JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KALIAN🙏🏻
Ekonomi membuat Rian yang sudah memiliki istri bernama Elsa, menghalalkan segala cara untuk bisa menafkahi istri dan anaknya yang masih balita.
Rian mengaku memiliki job di luar daerah, dan jarang sekali pulang ke rumah. Pada nyatanya, Rian hanyalah seorang mainan dari seorang wanita kaya, yang memintanya untuk menjadi teman tidurnya.
Apakah Rian akan terus melakukan hal ini, atau kembali kepada istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisyah az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rian Yang Serba Salah
Di tengah malam Kak Ratih terbangun karena haus. Ia melangkah menuju ke dapur hendak mengambil air minum. Namun langkah Mak Ratih berhenti kala menemukan Hakim ada di ruang tengah sembari wara-wiri bak orang yang sedang bingung.
"Kim," panggil Mak Ratih.
Hakim merasa dipanggil lantas menengok ke belakang. Air mukanya berubah menjadi lebih tenang setelah berhadapan dengan sang Ibu.
"Loh, Bu? Bukannya Ibu sudah tidur, ya?" Hakim membalas sapaan ibunya.
"Iya, Ibu memang sudah tidur dari jam sembilan tadi. Tapi Ibu haus, ini mau isi air," jawab Mak Ratih mengangkat gelas kosong di tangannya.
"Oh," gumam Hakim manggut-manggut.
Mak Ratih urung pergi ke dapur. Ia mendekati Hakim yang kini melangkah ke dekat kursi sebelum akhirnya mengambil duduk di situ.
"Sudah malam loh, Kim. Kamu tidak mau istirahat?" tanya Mak Ratih berdiri di sebelah sang putra.
Hakim menggeleng lamban. "Belum mengantuk, Bu," jawabnya. "Di kota, biasanya juga tidurnya malam. Kadang menjelang subuh," tambahnya.
"Kamu jangan banyak begadang-lah, Kim. Tidak baik buat kesehatan. Pantas saja kamu tambah kurus," tutur Mak Ratih.
Antara senang dan sedih ketika mendapati putra bungsunya pulang ke kampung, Mak Ratih terkejut mendapati putranya pulang dengan tubuh yang jauh lebih kurus. Mak Ratih sempat menegur pria muda itu. Namun jawaban Hakim cuma, "Sengaja diet, Bu. Aku juga rutin olahraga, dan ikut gym. Jadinya kelihatan lebih kurus daripada biasanya."
Kalau Mak Ratih boleh jujur, ia lebih suka Hakim tampil dengan tubuh yang berisi. Tidak usah menurunkan berat badan segala. Kalau Hakim terlalu kurus, Mak Ratih khawatir putranya menjadi korban rumor buruk di kampung ini.
"Coba cerita sama Ibu, Kim. Kamu sedang ada yang dipikirkan, kan?" Mak Ratih mengambil duduk di sebelah Hakim. Sebelah tangannya berada di bahu pria itu. "Perasaan Ibu dari awal kamu pulang tanpa memberi kabar seperti biasanya, bikin Ibu jadi bertanya-tanya. Apa kamu ada masalah di kota? Jangan ada yang disembunyikan dari Ibu, Nak," bujuk Mak Ratih penuh sabar.
"Maksud Ibu, aku sengaja kabur dari kota ke kampung untuk menghindari masalah?" sahut Hakim.
Mak Ratih mendapati sorot mata Hakim berubah drastis. Walau Hakim tidak menunjukkan bahwa ia tersinggung atas kata-kata ibunya, namun Mak Ratih cukup peka.
Ia lantas berkata, "Maaf kalau Ibu menyinggung perasaan kamu. Ibu hanya ingin memastikan anak Ibu baik-baik saja." Mak Ratih memberi jeda selama dua detik. "Kalau pun terjadi sesuatu kepada anak-anak Ibu, Ibu harap Ibu adalah orang pertama yang kalian cari."
Detik itu jantung Hakim mencelos. Ia buru-buru meraup wajahnya dengan kasar, terselip rasa bersalah di hati pria muda itu.
"Bu, maafkan aku. Tadi aku bicara kasar sama Ibu," gumam Hakim menunduk, meraih punggung tangan Mak Ratih, lalu menciumnya beberapa kali.
Sebelah tangan Mak Ratih yang bebas menepuk puncak kepala putranya. "Ibu maafkan Hakim. Ibu paham," ujarnya. "Tapi Ibu tanya serius sama kamu. Sungguh, kamu sedang tidak ada masalah? Ibu tidak mau kamu memendamnya."
Hakim diam seribu bahasa. Mak Ratih berkali-kali mendesak Hakim agar bicara jujur saja. Namun masalah yang Hakim hadapi tidak semudah itu. Hakim butuh pertimbangan—bahkan untuk bercerita kepada orang tua kandungnya sendiri.
***
Rian mendapati pemandangan Elsa dan Faqih sedang berbaring di atas ranjang. Rian baru saja selesai mandi dan mengganti bajunya yang bersih.
Elsa melirik Rian dari ekor matanya. Ia mengetahui keberadaan sang suami, begitu Rian membuka pintu kamarnya.
Rian menggosok rambutnya menggunakan handuk bersih. Elsa bersikap seolah Rian tidak kelihatan wujudnya.
Elsa masih kesal kepada Rian. Ia sengaja mendiamkan Rian, sengaja tidak mengajak pria itu bicara. Elsa sengaja memutar tubuhnya memunggungi Rian. Sebisa mungkin Elsa malas menyapa, sehingga Rian menjadi serba salah.
Ia tidak bekerja, salah. Tidak bekerja, lebih salah lagi. Jadi, Rian harus apa?
"Sa, kamu belum tidur?" tanya Rian duduk di tepi ranjang.
Ranjang tua di kamar mereka sontak berderit kala Rian mengambil duduk. Elsa menjawab, "Belum." Rian menghela napas, ia mencoba agar tidak terpancing amarahnya.
Rambut Rian telah kering sepenuhnya. Ia lantas berbaring di sebelah Elsa, menatap punggung istrinya dengan tatapan nelangsa.
"Aku salah apa lagi, Sa? Coba kasih tahu aku harus seperti apa? Mau kamu apa? Bukannya kamu sendiri yang pengin aku punya pekerjaan tetap agar bisa bertahan hidup?" Setelah menimbang beberapa saat, Rian pun meluapkan unek-uneknya. "Kemarin, kamu marah-marah sama aku setiap hari—karena aku menganggur. Bahkan untuk membeli beras saja kita tidak punya. Di saat aku mendapat pekerjaan, kamu malah tidak mau bicara padaku."
Elsa memutar badannya. Ia tidak lagi berbaring memunggungi suaminya. Mereka saling melempar tatap dengan sorot yang berbeda. Jika Rian mencoba mencari jawaban lewat tatapan mata Elsa, maka Elsa membalas luapan kekesalan Rian kepadanya.
"Benar, kok. Aku memang pengin kamu punya pekerjaan tetap, Mas. Tapi kamu sadar tidak, sih? Bukan pekerjaan seperti ini yang aku mau! Apa tidak ada pekerjaan lain lagi? Kenapa harus jadi kuli panggul di pasar? Bukannya aku menganggap remeh profesi itu. Tapi, Mas, di zaman sekarang semuanya serba mahal. Dapat apa dari gaji kamu itu? Mungkin untuk makan sehari-hari saja masih kurang!"
Rian berucap istighfar dalam hatinya. Elsa seolah lupa caranya bersyukur. Rian tahu gajinya sebagai kuli panggul di pasar memang tidak cukup. Namun, tidak bisakah Elsa menghargai perjuangan Rian? Daripada ia pulang ke rumah tanpa membawa apa-apa, setidaknya Rian memiliki sesuatu yang akan ia sampaikan kepada istrinya itu.
"Sampai kapan sih kita bakal kayak gini terus, Mas? Kapan?" tanya Elsa. "Aku tuh, capek! Capek sekali! Aku lelah dituduh, aku jengah mendengar kamu diremehkan. Aku cuma ingin hidup normal kayak orang-orang."
"Aku pun juga, Sa," desah Rian lelah. "Tapi untuk saat ini cuma ini yang bisa aku berikan ke kamu. Kita bisa memulai perlahan. Aku yakin selama kita tidak menyerah, hidup kita akan berubah."
"Berubah apa, Mas? Apa? Dari dulu kamu juga selalu bilang begitu. Dan apa hasilnya, Mas? Tidak ada selain menumpuk utang di warung, rentenir, sampai aku muak disuruh sembunyi terus sama kamu!" amuk Elsa. "Jangan ajari aku untuk sabar, Mas. Karena dengan keberadaan aku di sini sama kamu, itu membuktikan aku tetap sabar."
Kesabaran Elsa juga ada batasnya. Ia tidak bisa diminta bersabar setiap hari. Selama bertahun-tahun. Elsa juga manusia biasa yang bisa mengeluh, dan protes.
"Kalau kamu memang serius mau berubah, Mas. Kamu akan cari pekerjaan yang layak, yang bisa mengubah nasib kita. Bukannya malah jadi kuli panggul!" umpat Elsa.
"Sa, kamu sadar tidak apa yang kamu katakan? Jadi, kamu minta aku bekerja sebagai apa? Orang kantoran? Atau apa?" Pada akhirnya amarah Rian terpancing juga. "Ingat, Sa. Aku bukan bagian dari orang-orang yang berpendidikan tinggi. Aku cuma lulusan sekolah dasar kalau kamu lupa," cecar Rian kemudian.
BERSAMBUNG....
Tambahan extra part kak👍👍☺️☺️