudah memproses gugatan cerai sama Audy. Selama 5 tahun kami menikah, dia sama sekali belum hamil, sementara kamu, kamu bisa hamil sama aku. Jadi udah jelas kan siapa yang pantas sama aku dibandingkan Audy?" kata-kata Chandra seperti madu ditelinga Jenny, manis tapi mematikan.
"Iya mas, pokoknya setelah semuanya selesai, kamu harus nikahin aku" kata Jenny menuntut.
"Iya sayang, kamu tenang aja ya. Sekarang kita istirahat aja dulu, malam ini, aku pengen dimanjain sama kamu" kecupan manis di kening Jenny, menutup drama pertengkaran mereka malam ini.
Chandra merasa dia sudah memegang kendali atas Jenny, sementara disisi lain, Jenny merasa sudah menang karena berhasil merebut suami kakak tirinya sendiri.
...****************...