Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Rumah kontrakan
Satu Minggu sudah Ayman tinggal di rumah mertuanya. Hari ini dia akan membawa istrinya pergi dan tinggal di rumah kontrakan yang sudah disiapkan Mama Aisyah. Rumah yang jauh dari kata mewah, atapnya ada beberapa yang bolong, begitu pun dengan dindingnya. Lantai hanya beralaskan tanah. Sungguh miris sekali.
Ibu kandung Ayman benar-benar niat sekali agar Zayna tidak betah. Namun, wanita itu salah karena sang menantu orang yang kuat. Zayna tidak akan mudah ditindas begitu saja.
Ayman mendesah berat. Mamanya benar-benar keterlaluan kali ini. Pantas saja wanita itu sangat ngotot jika Zayna tidak betah. Jangankan istrinya, semua orang pun tidak akan betah tinggal di sini.
"Maaf, ya, rumahnya seperti ini," ucap Ayman yang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, asal bisa bersamamu, di mana pun akan terasa nyaman," sahut Zayna dengan tersenyum.
Ayman merasa tersentuh dengan apa yang diucapkan oleh istrinya. Seandainya saja mamanya bisa melihat kebaikan yang ada dalam diri Zayna, sudah pasti mereka tidak perlu mengalami hal konyol seperti sekarang ini. Akan ada waktunya mereka bertemu dan pria itu berharap mama dan istrinya bisa akrab.
"Ayo, masuk!" ajak Ayman.
Mereka pun memasuki sebuah kamar yang paling dekat dengan ruang tamu. Di rumah ini ada dua kamar dan satu kamar mandi yang berada di dekat dapur. Tidak ada alat elektronik sama sekali, bahkan televisi sekali pun. Keduanya bersama-sama membereskan rumah. Zayna sangat cekatan dalam pekerjaan ini hingga semua selesai dengan cepat.
"Mas, aku keluar sebentar, ya.Di rumah tidak ada apa-apa. Aku mau beli sayur sebentar, sama bumbu yang lainnya," ucap Zayna.
"Oh iya, ayo, aku antar saja."
"Apa tempatnya jauh, mas?"
Ayman kebingungan harus menjawab apa karena dia sendiri juga tidak tahu lingkungan di sekitar sini. Seharusnya tadi dia bertanya pada Paman Doni dulu.
"Aku ... aku tidak tahu karena aku emang belum pernah belanja. Selama ini aku selalu beli di luar," ucap Ayman berbohong.
"Ya sudah, ayo, kita cari!" Mereka berdua keluar rumah.
Saat ada tetangga yang lewat, Zayna bertanya di mana tempat penjual sayur terdekat. Wanita itu menjelaskan jika tempatnya tidak jauh. Keduanya pun memutuskan untuk berjalan kaki saja. Di tengah jalan tiba-tiba ada seorang menyapa.
"Assalamualaikum, tetangga baru, ya, Bu," sapa seorang wanita yang tangannya dipenuhi dengan gelang emas serta leher yang dihiasi dengan kalung yang panjang. Kata orang biasanya disebut toko emas berjalan.
"Waalaikumsalam, iya, Bu," sahut Zayna dengan tersenyum.
"Pengantin baru, ya? Lengket banget, sampai lupa sama sekitar. Yang lainnya juga punya suami, bukan situ saja," ucap wanita itu sinis sambil melirik tangan Ayman yang menggandeng Zayna.
Zayna sempat mengerutkan keningnya, tetapi kemudian menormalkan kembali ekspresinya. Dia sudah terbiasa menghadapi wanita seperti ini, selalu repot dengan urusan orang lain sampai lupa dengan keluarganya.
"Iya, Bu, tapi kami biasa saja, tidak terlalu mesra. Saya sedang mencari tempat penjual sayur dan suami yang mengantar karena saya tidak tahu di mana tempat belanja," ucap Zayna dengan tenang. Wanita itu terlihat geram mendengarnya.
"Kamu tinggal di rumah ujung yang udah mau roboh itu? Masa cantik-cantik mau tinggal di rumah seperti itu? Lebih baik cari orang yang bisa membuat hidup kita tercukupi, kaya justru lebih baik. Tak apalah jika sudah berumur, yang penting bisa hidup enak dan serba terjamin," ujarnya panjang lebar karena ingin meracuni pikiran Zayna.
Ayman sempat mendelik mendengar ucapan ibu itu. Keberadaannya seperti tidak dihargai sama sekali. Bagaimana tidak, di sini ada dirinya, tetapi malah meracuni pikiran Zayna agar mencari suami yang kaya. Namun, dia lega mendengar jawaban dari istrinya.
"Alhamdulillah meskipun saya hidup dengan serba kekurangan, asalkan bersama dengan suami, saya sudah bahagia. Apalagi memiliki suami yang sholeh bisa menuntun saya ke jalan yang lebih baik. Tentu siapa pun pasti akan bahagia karena kita tidak hanya bersama di dunia. Tuhan pasti akan menyatukan kami nanti di akhirat," jawab Zayna yang justru semakin membuat wanita itu geram.
"Alah, sok suci kamu. Kamu itu cuma mau ngeles saja, kan? Biar dibilang wanita baik. Sekarang serba mahal, mana ada wanita yang mau diajak susah zaman sekarang."
Zayna hanya tersenyum. Dia tidak mau menanggapi omongan wanita itu. Sepertinya percuma saja, lebih baik segera berbelanja dan masak untuk sang suami. Pasti saat ini Ayman juga sudah kelaparan karena ini sudah menjelang siang.
"Permisi, ya, Bu. Ini hampir siang, kami harus segera belanja. Assalamualaikum." Zayna dan Ayman segera pergi sebelum wanita itu berbicara lebih panjang lagi.
"Waalaikumsalam," jawab wanita itu ketus. "Sok banget, sih, wanita itu. Miskin saja sombong," gerutu ibu itu yang masih bisa didengar oleh Ayman dan Zayna.
Suami istri itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sebenarnya di sini siapa yang sombong? Perasaan Zayna bicara biasa saja. Justru wanita itu yang merasa paling benar dan tahu segalanya.
Begitu sampai di tempat penjual sayur, Zayna memilih satu ikat sayur bayam dan satu kilo ayam. Di rumah tidak ada lemari pendingin jadi mereka tidak bisa menyimpan sesuatu lebih lama. Setiap apa yang dibeli hanya untuk satu kali masak saja.
"Sudah selesai, Mas. Ayo kita pulang!"
Ayman yang mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pria itu menggandeng tangan sang istri selama perjalanan pulang. Hal itu justru membuatnya merasa begitu bahagia. Semakin hari, hubungan mereka semakin dekat. Ayman berharap di hati Zayna sudah tumbuh perasaan terhadapnya meskipun hanya secuil saja.
"Assalamualaikum," sapa seorang pria saat keduanya hampir sampai di rumah.
"Waalaikumsalam."
"Bapak dan Ibu, yang menempati rumah di ujung sana?" tanya pria itu sambil menunjuk arah rumah Ayman.
"Iya, Pak. Ada apa?"
"Begini, saya ketua RT di sini. Bapak, belum memberi laporan kepada saya dan hubungan kalian. Kami hanya tidak mau wilayah kami ada hubungan terlarang," ujar pak RT.
"oh, iya, Pak. Maaf atas keterlambatan saya. Nanti saya akan datang sekaligus membawa beberapa berkas untuk laporan," sahut Ayman yang merasa tidak enak.
"Iya, Pak. Saya tunggu di rumah. Rumah saya yang di sana yang bercat biru."
Ayman mengangguk dan berkata, "Saya akan datang setelah ini.
"Kalau begitu saya permisi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ayman dan Zayna kembali melanjutkan perjalanannya. "Kamu di rumah sendiri tidak apa-apa, kan? Aku mau ke rumah pak RT dulu."
"Tidak apa-apa, Mas. Aku juga mau masak, nanti kita makan sama-sama."
Ayman mengangguk sambil tersenyum. Senang sekali rasanya memiliki istri seperti Zayna, yang selalu membuat perasaannya tenang.
.
.
.