Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Aku nggak... mandangin kok," aku membela diri pelan.
"Oh ya? Ya udahlah," jawab Rayza cuek banget.
Rayza balik lagi pura-pura aku nggak ada. Dia ngeluh pelan sambil ngetik cepat di ponselnya, wajahnya kenceng banget kayak lagi mikirin utang sejuta. Beberapa detik kemudian, ponselnya getar. Dia ngumpat pelan sebelum angkat telpon.
"Udah kubilang, aku nggak mau dateng!" suara Rayza agak tinggi.
Kayaknya dia nggak peduli aku dengerin. Tapi jujur, aku juga nggak ngerti dia ngomongin apa atau lagi ngobrol sama siapa.
"Ah, bodo amat... aku nggak peduli soal itu. Pokoknya aku nggak dateng," gerutunya di telepon, sambil ngedumel dan ngedip-ngedipin mata kayak lagi nahan emosi.
Setelah beberapa saat ada yang coba ngerayu dari seberang sana, Rayza akhirnya ngelus rambut pirangnya sambil narik napas panjang. Kelihatan banget dia bete, kesel, dan males banget.
Mungkin orang yang nelfon itu nyuruh dia ngelakuin hal yang nggak dia suka, atau disuruh ke tempat yang dia malesin banget.
"Oke. Kayaknya aku emang punya utang dulu sama kamu... Aku bantu kali ini," kata Rayza akhirnya, pasrah sambil ngelus dada.
Aku mendengar suara sorak-sorai dan tawa dari ujung telepon sebelum Rayza buru-buru menutupnya. Entah apa maksudnya, tapi seperti biasa, sepertinya bukan urusanku. Yang penting sekarang, harus segera cari ide hari ini harus melakukan sesuatu untuk Rayza, supaya bisa cepat selesai.
Tapi ngomong doang memang gampang. Nyatanya, nggak ada satu pun ide yang muncul di kepala. Cangkir teh pertama sudah habis, dan tetap saja otak terasa kosong. Aku mulai mengernyit, pandangan menyapu ke sekeliling ruangan, berharap ada inspirasi muncul tiba-tiba. Apa harus langsung tanya ke Rayza aja, maunya apa?
“Ganti baju. Ikut aku,” kata Rayza tiba-tiba dengan nada memerintah, sambil menatap untuk pertama kalinya sejak aku masuk ruangan.
"...Hah? Aku?" tanyaku bingung, sambil reflek menunjuk ke diri sendiri.
“Memangnya ada siapa lagi di sini?” balasnya dengan nada sinis.
Ya sih, emang cuma kami berdua di ruangan itu. Tapi bukan itu yang kumaksud. Dia serius ngajak aku? Tapi ke mana? Untuk apa? Aku terlalu bingung sampai nggak tahu harus jawab apa.
“Kita mau ke mana?” tanyaku lagi, masih berusaha memahami situasinya.
“Aku bilang, ganti baju,” ulang Rayza, kali ini terdengar makin nggak sabar.
“Ganti baju… maksudnya…” Aku melirik pakaian yang kupakai sekarang. Emangnya kenapa?
Apa dia mau mengajakku ke tempat yang mewah? Tempat yang butuh tampil rapi dan elegan? Kayaknya kaus dan celana jeans ini nggak cukup. Meski koleksi bajuku nggak banyak, seingatku ada satu-dua dress yang cukup layak.
Dengan langkah ragu, aku balik ke kamar dan mulai mencari pakaian yang kira-kira cocok. Setelah memilih-milih, akhirnya kuambil gaun selutut warna pink muda dengan motif bunga mawar. Satu-satunya yang terlihat paling “niat”.
“Udah selesai belum sih?!”
Suara Rayza terdengar keras dan jelas dari balik pintu, disertai bunyi ketukan yang kasar. Dia serius kayaknya. Seberapa cepat dia pikir aku bisa ganti baju?
“Hampir!” teriakku, berharap dia berhenti gedor.
Tapi bisa ditebak, Rayza nggak bakal berhenti. Seolah dia bakal terus gedor pintu sampai aku keluar juga. Aku buru-buru memasukkan tubuhku ke dalam dress itu dan menarik ritsleting belakang semampuku. Rayza masih ribut di luar. Kadang aku curiga dia punya obsesi aneh dengan waktu, atau mungkin memang dia dilahirkan dengan kesabaran yang sangat tipis.
Aku membuka pintu kamar begitu selesai berpakaian dan langsung berhadapan dengan Rayza, yang ternyata berdiri tepat di depan pintu. Begitu matanya menangkap penampilanku, dia langsung melongo.
Dia mundur beberapa langkah tanpa sepatah kata pun, matanya menatapku dari atas sampai bawah, seperti sedang menilai sesuatu yang luar biasa aneh—atau luar biasa bagus, aku juga nggak tahu. Lalu dia menutup mulutnya pakai tangan, menggeleng pelan sambil menatapku seolah baru melihat penampakan.
Aku berdiri di ambang pintu, bingung total.
“Rayza?” panggilku, berharap dapat sedikit kejelasan.
“…Sial,” gumamnya pelan, tapi cukup jelas kudengar.
“Umm… kenapa?” tanyaku, makin bingung dengan reaksi anehnya.
Dia tetap menatapku sambil mengeluarkan ponselnya. Saat mulai menelepon, tatapannya belum berpindah dariku sedikit pun. Tatapan itu bikin aku canggung setengah mati, seolah-olah aku memakai baju terbalik atau sesuatu yang lebih parah.
“Hei… aku bakal telat. Iya. Ya udah, tunggu aja sampai aku datang, oke?” katanya di telepon dengan nada cepat. Aku yakin, itu pasti orang yang sama yang tadi menghubunginya.
Begitu telepon ditutup, aku baru mau nanya maksud dari semua ini, tapi Rayza udah menelepon lagi. Aku hanya bisa berdiri di sana, makin bingung, sambil melihatnya menunggu sambungan tersambung.
“Ini aku. Aku bakal sampai sana dalam lima belas menit. Dan kali ini aku butuh yang biasa… enggak, maksudku, yang berkali-kali lipat dari biasanya,” katanya buru-buru.
Aku masih nggak tahu apa maksudnya. Suara dari ujung telepon nggak terdengar sama sekali. Aku mulai merasa seperti orang yang terseret ke tengah drama, tapi nggak dikasih skrip.
“Umm… serius, ada apa sebenarnya?” tanyaku ragu, nyaris setengah putus asa karena tidak ada penjelasan.
Rayza menatapku sebentar. “Ikut aku. Kita pergi sekarang,” katanya singkat, lalu langsung berbalik menuju pintu keluar penthouse.
“Kita mau ke mana?” Aku langsung mengejarnya, suara penuh tuntutan karena ya ampun, masa sih aku nggak dikasih tahu apa-apa?
Dia tetap diam, berjalan cepat tanpa sedikit pun menoleh. Aku terpaksa setengah lari kecil agar bisa sejajar dengannya. Dalam hati aku bertanya-tanya: ini serius mau ke mana? Kenapa harus tergesa-gesa? Dan yang paling bikin penasaran… kenapa dia memandangku seperti aku barusan berubah jadi alien?
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
“Jadi… ini termasuk tugas harianku buat kamu?” tanyaku dengan nada setengah putus asa. Kalau memang iya, ya sekalian aja dihitung, biar aku nggak harus cari ide lain nanti.
“Iya, benar. Sekarang cepat,” jawab Rayza singkat tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
Aku menarik napas pelan. Tiba-tiba aku sadar… ini pertama kalinya aku keluar bareng Rayza. Selama ini, kami selalu pergi secara terpisah, bahkan kalau pun keluar di waktu yang sama, jalannya pasti beda arah. Tapi sekarang, kami berdiri berdampingan di dalam lift. Rasanya agak aneh, apalagi karena jarak tubuh kami cukup dekat, sampai hampir bersentuhan.
Aku melirik ke arahnya pria jangkung dengan wajah serius, bibir sedikit mengerucut, dan alis yang berkerut tajam. Pasti lagi banyak pikiran. Tapi tentang apa? Aku nggak berani nebak.
Begitu lift berbunyi dan pintu terbuka, Rayza langsung melangkah keluar duluan. Aku buru-buru mengikuti dari belakang, melewati lobi yang sepi menuju bagian depan gedung. Awalnya kupikir kami akan ke parkiran. Tapi dia malah berdiri di trotoar depan gedung, bukan ke arah basement tempat mobil-mobil biasanya diparkir.