NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 Satu Meja, Satu Tujuan

Hari itu, lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel terasa lebih hidup dari biasanya. Biasanya, lantai ini hanya dipenuhi denting keyboard, suara langkah staf hotel dan staf teknis, dan layar besar yang menampilkan data sistem — tapi kali ini, suasananya berbeda. Ruang meeting koordinasi yang biasanya steril dan tenang kini dipenuhi percakapan rendah, aroma kopi hangat, dan kehadiran empat sosok yang masing-masing membawa auranya sendiri.

Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menyoroti meja kerja panjang berlapis kaca bening yang dipenuhi laptop, berkas, dan cangkir kopi setengah habis. Di sisi ruangan, layar besar menampilkan grafik interkoneksi sistem Arjuno Group yang masih dalam tahap integrasi — bar-bar data yang naik turun memantulkan cahaya biru ke wajah mereka.

Bhumi Jayendra dan Marvin Nalendra duduk bersebelahan dengan dua perempuan paling tangguh dalam dunia korporat digital: Rembulan Adreyna dan Liora Larasmita. Kopi sudah disiapkan, berkas sudah dibuka, dan di layar utama terpampang tampilan dashboard integrasi sistem baru milik Arjuno Group.

Namun, suasananya… bukan cuma profesional. Ada dinamika halus yang terasa di antara meja panjang itu — tatapan-tatapan singkat, senyum kecil yang muncul tanpa sengaja, dan jeda hening yang lebih berarti dari kata-kata.

Bulan sibuk meninjau laporan sistem baru yang akan diintegrasikan ke jaringan Arjuno Group, sementara Bhumi duduk di sebelahnya — sesekali menunduk melihat layar, sesekali mengulas senyum kecil setiap kali Bulan mengernyit serius.

Liora duduk di sisi seberang meja, matanya fokus ke layar laptopnya. Sementara di sebelahnya, Marvin dengan tenang memperhatikan proyeksi sistem keamanan yang sedang dijelaskan Bulan.

“Sistem baru ini,” kata Bulan lembut, “menggunakan hybrid security layer. Jadi, data sensitif bisa tersimpan di main cloud dengan pengamanan ganda, sementara data publik tetap fleksibel di user-access level.”

Marvin mengangguk, mengetuk jarinya di atas meja.

“Kalau begitu,” katanya perlahan, “struktur data properti milik Nalendra Group secara teknis bisa disinkronkan dengan model yang sama, kan?”

Bulan menatapnya sejenak. “Secara prinsip, bisa. Tapi harus lihat dulu pola trafik datanya. Kalau proyek properti Bapak punya sistem CRM dan finansial internal, kita perlu buat firewall tunnel terpisah supaya gak bentrok sama layer Arjuno.”

Liora menoleh, alisnya terangkat. “Wah, Pak Marvin mulai nanya hal-hal yang sangat… teknis, ya?”

Marvin menatapnya datar. “Aku gak mau ketinggalan. Dunia sekarang bergerak di data, bukan di bata.”

“Cieee, udah mulai pakai istilah anak IT,” goda Liora cepat.

Marvin menatapnya beberapa detik sebelum menjawab dingin, “Aku belajar dari yang cerewet.”

Liora memutar bola mata. “Untung yang cerewet itu pintar.”

“Untung yang pinter itu cerewet,” balas Marvin datar — tapi ujung bibirnya terlihat menahan senyum.

Arsen, yang duduk di ujung ruangan sambil mencatat, hanya bisa menatap mereka berdua dengan ekspresi tolong-ini-rapat-atau-sitkom.

Marvin mendengarkan, tapi sorot matanya lebih fokus ke ekspresi Liora yang penuh gestur: cara ia menekankan kata dengan ujung pena, atau tatapan matanya yang menyala setiap kali menjelaskan sesuatu yang ia kuasai.

“Jadi, sistem yang kita pasang di Arjuno Group ini sifatnya modular, bisa dikembangkan lintas sektor,” jelas Liora sambil mengetik cepat di laptopnya. “Artinya, kalau perusahaan lain mau mengadaptasi, tinggal sinkronisasi di layer datanya aja.”

Marvin, yang sedari tadi bersandar di kursinya, mencondongkan tubuh sedikit.

“Kalau data properti—” katanya pelan, “—apakah bisa disandingkan dengan sistem yang kalian pasang di Arjuno Group? Misalnya, untuk mengelola tenant, aset, atau laporan maintenance?”

Nada suaranya terdengar tenang, tapi jelas memancing perhatian Liora. Bulan menoleh sekilas, sementara Bhumi hanya mengangkat alis, tersenyum samar.

Liora mengetuk pena di buku catatan. “Secara struktur, bisa. Tapi kita perlu tahu dulu format data dan framework database-nya. Kalau Nalendra Properti pakai independent server, mungkin perlu bridging tambahan.”

Marvin mengangguk pelan, ekspresinya tetap datar tapi matanya memperhatikan Liora dengan seksama.

“Berarti memungkinkan?”

“Kalau saya yang handle, memungkinkan,” jawab Liora tanpa ragu.

“Dan kalau bukan kamu?”

Liora menatapnya sekilas, dagunya terangkat sedikit. “Masalah waktu aja, bukan kemampuan.”

Bhumi dan Bulan saling menahan senyum. Sementara Marvin hanya menggumam pendek, seolah menikmati perdebatan kecil itu. “Baik. Catat itu, nanti kirimkan detail teknisnya ke emailku.”

Liora menghela napas, pura-pura sibuk mengetik lagi padahal pipinya mulai hangat karena kesal sekaligus… entah kenapa, sedikit senang.

Beberapa menit kemudian, Marvin mengambil ponselnya dan menekan nomor cepat.

“Satria,” panggilnya datar, “bawa semua dokumen yang harus saya tanda tangani ke Arjuno Hotel, lantai tiga puluh. Hari ini saya kerja di sini.”

Bulan sempat menoleh dengan ekspresi kecil yang nyaris geli.

“Jadi, Pak Marvin beneran ngantor di sini hari ini?”

Marvin menatapnya tanpa ekspresi. “Tergantung. Kalau suasananya kondusif, mungkin iya.”

Liora menoleh tajam. “Kondusif apanya? Ini ruang koordinasi, bukan coworking space.”

Marvin mengangkat bahu. “Selama aku gak ganggu siapa pun, itu sah-sah aja, kan?”

“Selama gak ganggu aku, maksudnya,” balas Liora cepat, suaranya pelan tapi nadanya menggigit.

Bhumi menahan tawa kecil, sementara Bulan menatap ke arah Marvin dan Liora dengan ekspresi yang susah dibaca — setengah ingin menengahi, setengah menikmati pertunjukan itu.

“Baiklah,” ujar Bhumi akhirnya, memecah keheningan tipis di ruangan. “Selama hasilnya optimal, aku gak keberatan. Yang penting sistem kita sinkron dengan timeline yang disetujui.”

“Dan tidak ada yang saling ganggu secara personal,” timpal Bulan lembut, tapi jelas menyindir.

Liora menatapnya dengan senyum kecil penuh konspirasi, sementara Marvin hanya menghela napas dan menyeruput kopinya lagi.

Ruangan itu kembali dipenuhi suara ketikan, desiran pendingin udara, dan detak jam dinding yang terdengar terlalu pelan di tengah kesunyian profesional mereka. Namun di sela-sela itu — ada sesuatu yang bergerak diam: pandangan yang bertemu lebih lama dari seharusnya, tawa kecil yang muncul di sela pembahasan data, dan rasa yang mulai terbentuk di balik kata “koordinasi.”

Empat orang. Satu meja. Satu tujuan. Tapi masing-masing mulai kehilangan fokus — bukan karena pekerjaan, melainkan karena seseorang di seberangnya.

*

Bulan merapikan laptopnya pelan, menutup map laporan yang tadi baru selesai ditandatangani Bhumi.

“Mas Bhumi, aku ke basement dulu, ya,” ucapnya sambil berdiri. “Ada yang mau aku pastikan di server utama, sekalian ngecek koneksi ke jaringan cadangan.”

Bhumi yang sedari tadi masih duduk di kursinya menatap singkat ke arah Bulan.

“Sendiri?” tanyanya datar, tapi ada nada samar di sana — bukan ragu, lebih ke… refleks protektif yang sulit disembunyikan.

Bulan tersenyum kecil. “Iyah. Cuma sebentar, kok.”

Bhumi menutup laptopnya, berdiri, dan meraih jas yang tergantung di belakang kursinya.

“Sekalian aku ikut.”

Bulan menoleh pelan. “Hah? Lho, buat apa?”

“Ngecek juga,” jawabnya santai. “Aku belum lihat langsung ruang server-nya sejak sistem baru dipasang.”

Nada suaranya terdengar biasa — tapi tatapan matanya terlalu tenang untuk disebut ‘kebetulan’.

Bulan mengangkat satu alis, senyum kecil muncul tanpa bisa ditahan. “Yakin gak salah alasan?” tanyanya lembut.

Bhumi menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan suara rendah tapi jujur, “Kalau aku bilang iya pun, kamu bakal tetap berangkat sendiri, kan?”

Bulan tertawa kecil. “Kamu mulai bisa baca pola pikir orang sekarang, ya.”

“Belajar dari kamu,” sahutnya cepat, membuat Bulan refleks menunduk untuk menutupi senyum yang muncul.

Liora mendengus melihat pemandangan itu sementara Marvin hanya bisa tersenyum simpul melihat betapa sat setnya sahabatnya itu.

“Dah, cepetan ke ruang basement, malah main gombal gombalan disini” ejek Liora melihat kemesraan tipis antara Bhumi dan Bulan.

Bulan melotot menatap Liora, seolah tatapannya itu berbicara ‘Stop, Li’. Lalu Liora hanya tersenyum nyengir melihat Bulan yang hendak melabraknya.

Mereka berjalan keluar ruang koordinasi, langkahnya beriringan menyusuri koridor. Di luar, cahaya pagi menjelang siang dari jendela tinggi membuat bayangan mereka jatuh berdampingan di lantai marmer — satu tinggi, satu anggun, berjalan tenang ke arah lift.

Begitu pintu lift terbuka, Bhumi menahan panelnya dengan tangan sebelum Bulan masuk.

“Ladies first,” ucapnya ringan.

“Terima kasih, gentleman,” jawab Bulan dengan nada menggoda samar.

Begitu pintu tertutup, lift turun perlahan menuju basement. Keheningan di dalam ruang sempit itu terasa aneh — bukan canggung, tapi hangat. Suara mesin lift bergema pelan di antara mereka, sampai akhirnya Bhumi membuka suara lagi.

“By the way,” katanya sambil melirik sekilas, “kalau nanti sistemnya udah stabil, aku pengen kamu yang presentasi ke manajemen Arjuno langsung.”

Bulan menoleh, agak terkejut. “Aku?”

“Iya. Kamu yang paling ngerti strukturnya. Lagipula,” ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada datar tapi tulus, “aku pengen mereka tahu siapa otak di balik sistem ini.”

Bulan menatapnya lama, sedikit gugup, tapi senyum yang muncul kali ini tulus dan hangat.

“Kalimat pujian versi kamu selalu terdengar kayak briefing rapat, ya.”

Bhumi tersenyum kecil, pandangannya ke depan. “Ya udah, nanti aku belajar diksi yang lebih manis.”

Lift berdenting pelan — pintu terbuka, memperlihatkan koridor basement dengan cahaya putih dingin dan aroma logam dari ruang server. Bulan melangkah keluar duluan, masih dengan senyum yang belum hilang dari wajahnya. Bhumi mengikuti di belakang, tangannya otomatis menahan pintu agar tidak menutup terlalu cepat.

Dan entah siapa yang sadar duluan — tapi sejak pintu itu terbuka, langkah mereka selalu seirama.

**

Sementara di lantai tiga puluh, suasana meeting masih berlangsung — tapi kini jadi lebih… aneh.

Liora sibuk mengetik, sementara Marvin sesekali mengajukan pertanyaan dengan nada terlalu tenang untuk ukuran debat.

“Kalau sistem Arjuno dipakai di Nalendra property, apa kita bisa nyatuin database properti sama modul penjualan unit digital?”

“Bisa,” jawab Liora cepat, “asal kamu gak ubah sistem tengah jalan.”

Marvin menatapnya. “Aku fleksibel kalau alasannya logis.”

“Dan aku fleksibel kalau alasannya bukan ego.”

Arsen menepuk jidatnya pelan. “Ya ampun, ini dua orang kayak skrip film debat romantis.”

Namun saat Liora akhirnya menoleh, matanya bertemu dengan pandangan Marvin — dan untuk pertama kalinya, ia tidak menemukan kebekuan di sana. Ada sesuatu di tatapan itu. Sesuatu yang tidak perlu dijelaskan, tapi cukup untuk membuat jari Liora berhenti di atas keyboard.

**

Sementara itu, di basement ruang IT — suasananya jauh berbeda. Sunyi, dingin, dan penuh deretan server yang berpendar dengan lampu indikator hijau. Bulan berdiri di depan salah satu mainframe, tangannya lincah menavigasi sistem, sementara Bhumi berdiri di belakangnya, memperhatikan dengan tangan di saku celana.

“Arus data udah stabil?” tanya Bhumi, suaranya rendah tapi tenang.

Bulan menunduk sedikit, memperhatikan grafik di layar. “Udah. Tapi aku mau uji simulasi sekali lagi, takut ada delay di sisi response time.”

“Boleh,” sahut Bhumi pelan. “Aku tunggu.”

Bulan mengetik cepat, fokus penuh. Tapi tanpa bisa dikendalikan, kehadiran Bhumi di belakangnya terasa… kuat. Ada wangi sabun pria dan aroma kopi yang samar, berpadu dengan bunyi lembut mesin pendingin ruangan.

“Mas Bhumi,” panggilnya tanpa menoleh.

“Hm?”

“Kamu gak harus nunggu di sini, tauk.”

Bhumi bersandar di meja sebelah, menatap layar server. “Aku tahu. Tapi aku mau lihat sistemnya langsung. Sekalian nemenin kamu.”

Kalimat terakhir itu membuat Bulan berhenti mengetik sepersekian detik. Tangannya sempat kaku di atas keyboard, sebelum akhirnya ia menatap layar lagi dan berpura-pura fokus.

“Menemani? Kamu itu CEO, bukan QA tester.”

“Ya, tapi kamu kan lead project-nya. Masa aku gak boleh jadi asisten dadakan?”

Bulan tersenyum kecil, menunduk, suaranya turun nyaris seperti bisikan. “Asisten yang terlalu berkelas untuk dipanggil ‘asisten’.”

“Kalau kamu yang nyuruh, aku gak keberatan.”

Bulan menoleh cepat, dan Bhumi — seperti biasa — tampak tenang, tapi matanya hangat.

Tatapan yang tidak perlu dijelaskan. Yang cukup membuat jantung Bulan berdetak setengah kali lebih cepat dari biasanya.

“Mas Bhumi…” suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu sadar gak, kamu ngomong gitu kayak bukan bos?”

Bhumi tersenyum tipis. “Mungkin karena sama kamu, aku gak merasa harus selalu jadi bos.”

Dan di ruangan IT yang dingin itu, entah kenapa, udara terasa hangat sesaat. Server berdengung pelan, lampu-lampu kecil berkedip, tapi waktu seperti berhenti di antara dua orang yang diam tapi saling paham.

Setengah jam kemudian, Bhumi dan Bulan kembali ke lantai tiga puluh. Begitu pintu terbuka, mereka langsung disambut pemandangan klasik: Marvin dan Liora masih duduk bersebelahan, tapi kini dengan ekspresi yang lebih tenang, sementara Arsen tampak pasrah tapi lega.

Bhumi berjalan ke arah meja, menepuk bahu Arsen. “Masih hidup?”

“Fisiknya iya, Pak. Mentalnya agak goyah.”

Bulan tertawa kecil, lalu menatap sahabatnya. “Liora, kamu aman?”

Liora menjawab tanpa menatap. “Masih.”

Marvin menambahkan pelan, “Dan fokusnya mulai membaik.”

“Untung aja,” gumam Bhumi, duduk santai di kursinya. “Soalnya mulai besok, Bulan dan Liora akan resmi untuk uji coba tahap sinkronisasi final, dan kalo lo mau lihat lo bisa kerja dari sini lagi.”

Liora mendengus kecil. “Satu meja, satu tujuan, ya?”

Bhumi menatapnya dengan senyum samar. “Tepat.”

Marvin menatap layar, tapi matanya sempat melirik ke arah Liora. “Tujuan yang menarik.”

Liora menatap balik, nada suaranya pelan tapi tajam. “Tergantung siapa yang duduk di sebelahnya.”

Arsen hanya bisa menatap ke langit-langit, berbisik pelan, “Ya Tuhan, ini bakal jadi komedi romantis korporat.”

Dan di sudut ruangan, Bhumi menatap Bulan dengan senyum nyaris tak terlihat — seolah berkata tanpa suara: Satu meja, satu tujuan. Tapi satu hati… mungkin udah mulai bekerja sendiri.

**

Siang itu Arjuno Grand Hotel masih dalam mode sibuk. Tim Arjuno dan Global Teknologi udah siap di ruang koordinasi lantai tiga puluh, laptop menyala, layar besar penuh data, dan aroma kopi hitam tercium samar.

Marvin Nalendra — duduk di ujung meja, memperhatikan layar dashboard yang dipresentasikan Bulan dan Liora. Semuanya berjalan rapi, profesional… sampai lift di ujung ruangan berbunyi ting pelan.

Kemudian pintu terbuka. Dan muncullah seseorang yang membuat ketenangannya buyar seketika.

Satria. Asisten Marvin.

Assisten yang sebenarnya pintar, tapi punya kelemahan besar yaitu gampang terpanah.

“Selamat pagi, Pak Marvin,” sapanya sambil masuk. “Saya bawa dokumen perjanjian properti dari kantor pusat.”

“Taruh di meja,” jawab Marvin singkat, masih fokus pada layar.

Tapi mata Satria? Tidak fokus. Sama sekali tidak.

Ia berhenti di tengah langkahnya — matanya membulat, bibirnya setengah terbuka. Pandangan itu jelas bukan ke arahnya.

Dan begitu Marvin mengikuti arah tatapannya, Marvin tahu alasannya.

Rembulan Adreyna dan Liora Larasmita.

Dua kombinasi cantik yang bahkan server di ruang IT aja mungkin bisa hang kalau mereka lewat bareng.

Bulan sedang berdiri di sisi kanan meja dekat Bhumi, membetulkan posisi laptopnya, sedangkan Liora duduk di sebelah Marvin, mengetik cepat dengan ekspresi serius — tapi tetap mencolok dengan aura I’m beautiful and I know it.

“Pak…” suara Satria pelan, nyaris seperti bisikan. “Itu… dua orang itu… rekan kerja, ya?”

Marvin melirik dingin. “Kelihatannya begitu.”

“Yang satu… yang rambut panjang itu, siapa, Pak?”

“Rembulan Adreyna.”

“Yang satunya lagi?”

“Liora Larasmita.”

“Namanya aja udah cantik…” gumamnya pelan, nyaris berdoa. “Astaga… mereka nyata ya, Pak? Gak keluar dari iklan skincare?”

Marvin menatapnya datar. “Satria.”

“Iya, Pak?”

“Ambil nafas, hembuskan. Mereka manusia.”

“Tapi… boleh minta izin, Pak?”

“Ngapain?”

“Kalau bisa… kenalin, Pak.”

Kursi Liora berhenti bergeser. Ia menoleh. Bulan ikut menatap dengan senyum ramah. Dan Marvin tahu — ini akan berakhir dengan bencana kecil.

Satria — dengan berani yang keterlaluan — mendekat.

“Permisi, Mbak,” katanya sopan, tapi nada suaranya udah kayak aktor FTV. “Saya Satria, asisten Pak Marvin. Boleh kenalan?”

Bulan yang lembut itu, tentu aja, mengulurkan tangan lebih dulu. Tapi sebelum tangannya sampai…

Grep.

Tangan Bhumi — yang entah dari mana muncul di sisi meja — lebih cepat menjabat tangan Satria duluan.

“Bhumi Jayendra,” katanya datar tapi dengan senyum kecil yang… tidak menenangkan sama sekali.

Satria membeku. “Oh… e… iya, Pak…”

Marvin menahan tawa di balik tenggorokan. Tapi Liora sudah bersiap ikut menyambut.

“Kalau begitu,” katanya sambil berdiri, “perkenalkan juga, saya—”

Dan tanpa sadar, tangan Marvin yang terulur malah dijabat olehnya.

“Marvin Nalendra,” ucapnya datar. “Bosnya orang yang terlalu lancang ini.”

Satria refleks menarik tangannya cepat-cepat, wajahnya memucat.

“P-pak! Saya cuma—”

“—bermaksud baik?” potongnya pelan. “Biasanya kalimat itu diakhiri dengan masalah.”

Bulan menutup mulutnya, menahan tawa. Bhumi melirik Marvin sekilas, ekspresinya setengah geli setengah memperingatkan. Sementara Arsen di sudut ruangan… hanya bisa menepuk jidat pelan.

“Ya ampun,” gumam Arsen lirih, “solidaritas asisten hari ini resmi hancur.”

Satria menatap Marvin dengan wajah memohon ampun. “Pak Marvin, saya gak bermaksud kurang ajar, saya cuma—”

“—tergoda estetika, iya, saya tahu.”

“Estetika?” Bulan menatap ke arah Marvin dan Liora, tersenyum sopan. “Lucu banget istilahnya.”

“Gak lucu buat saya,” sahut Marvin pelan, “karena estetika yang satu ini mau bikin reputasi asisten saya runtuh di jam kerja.”

Liora menatap Marvin cepat, nada suaranya naik sedikit. “Eh, jangan gitu, Pak Marvin. Dia kan cuma kagum. Normal kali, lihat cewek cantik dikit langsung lemes.”

Marvin menatapnya, menahan senyum sarkas. “Jadi kamu bela dia?”

Liora mengangkat alis. “Ya iyalah. Kan bukan salah dia kalau refleks estetikanya bagus.”

Arsen nyaris tersedak air minum. Bhumi menghela napas, tapi jelas menahan tawa. Satria masih berdiri di tempat, tampak seperti menyesal lahir siang ini.

“Kalau gitu,” kata Marvin akhirnya, nada setengah dingin setengah sinis, “mulai sekarang, Satria, kamu latihan fokus dengan cara duduk di ruangan tanpa manusia cantik. Lihat spreadsheet aja.”

Satria langsung mengangguk cepat. “Siap, Pak. Saya latihan pake Excel aja.”

“Bagus,” ujarnya pelan. “Dan kalau kamu sampai kesemsem sama tabel pivot, baru kita bicarakan lagi soal promosi.”

Liora tertawa terbahak, Bulan menunduk sambil nyengir kecil, Bhumi memijat pelipis, sementara Arsen benar-benar menyerah.

“Pak Bhumi,” bisik Arsen pelan ke Bhumi, “Kalau saya kayak gitu, tolong kasi saya cuti, Pak.”

Bhumi menepuk bahunya. “Sabar, Sen.”

Dan Marvin? Hanya bersandar ke kursi, menatap kekacauan kecil itu dengan tatapan datar tapi sudut bibirku sudah naik sedikit.

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!