TAHAP REVISI🙏
***
Berawal dari kata 'tidak suka' hubungan mereka kian dekat karena sebuah pertengkaran. Batu yang keras, akhirnya luluh oleh air yang tenang.
Seperti itulah Gia dan Riza, dua remaja yang menaiki tangga bersama dari tidak suka, menjadi suka, lalu ke nyaman, dan berakhir dengan saling menyayangi.
***
Sedikit kisah, dari jutaan kisah lain yang mungkin akan membuat kalian tak bisa melupakannya.
@dwisuci.mn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Decy.27126, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Riza menatap Gia dengan ekspresi datar. ‘Belaga alim, nyatanya? Mau juga diajak pacaran.’
'Gila, nggak nyangka gue. Gia mau aja pacaran sama nih anak.’ Bagas menggeleng miris.
‘Nggak nyangka, cewe se alim Gia mau juga diajak pacaran,' batin Dafa ikut menghujat.
Sementara Nela? Gadis itu terlihat santai memperhatikan apa yang terjadi di depannya.
Terlihat Adit yang tersenyum cerah di sana, dengan Gia yang masih menatapnya santai.
“Aku suka kamu, karena itu aku mau temenan sama kamu!” ucap Gia membuat semua orang harus berpikir untuk memahaminya.
”Maksudnya?” tanya Adit bingung.
Gia menghela napas. “Dit, aku suka kamu, sama kayak aku suka Calvin, Bagas, Rendi, Dafa dan yang lain juga. Karena kalian temen aku, dan aku juga nggak mungkin temenan sama orang yang aku benci, kan?”
“Maksudnya, kalian di mata Gia itu sama. Dia suka sama lo, karena lo juga temennya. Intinya, posisi kalian buat Gia itu sama. Kalian semua temen Gia,” jelas Nela
“Gi, maksud aku i–”
"Adit, kalo kamu mau bilang lebih dari suka, kamu salah,” potong Gia.
Gia kembali menghela napas, dia menatap Adit seperti biasanya. “Adit, suka, cinta, dan sayang itu berbeda. Kita harus tau perbedaan, juga cara penggunaanya.”
“Apa bedanya?” tanya Dafa yang juga penasaran.
“Nanti kalian tau sendiri, satu yang pasti. Ketiganya memiliki satu kesamaan, sama sama melibatkan hati dan perasaan. Jadi, harus mikir berulang kali kalo mau ngungkapinnya.” Gia tersenyum kecil.
“Jadi, kamu anggap aku cuma temen?” tanya Adit pelan.
“Ya, karena emang itu kenyataannya.”
“Oke, Gia. Maaf udah ganggu waktu kamu, dan makasih udah ajarin aku satu hal baru hari ini.” Adit tersenyum kecil.
Gia mengangguk dengan senyumnya. “You're welcome, Dit.”
“Ehm, boleh aku tanya satu hal lagi?” tanya Adit hati-hati.
“Sure!”
“Kita tetep temen, kan? Kamu ngak ada niatan jauhin aku, kan, Gi?”
Gia terkekeh, "Iya, kamu temen aku dan aku temen kamu. Lagian, aku juga lagi nggak niat cari musuh, Dit!" candanya membuat Adit ikut terkekeh di sana.
“Kalo gitu, aku pamit dulu.”
“Pergilah!” sentak Riza tiba-tiba.
Adit berdecak kecil melirik Riza, dia lalu kembali menatap Gia. “See u, Gi.”
“Bye, Gi,” Rendi yang juga ikut keluar bersama Adit.
Kelas kembali lengang, beberapa anak yang menonton tadi sudah membubarkan diri dan kembali ke aktifitas mereka masing-masing.
“Hebat, lo nolak cowok segampang itu, Gi?” sambar Bagas.
“Ho'oh, kasian tuh, si Adit. Sakit hati pasti,” gurau Dafa membuat yang mendengarnya terkekeh kecil.
Riza menatap Gia. “So, we are friends?”
Gia mengangkat satu alisnya heran, tetapi, dia mengangguk. “Ya!”
Riza terkekeh, dia mengulurkan tangannya. “Ayo, salaman.”
“Buat apa?” tanya Gia heran.
“Kalo diinget-inget, dari awal masuk sekolah dulu, kita udah sering ribut dan belum sempet damai. Jadi, anggep aja ini salam pertemanan.”
Gia tertawa. “Jadi, Calvin yang gengsian ini akhirnya minta damai lebih dulu?”
Riza berdecak, "Ya! Harusnya gue nunggu lo minta maaf duluan. Sayangnya, lo tipe orang yang nggak sadar diri kalo punya salah. So, gue yang ngalah.”
Gia mengernyit. “Apa salahku?”
“Banyak!” jawab Riza cepat.
“Pertama, kamu ubah nama panggilanku. Kedua, kamu pernah bikin aku sakit karena kehujanan. Ketiga, kamu sering ngerjain aku–”
“Pertama, Calvin emang mama kamu. Kedua, kamu yang nekat nerobos hujan. Ketiga, aku nggak punya kerjaan buat kamu!” potong Gia membuat Riza mendengkus kesal.
“Gue belum selesai ngomong dan lo udah potong omongan gue duluan?”
“Aku kasihan sama tenggorokan kamu, dan aku nggak mau telingaku rusak,” balas Gia santai membuat tiga teman lainnya terkekeh di sana.
“Up to you!” decak Riza pada akhirnya.
“Bilangnya doang damai, nyatanya, masih aja ribut,” sindir Bagas di belakang mereka.
“Diam!” sentak Gia Dan Riza bersamaan.
Bagas tergelak. “Noh, kan, kompak.”
Gia dan Riza saling berpandangan.
“Udahlah!” desis mereka bersamaan, yang lagihlagi harus membuat keduanya menutup telinga karena sorakan unfaedah dari teman-teman mereka.
***
HALAMAN 10
'Satu tahun aku kenal kamu, dan sampai sekarang aku masih belum bisa paham tentang kamu. Tentang cara berpikirmu, juga tentang sikapmu yang terkadang membuatku harus lelah karena memikirkannya.'
Tertanda
Calvin Arriza Adhitama.
***
Dua belas bulan sudah terlewatkan, kini Gia, Riza, juga teman-teman mereka sudah naik ke kelas sebelas. Cepat, bukan? Tentu, karena ini tentang waktu, yang siapa pun tidak akan bisa menundanya.
Satu tahun sudah mereka lewati, tahun awal mereka di masa putih abu-abu. Semuanya masih sama, Gia yang tenang, Riza yang terkadang hangat dan bisa tiba-tiba menjadi dingin kembali. Juga teman-teman mereka yang masih setia menemani mereka, jangan lupakan Adit dan Rendi. Sekarang mereka juga sudah berteman akrab dengan Riza dan yang lainnya, tentu karena Gia yang memintanya.
Tentang Riza dan Tama, keduanya pun masih sama. Kedua lelaki sedarah yang berbeda generasi itu masih sering terlibat perang dingin walau satu rumah dan bertemu setiap hari.
Keduanya masih sama-sama egois untuk salah satunya agar mengalah, tidak tau sampai kapan semuanya akan membaik. Sekali lagi, biarkan waktu yang memberi mereka pelajaran, juga jawaban dari permasalahan mereka.
“Calvin!” panggil Gia yang melihat Riza berjalan di depannya.
Riza berhenti melangkah dan menengok ke belakang, didapatinya Gia yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum hangat seperti biasa.
Hari Minggu, tepat satu Minggu sebelum jadwal mereka masuk sekolah sebagai murid kelas sebelas. Entah kebetulan atau apa keduanya bisa sama-sama sedang jogging di taman kota pagi ini.
“Hai,” sapa Gia saat sampai didepan Riza.
Hanya dibalas senyum tipis dari Riza.
“Kenapa?” Gia menatap Riza dengan tatapan bingung.
Riza mengernyit. “Kenapa apanya?”
“Duduk dulu, yuk!” ajak Gia.
Gia duduk di rerumputan di bawah pohon yang cukup rindang, agar terhalang dari panas matahari yang mulai naik. “Sini!”
Riza menurut dan duduk di samping Gia dalam diam.
“Ada masalah?” tebak Gia.
“Kok, tau?”
“Kamu mau ngasih tau?” tanya Gia balik.
Riza mengernyit. “Emang harus?”
Gia mengedikkan bahu dengan acuh. “Enggak juga.”
“Dengerin aku cerita!”
Gia tersenyum, dia menatap Riza. “Nanti aja, ya? aku laper, belum sarapan.”
Riza cengo dibuatnya. “Ayolah, sarapan!”
***
Bersambung
See u next chapter🖤
jangan lupa 👍
spnjang crita karakter gia msh konsisten msh terbaik dan kalau bs gia seharusnya dpt lbh baik lg dr karakter riza😁 dan riza sprti tdk ada lawannya buat dapetin gia kyk gmpang ajha buat riza
tp utk smwnya udh bagus karakternya kuat2👌
salken, kak....
Jd terkenang masa SMA ku😁😁