Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perundungan
Pelajaran pertama membuat Ratna tak bersemangat. Di jam istirahat, ia menceritakan rasa kesalnya kepada Naya. Di dalam kelas sendirian, Ratna asyik dengan ponselnya.
[Nanti sore kita ke mall aja, yuk. Jalan-jalan bentar biar kamu nggak bete,] tulis Naya.
Ratna tersenyum bahagia. Ia membalas singkat dengan kata 'Oke'. Gadis itu kemudian merenung, menyadari bahwa geng Kevin mungkin sengaja mencari masalah dengan cara halus. Ia harus tetap berhati-hati.
Sepanjang hari, geng Kevin kembali bersikap dingin kepadanya. Mereka tampak tidak tertarik lagi merundung Ratna. Saat jam pulang, Kevin dan teman-temannya pergi lebih dulu.
Ratna, yang punya janji pergi dengan Naya, pulang lebih dahulu untuk berganti pakaian. Ia bersiap-siap dan berencana bertemu Naya di depan mall. Menggunakan angkutan umum, akhirnya Ratna tiba di depan pusat perbelanjaan yang dituju. Naya sudah menunggu di pintu mall. Tergesa-gesa, Ratna berjalan mendekatinya.
"Udah lama?" tanya Ratna.
Naya menggeleng. "Hayu, masuk. Gak jajan, gak shopping juga gak apa-apa, kan? Ah, nanti jajan es krim aja," ujarnya berceloteh riang.
Ratna tersenyum tipis. Mereka berjalan berdampingan, naik eskalator bersisian. Sepanjang langkah di dalam mall, Naya terus berbicara, menceritakan kunjungannya ke mall bersama bibinya kemarin.
Ratna sesekali melirik toko-toko yang dilewati. Saat sampai di sebuah etalase aksesoris, mereka masuk sebentar untuk melihat-lihat dan mencoba bando, lalu langsung pergi lagi.
"Rat, aku pengen ke toilet dulu. Kamu tunggu di stand es krim sana, ya. Pesenin punyaku juga. Aku nggak bakal lama," kata Naya, lalu berlari menuju bilik toilet. Ratna kini berjalan sendiri, melewati etalase kaca besar di mana terlihat sebuah kafe.
Di sebuah meja yang diisi empat orang, mereka terkejut melihat kehadiran Ratna yang baru melintas. "Demen ke mall juga tuh anak? Kirain gue mainnya di kuburan," celetuk sosok itu—Kila.
"Ayo, Gaes," ajak Kevin. Bobi dan Agam segera berdiri. Mereka berempat keluar dari kafe dan mengejar Ratna yang hampir tiba di stand es krim. Ratna tersentak kaget ketika Kila tiba-tiba merangkul bahunya.
"Ikut gue!" ancam Kila sambil setengah menyeret gadis itu pergi. Ratna kelabakan, tak mampu menolak apalagi meminta tolong pada orang asing.
Naya keluar dari arah toilet sambil bersenandung pelan. Namun seketika ia mengaduh ketika seseorang menubruk punggungnya tanpa meminta maaf. Naya mendesis sinis, bibirnya mengerucut tajam. Ia kembali berjalan sambil celingukan mencari Ratna.
Di stand es krim yang cukup ramai, Naya tidak menemukan sosok Ratna. Pandangannya berkeliling dengan bingung—ke mana perginya Ratna saat ia berada di toilet?
"Masa pulang duluan, sih?" gumam Naya. Ia kemudian mendekati seorang perempuan yang duduk di kursi besi sambil memperhatikan anaknya yang berlarian ke sana kemari.
"Mbak, lihat cewek pakai kacamata terus rambutnya diikat nggak? Dia pakai kaus putih sama celana jeans," tanya Naya cepat.
Perempuan itu sedikit terkejut. Iapun sontak menoleh. "Saya nggak memperhatikan siapa-siapa," jawabnya sambil menggeleng, kemudian kembali menatap anaknya yang kini dihampiri sang ayah yang baru keluar dari toko mainan.
"Ya udah, deh," gumam Naya sambil beranjak pergi. Di langkahnya yang menjauh, perempuan itu masih terus memperhatikannya. Raut wajahnya menunjukkan keheranan saat menatap Naya, terhenyak ketika suaminya duduk di samping sambil memangku sang anak.
Sementara itu, Naya terus mencari ke toko-toko yang dilewati sebelumnya. "Mungkin dia mau beli bando tadi," gumamnya setengah ragu. Ada firasat buruk yang membuat hatinya tidak tenang.
Di sisi lain, Ratna sudah diseret oleh geng Kevin keluar dari gedung mall. Dengan gerakan yang tak mencolok, Kila menyeretnya. Sekilas, mereka tampak seperti rombongan teman yang hendak pulang setelah nongkrong, padahal salah satu di antaranya adalah korban bullying.
Ratna dibawa ke sebuah gang buntu dengan gerbang terali besi tinggi. Sudut sempit itu menjegal langkahnya, apalagi kini di depannya berdiri Kevin dan teman-temannya. Gadis itu dihempaskan kasar hingga bahunya menubruk terali.
"Kalian kenapa lagi, sih?" protes Ratna. Kali ini ia benar-benar kesal. Di sekolah mereka membuangnya, tapi di luar sekolah malah bersikap semena-mena.
"Coba lihat, dari tatapan matanya aja udah beda," komentar Agam.
"Iya, berani natap kita gitu. Gak ada takut-takutnya sekarang?" Kila menambahkan sambil mengompori.
"Jadi, beneran lo udah berulah sampai bikin Vani meninggal?" tanya Kevin tajam.
Ratna seketika terbeliak. "Maksud kalian apa?"
"Gak usah pura-pura bego, lo!" bentak Bariz, memukul jerjak besi di samping tubuh Ratna hingga gadis itu tersentak kaget.
"Lo selama ini sering lihat setan, setan mana yang lo minta tolong buat nyelakain kita? Atau… lo punya kenalan dukun? Vani lo santet sampai kehilangan nyawa?" tambah Bobi dengan nada mengejek.
"Kalian ngawur. Apa alasan aku mau nyelakain Vani?"
"Loh? Banyak alasannya, kan? Lo dendam sama kita?" timpal Kila.
"Apa yang kita lakukan sama lo, sama sekali gak sebanding dengan nyawa yang harus lo korbankan!"
"Kalian gila? Aku gak setega itu! Aku bukan kalian!" Baru kali ini, Ratna berani meninggikan suara. Tuduhan Kevin dan teman-temannya yang menudingnya melakukan ilmu santet membuatnya merasa terhina.
Namun, akibat ucapan Ratna yang begitu keras, ia menerima tamparan telak di pipinya. Gadis itu seketika meneteskan air mata, rasa perih di pipi seolah merambat hingga ke kornea matanya.
Tak sampai di situ, Kila yang membawa jinjingan tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Wadah puding berisi fla vanila tumpah tepat di atas kepala Ratna. Cairan manis dan lengket itu membasahi rambut serta wajahnya. Ratna ternganga, tak percaya atas perlakuan geng Kevin kali ini.
"Ini peringatan buat lo! Jangan pernah coba usik kami dengan keanehan yang lo punya. Gue juga kenal orang pintar yang pastinya lebih bisa lenyapin lo," ancam Kevin dengan nada dingin dan menakutkan.
Keempat orang itu meninggalkan Ratna yang wajahnya berantakan. Kepala dan bajunya penuh cairan fla kental yang lengket. Ratna hanya bisa terdiam, bingung bagaimana cara pulang. Naik angkot atau bus jelas bukan pilihan—ia pasti akan mengotori kendaraan umum itu.
Ia memilih berlari secepat mungkin, lupa bahwa Naya masih mencarinya di dalam mall. Tangisan yang pecah di trotoar menarik perhatian orang-orang yang lewat, memperlihatkan betapa memprihatinkannya kondisi Ratna saat itu.
Saat hendak menyeberang, Ratna nyaris terserempet motor. Tubuhnya terhuyung dan akhirnya terperenyak di jalanan. Pemuda yang mengendarai motor segera membuka helm dan meminta maaf, namun Ratna seolah tuli terhadap suaranya. Ia tetap terpaku di tempat.
Karena takut telah menyakiti seseorang, pemuda itu turun dan bertanya dengan cemas apakah ada yang terluka pada Ratna. Gadis itu hanya menggeleng.
Melihat keadaan Ratna yang memprihatinkan, pemuda itu merasa iba. Ia bisa menebak bahwa gadis itu baru saja dijahili. Namun, saat menatap wajahnya lebih dekat, pemuda itu tersadar: ini gadis yang sama yang hampir terjun di jembatan penyebrangan beberapa waktu lalu.
"Kamu… kenapa? Butuh bantuan?"
Pemuda itu hendak meraih bahu Ratna, tetapi gadis itu cepat menghindar. Ia menengadah, menyadari banyak orang tengah menonton dirinya dengan pandangan iba dan penasaran.
"Aku gak apa-apa," ujar Ratna tegas. Tanpa menunggu jawaban, ia bangkit dan berlari pergi. Pemuda itu hanya tercenung, menatap sosok Ratna yang semakin menjauh.