Demi bertanggung jawab atas korban kecelakaan yang melibatkan dirinya, Shaka rela menikahi gadis culun seperti Zivana. Sumpah demi apa pun, Shaka tidak pernah menyangka jika Zivana si gadis culun merupakan teman semasa SMA dulu adalah jodohnya.
Gengsinya sebagai ketua geng motor, menolak itu semua. Untuk menjaga reputasi tersebut Shaka harus menutupi pernikahannya.
Pernikahan yang berawal dari paksaan dan terjadi tanpa cinta itu membuat mereka saling menjaga jarak. Namun, seiring waktu musuh dari Shaka yang sama-sama ketua geng motor justru menaruh hati pada istrinya.
Apakah Shaka akan mempertahankan Zivana atau justru melepasnya untuk sang musuh?
**
Selamat datang di dunia anak muda. Yang suka cerita ringan dan tidak banyak intrik di dalamnya, yuk lah gas baca. Kalau ini bukan genre yang kalian suka, ya udah ... skip ajah. Dari pada bacanya lompat-lompat dan berpengaruh ke retensi. Please ... Jangan kayak gitu, ya.
Selamat menikmati kisah Shaka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.23 Diterima Kerja
'CHICKEN JET'
Sebuah papan nama besar yang langsung Zivana lihat. Di area parkir rumah makan tersebutlah Arjuna menghentikan motornya.
"Di sini?" tanya Zivana.
"Iya, lo tunggu di sini bentar, ya," pinta Arjuna usai melepas helm.
Zivana mengangguk patuh ketika Arjuna meninggalkannya masuk. Katanya ingin tanya dulu apakah lowongan pekerjaan yang dibuka sudah diisi orang atau belum.
Tak sampai sepuluh menit Arjuna sudah kembali. Senyum di bibir pria itu menjadi pertanda baik yang dilihat Zivana.
"Bagaimana?" tanya Zivana tak sabar.
"Belum diisi orang. Yuk kita masuk," ajak Arjuna.
"Tunggu!" Zivana merapikan penampilannya. Tak lupa melihat diri di kaca spion motor Arjuna.
Ia juga mulai mengeluarkan berkas lamaran yang tadi ia buat dadakan di kampus. Kecanggihan teknologi sangat membantu Zivana. Sebab surat lamar tak perlu lagi ditulis tangan. Cukup diketik kemudian dicetak. Berkas lain seperti KTP juga sudah ia foto copy. Benar-benar cepat.
Menenteng map berwarna hijau, Zivana masuk dengan penuh pengharapan. Senyum bahagia tersungging di bibir gadis itu.
Sama halnya seperti Zivana, Arjuna pun terlihat bahagia. Pria itu semangat sekali mengantarkan Zivana menemui perwakilan manajer rumah makan tersebut. Juga menemani ketika Zivana diwawancara.
"Makasih, ya, udah bantuin gue dapetin kerja," ujar Zivana usai wawancara.
Arjuna mengangguk bangga.
"Udah lama lo kerja di sini?"
Zivana sendiri baru tahu kalau ternyata Arjuna bekerja di rumah makan ini juga. Pantas saja tadi ketika diwawancara manajer rumah makan itu cepat sekali memberikan persetujuan untuk Zivana kerja. Rupanya Arjuna yang sudah merekomendasikan Zivana. Bahkan tadi Arjuna berani menjamin tentang kinerja Zivana. Untuk semua itu Zivana berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuat Arjuna kecewa. Ia harus rajin dan bisa bertanggung jawab.
"Lumayan."
"Sekali lagi makasih."
"Iya, gue seneng bisa bantu lo. Gue anter pulang, ya?"
"Eh ... jangan, gue bisa pulang sendiri. Lo harus kerja, 'kan?"
Arjuna menepuk jidatnya sendiri. "Oh, iya, gue sampai lupa. Terus lo pulang naik apa?"
Zivana merogoh ponsel dalam tas lalu menunjukkannya pada Arjuna. "Ojek."
Melalui ponsel pintar miliknya Zivana memesan kendaraan umum itu. Arjuna masih menemani Zivana sampai ojek online yang dipesan datang.
Pria itu harus bekerja hari ini, sementara Zivana besok baru mulai bekerja.
"Gue duluan, ya," pamit Zivana setelah sebuah motor yang dikendarai pria berjaket hijau berhenti di depannya.
"Hati-hati." Arjuna melambaikan tangan.
******
Hari hampir menjelang pagi, tapi Shaka belum ada niat untuk kembali pulang. Ini pertama kalinya sejak pindah rumah pria itu tidak pulang. Menyusuri jalanan tanpa tujuan setelah sebelumnya ia habiskan waktu berkumpul di basecamp bersama teman-teman Bullent Ant.
Kira-kira sudah jam tiga dini hari saat Shaka pamit pada temannya untuk pulang tapi justru tak sampai ke rumah. Rasa kesal dan marah jika mengingat kejadian kemarin ketika istrinya pergi dengan Arjuna masih bercokol di dada.
Dengan santai ia mengemudikan Ducati hitam miliknya. Sesekali meneriakkan kemarahan.
"Arrghhh ...." Shaka berteriak dari atas motor. Menumpahkan kekesalan yang tidak bisa ia beritahu pada siapa pun.
Ingin sekali ia memaki Arjuna, mengumpat atau menghajar pria itu sekalian karena telah berani mendekati Zivana.
Pernikahan yang dulu dirancang hanya sekadar status dalam buku, nampaknya tak lagi sama dengan apa yang Shaka rasa. Nyatanya, Shaka tidak rela ada pria lain yang mendekati miliknya.
"Bangsat, lo, Arjuna!" teriak Shaka pada angin bak orang gila.
Meskipun begitu, ia terus menyusuri jalanan kota yang lengang. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang melintas.
Inilah satu-satunya cara Shaka melampiaskan emosi yang tertahan. Walaupun terkesan kurang kerjaan.
Di belakang pria itu menyusul iring-iringan motor yang memacu kecepatan di atas rata-rata. Mereka bahkan menyalip Shaka.
Shaka yang awalnya tidak peduli jadi tersulut emosi ketika ada yang menyenggol motornya, meski tak sampai jatuh. Kaget dan sempat oleng membuat Shaka tak terima. Ia kejar motor yang tadi telah menyenggolnya. Ninja hijau yang ditunggangi dua orang pria itu harus ia dapatkan.
Shaka tak peduli dengan iring-iringan motor yang merupakan teman dari pria penunggang Ninja hijau. Dengan gesit Shaka mampu mengejar dan memepet motor sport berwarna hijau. Merasa tidak kenal, pengemudi Ninja mengabaikan Shaka.
"Woy ... berhenti, lo, brengsek!" teriak Shaka ketika berhasil mensejajarkan motornya dengan Ninja yang ia kejar.
Pemuda penunggang Ninja hanya menoleh sekilas, lalu kembali menarik gas menambah kecepatan. Meninggalkan Shaka begitu saja.
"Wah ... parah, lo. Nantangin gue rupanya," gumam Shaka.
Tidak mau kalah, Adrenalin Shaka seolah ditantang untuk bisa mendapatkan Ninja hijau dan memberinya pelajaran. Jiwa pembalap dalam dirinya berkobar. Tantangan untuk menaklukkan pria yang telah mengusiknya diterima dengan senang hati oleh Shaka. Hitung-hitung memberi pelajaran sambil bersenang-senang.
Gerombolan pemuda itu baru berhenti di sebuah lapangan. Mereka semua turun dan menatap Shaka dengan sangar. Shaka telah mengusik ketenangan dan kebahagiaan geng motor mereka.
Dengan beringas mereka langsung membentuk lingkaran mengurung Shaka di tengah.
"Siapa, lo, berani ngikutin kita?" tanya salah satu perwakilan dari geng motor itu. Tentunya pemuda penunggang Ninja.
"Gue guru kalian, yang akan mendidik dan mengajari aturan berkendara," jawab Shaka nyeleneh.
Tawa mengejek menggelegar mengelilingi Shaka.
"Lo bilang guru? Ehm ...." Pria itu manggut-manggut. "Boleh, kalau lo bisa lawan semua temen-temen gue."
Shaka tersenyum miring. Ganti ia yang meremehkan anak-anak ini.
"Maju, kalian!" tantang Shaka.
Dengan sedikit aba-aba dari salah seorang anggotanya, semua menyerang Shaka bersamaan. Sudah seperti tawuran saja.
Kalau masih bermain tangan kosong, kemampuan bela diri Shaka masih bisa diandalkan. Menghadapi geng motor sekelas anak-anak ini bukanlah masalah besar bagi Shaka, walaupun tetap ada luka yang harus ia terima.
Shaka ahlinya berstrategi. Sejak tadi ia sudah mengamati siapa ketua geng dari anak berandalan ini.
Pria penunggang Ninja.
Dia adalah sasaran utama Shaka. Mendapatkannya berarti mengalahkan semua orang yang tadi menyerangnya.
Benar saja, ketika penunggang Ninja berhasil ia lumpuhkan dan menjadikannya sandera, semua gerakan terhenti.
"Masih mau lanjut nyerang gue kalian?" tanya Shaka dengan mencengkeram leher si penunggang Ninja.
"Ampun, Bang, kita nggak ada niat buat celakain Abang. Kita cuma senang-senang, kok Bang," ujar pemuda yang disandera Shaka.
"Gue lepasin lo, tapi kalau gue lihat kalian lagi bikin ulah, gue habisin lo semua!"
Pemuda itu mengangguk patuh. "Janji, Bang."
Shaka melepas pemuda itu begitu saja. Lalu membenarkan jaketnya dan pergi menunggangi Ducati miliknya. Melesat di jalanan menuju rumah.
Sebentar lagi masuk waktu subuh. Shaka sudah tiba di rumah. Diam-diam ia masuk ke kamar. Melihat luka di wajah bekas tawuran tadi.
Sebelum ia tidur, Shaka mengambil kotak obat.
Zivana yang sudah bangun dan hendak ke dapur melihat pintu kamar Shaka terbuka. Ia melongok melihat si pemilik kamar.
"Astaga ... lo, kenapa?" Zivana langsung masuk begitu melihat wajah bonyok Shaka.
Pria itu tak menjawab. Membuka kota obat dan akan mengoles salep di wajah.
"Eh ... nggak gitu ngobatin luka. Dibersihin dulu biar nggak infeksi,"cegah Zivana melihat cara Shaka yang salah.
"Tunggu!" Gadis itu keluar dan kembali lagi dengan baskom berisi air hangat. Dengan telaten Zivana membersihkan luka Shaka menggunakan handuk basah.
Setelahnya baru memberikan salep untuk luka di wajah Shaka. Sejak tadi tak sedikit pun perhatian Shaka teralih. Membuat Zivana yang menyadari hal itu menjadi risih.
"Nih, lo oles sendiri!" Zivana menaruh salep di tangan Shaka dengan kasar. Ia sudahi saja semua karena benar-benar tidak nyaman dipandang Shaka.
Baru juga Zivana akan melangkah, tangannya justru dicekal Shaka. Memaksa Zivana menoleh untuk tahu apa alasan pria itu menghentikannya.
Shaka tidak bicara. Untuk beberapa saat ia terus menatap Zivana sebelum akhirnya melepaskan tangan gadis itu.
Zivana mencibir sikap Shaka yang aneh tapi tak ingin bertanya. Ia memilih untuk keluar saja dari kamar suaminya.
Shaka tersenyum kecut melihat pintu kamarnya tertutup. Merasa bodoh dengan sikapnya yang tak jelas.
kena prank 😛
makasih atas cerita Ziva sm Shakanya 🥰🥰
pokoknya buat author ttp semangat dan bisa bikin cerita lagi yg lebih seru sehat" author 🫶
tp dilampiaskan ke Arjuna.
jd Arjuna jg menjadi anak yg kurang kasih sayang😤😤