Arshaka Ravindra Pratama, ketua geng motor 'Black Wings' yang begitu disegani diarena balapan. Bukan arena sirkuit resmi yang diikutinya, namun arena balapan liar lah yang diam-diam ia ikuti. Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Shaka masuk dalam dunia hitam untuk melarikan diri dari rasa kecewanya terhadap seorang perempuan.
Jingga Aurilia, gadis dingin cinta pertamanya Shaka. Karena kesalah pahaman membuat hubungan mereka harus kandas begitu saja. Namun ternyata rasa itu tak mudah keduanya lupakan. Mereka memilih diam, mempertahankan ego tinggi yang membentang menutupi rasa cinta yang tak pernah berubah.
Akankah mereka dapat meruntuhkan ego tinggi itu dan kembali bersama? Atau mereka akan selamanya diam dalam balutan penyesalan?
"Mata saja tidak cukup untuk melihat, butuh hati untuk menyempurnakannya." -Jingga-
"Aku hanya ingin mengikis jarak yang membentang menjuhkan kita. Setidaknya aku berhenti melukai hati yang tak sejalan dengan keadaan." -Shaka-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Nuryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggenggam dua hal bersamaan?
Ceklek!
Shaka membuka pintu samping rumah hati-hati. Jalan masuk yang biasa ia gunakan ketika pulang dari arena balapan. Suasana yang sudah sepi, menandakan penghuni rumah sudah terlelap. Bahkan ia tak berani membawa si black ke halaman rumah, dan memilih menitipkan benda kesayangannya itu dibengkel Jaki. Takut mengganggu, pikirnya.
Lelaki itu menghembuskan napas lega, melihat situasi yang nampak aman. Jujur, ia belum siap bertemu sang mama. Ia masih memikirkan alasan yang tepat untuk beralibi, dari tiba-tibanya ia menghilang. Namun harapan tak sesuai kenyataan. Baru saja ia melangkah memasuki ruang tengah, lampu tiba-tiba saja menyala.
Deg!
Shaka terpaku kala melihat kedua orang tuanya tengah duduk disofa ruangan itu. "P-pa? M-ma?" sapanya tergugup.
Sungguh ia tak mengira jika kedua orang tercintanya, tengah mrnunggu kehadirannya. Mama Ay mendekat dengan raut wajah tak bersahabat. Hal itu tentu saja mrembuat hati Shaka ketar ketir tak karuan. Tenggorokannya terasa tercekat kala melihat tatapan menceam dari wanita cantik itu.
"Kamu dari mana?" tanya papa Ar.
Pertanyaan sang papa mengalihkan atensinya dari sang mama. "A-aku, aku,"
"A, a, aa sakit Ma," pekiknya kaget, kala tangan sang mama sudah menarik keras telinganya. Shaka pun mencoba mencegat tangan sang mama, meski sudah terlanjur bertengger didaun telinga itu.
"Sakit, hem?" tanya sang mama gemas, dengan tarikan semakin keras.
"Sakit. Ampun Ma ampun!" rengek Shaka.
Mama Ay pun melepaskan tarikan itu dengan hembusan napas kasar. Kesal, marah, kecewa, menyelimuti hati ibu dua anak itu. Ia sudah bingung harus bersikap seperti apa, pada putra sulungnya itu.
"Mama gak tau lagi, apa yang harus mama katakan. Kepala Mama pusing dengan kelakuanmu itu," keluh Mama Ay seraya memijit pelipisnya yang selalu berdenyut, menghadapi tingkah sang putra.
Papa Ar mendekat menghampiri keduanya. Ia merangkul pundak sang istri untuk sedikit menenangkan. Namun mama Ay melepaskan tangan suaminya itu.
"Sebaiknya, abang nasehati anak abang ini. Aku mau istirahat," ucap mama Ay sebelum berlenggang meninggalkan kedua pria tampan berbeda generasi itu menuju kamarnya.
"Ma," cicit Shaka seray mengusap telinganya yang memerah. Sungguh ia begitu menyesali perbuatan itu. Hatinya sakit melihat sang mama yang begitu tampak kecewa.
Papa Ar menepuk pundak sang putra, hingga ia mendongak. "Duduklah!" ajaknya. Shaka mengikuti sang papa, lalu mendudukan diri disofa bersebelahan dengan papanya.
Hening! Tak ada suara dari dua orang tersebut. Shaka tertunduk, merutuki segala kesalahamnya. Bukan hanya Jingga, sekarang ia sadar. Kedua orang tuanya justru yang paling kecewa padanya. Apa yang dilakukannya malam ini sungguh tak menandakan ia seorang pria sejati. Ia bagai lari dari tanggung jawab dengan membuat kekacauan.
"Papa diam, bukan berarti papa gak tau apa yang kamu lakuin diluaran sana," suara papa Ar membuat Shaka mendongak. Hingga membuat mata kedua pria itu bertemu.
"Maafin, aku Pa," sesalnya dengan kembali menundukan pandangan.
"Kamu tau?" papa Ar menepuk pundak Shaka. "Dulu Papa sama sepertimu, pecinta motor. Berkumpul dengan komunitas motor, mengotak atik motor. Itu adalah hobi, yang selalu Papa lakukan."
"Tentunya, tanpa mengabaikan tugas dan kewajiban Papa sebagai seorang anak dan seorang mahasiswa," lanjutnya.
"Kakek pernah bilang, apapun hobimu, lalukan tanpa menutupi jati dirimu!"
Shaka mendongak menatap sang papa, dengan mencerna ucapannya itu. Papa Ar tersenyum kearah Shaka. Pria kalem itu memang tak bisa menasehati keras putra putrinya. Ia hanya akan menasehati dari hati kehati, seperti apa yang kedua orang tuanya lalukan dulu.
"Papa harap, Papa bisa menjadi panutan untuk putra putrinya. Karena pada dasarnya, semua orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya," jelas papa Ar.
Pria yang masih tampan diusianya itu berdiri setelah menepuk bahu sang putra dan hendak berlenggang pergi. Namun ia berhenti sejenak dan kembali berucap.
"Sebaiknya kamu segera memutuskan, tujuan dan arah hidupmu. Lepaskan, apa yang harus kamu lepaskan! Karena kamu gak bisa menggenggam semuanya dalam waktu bersamaaan," ucap sang papa yang kemudian berlenggang pergi menuju kamarnya.
Shaka menyandarkan diri di kepala sofa seraya memejamkan mata, dengan kedua telapak tangan mengusap wajahnya kasar. Seperti yang dikatakan Jingga, sang papa juga mengatakan hal yang sama. Memilih adalah hal yang harus ia lakukan. Menurutnya, jabatan ketua dan sang kekasih adalah dua hal yang sama penting untuknya. Namun haruskah ia memilih? Tidak bisakah ia menggenggam keduanya?
**
Sinar mentari memasuki jendela kamar, Shaka masih enggan membuka mata meski suara sesorang sudah mengganggu indera pendengarannya. Terlalu memikirkan masalah semalam, membuat ia terlelap dijam subuh.
"Woy bangun!" teriak Deril, menarik selimut yang membungkus seluruh tubuh Shaka. Namun lelaki itu masih enggan membuka mata.
"Lu tega bener sama gue. Punya kabar bahagia, gak bilang-bilang" cecar Deril.
"Ck. Diem lu. Ganggu orang tidur aja," kesal Shaka dengan mata yang masih tertutup rapat. Bahkan mungkin separuh byawanya masih melayang entah kemana.
"Lu emang ya, sahabat lucknut. Mau nikah bulan depan, tapi gue gak tau," lanjut Deril.
Shaka berdecak seraya bangkit dari tidurnya. "Ck! Apaan sih lu? Gak jelas banget. Siapa yang mau nikah?" tanyanya seraya mengumpulkan kesadaran.
"Lu sama Jinjin lah. Pagi ini onty Agel, menghubungi mama. Dia meminta mama nyiapin pernikahan bulan depan untuk Jinjin," celetuk Deril.
Seketika Shaka membuka matanya lebar, mendengar nama sang kekasih disebutkan sahabtanya. "Apa? Jinjin," pekiknya.
"Lu kenapa?" tanya Deril heran.
"Lu serius?" bukan menjawab Shaka justru balik bertanya seraya memegang kedua bahu sahabatnya.
"Ya serisulah. Lu kenapa sih? Bukannya itu keputusan kalian buat nikah, kenapa lu kaget?" tanya Deril lagi yang merasa aneh.
"Lu tau? Lamaran gue aja gagal," selak Shaka. "Tapi tiba-tiba onty Agel?" Shaka bertanya-tanya, hingga pikirannya tertuju pada ucapan Jingga malam tadi.
"Sebaiknya, kamu pikirkan lagi. Jika masih banyak hal yang lebih penting dariku, lebib baik kamu selesaikan dulu."
"Jangan, jangan?" Shaka membolakan mata dengan mulut terbuka lebar.
Ia membayangkan malam itu keluarga Jingga sudah berkumpul dan siap menyambut dirinya. Namun karena ia yang tak datang, seseorang memanfaatkan kesempatan itu dan datang menggantikannya melamar sang kekasih. Hal itu disetujui kedua orang tua Jingga yang tidak ingin menanggung malu, karena ketidak hadirannya. Hingga Jingga ikut menyetujui hal itu.
"Nggak! Ini gak boleh terjadi. Jinjin milik gue, hanya milik gue," tegas Shaka dengan menggelengkan kepala menyangkal semua penikiran itu.
Sontak saja hal itu membuat Deril kebingungan. Ia tak tau apa yang sebenarnya terjadi. "Eh lu mau kemana?" tanyanya ketika melihat Shaka bangkit dan mengambil kunci dari atas nakas.
Bahkan lelaki itu tak menyadari penampilannya yang acakadul. Hanya mengenakan kaos ketat dengan boxer Shaka berlalu keluar kamar tergesa-gesa.
"Woy!!" teriak Deril yang tak didengar lelaki itu. Bahkan ketika melewati ruang tamu, suara sang mama tak didengarnya sama sekali. Pikirannya hanya tertuju pada sang kekasih yang dilamar orang lain, dan berniat untuk menemuinya sekarang juga.
"Gue gak akan biarin siapapun ngambil lu dari gue Jin. Jika perlu, hari ini juga gue akan membawa lu ke KUA."
\*\*\*\*\*\*
Jangan lupa jejaknya gaiss😘😘