Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Seminggu setelah konfrontasi sengit di koridor, Han Jiya berangkat untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama satu bulan di sebuah desa terpencil. Bagi Jiya, ini adalah pelarian dari rasa sakit pengkhianatan yang ia yakini dilakukan oleh Yujin dan Lino. Setiap kilometer yang menjauhkan dirinya dari kampus terasa seperti mengurangi beban di hatinya, meski luka itu masih menganga.
Bagi Lee Lino, kepergian Jiya adalah kunci kebebasan yang ia tunggu-tunggu. Pintu telah terbuka, dan ia siap melangkah masuk ke dalam kekacauan yang ia ciptakan sendiri.
Lino berdiri di lobi kampus, menyaksikan bus yang membawa rombongan KKN Jiya melaju menjauh. Ia tidak melambaikan tangan, dan ia tidak merasakan penyesalan sedikit pun. Di matanya, Jiya hanyalah penghalang yang kini telah menyingkirkan dirinya sendiri. Ia bahkan tidak repot-repot berpura-pura sedih.
𝘚𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘢𝘵𝘬𝘶. 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘵𝘶𝘵 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘨𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘬𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘭𝘴𝘶. 𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘣𝘢𝘴, pikirnya, senyum licik terukir di bibirnya.
Lino mengeluarkan ponselnya. Ia memiliki dua target utama: menghancurkan Christopher dan menaklukkan Yujin. Dua tujuan yang saling terkait, seperti dua sisi dari koin yang sama.
Dengan Jiya di luar jangkauan komunikasi, ia tidak perlu lagi repot-repot menciptakan alibi tentang Ayahnya yang sakit atau laporan yang sibuk. Dunia telah menjadi panggung pribadinya, dan ia adalah sutradara yang kejam.
Lino berjalan santai melintasi halaman kampus, merasakan angin musim gugur yang dingin menyentuh kulitnya. Ia menghirup udara dalam-dalam, merasakan kebebasan yang memabukkan.
"Tiga bulan Christopher di Busan. Satu bulan Jiya di pedalaman. Yujin benar-benar sendirian, terisolasi, dan rapuh. Dia telah kehilangan pelabuhannya, dan kini dia kehilangan sahabatnya. Dia berada di titik terendah. Dan ini adalah waktuku untuk masuk," gumamnya pada diri sendiri, matanya berkilat-kilat.
Lino menyeringai. Ia tahu Yujin telah berusaha menjauhinya setelah pertemuan terakhir mereka. Yujin menghindari kantin yang biasa ia kunjungi, mengubah jadwal kuliahnya, bahkan mengungsi ke Butik Vanté. Setiap penolakan Yujin hanya membuatnya semakin bersemangat.
𝘉𝘢𝘨𝘶𝘴. 𝘗𝘦𝘳𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘳𝘪𝘬. 𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪, pikirnya, jemarinya menari di atas layar ponsel.
Lino membuka ponselnya. Ia memutuskan untuk melancarkan serangan pertamanya pada Christopher. Ia harus memastikan bahwa Christopher tidak akan pernah bisa kembali ke sisi Yujin.
Ia membuka draf email yang telah ia siapkan, yang berisi tuduhan plagiat, didukung oleh foto-foto yang ia curi dari ponsel Christopher dan beberapa dokumen yang ia manipulasi. Ia akan mengirimkannya kepada Dewan Etik dan Profesor di Departemen Arsitektur. Ia telah merencanakan ini dengan sangat hati-hati, memastikan bahwa tuduhan itu akan terlihat meyakinkan.
Tujuannya membuat Christopher ditarik dari magang dan dipanggil pulang untuk menghadapi skandal, sekaligus membuat Yujin merasa bersalah karena Christopher meninggalkannya. Ia ingin Yujin merasa bertanggung jawab atas kehancuran Christopher.
Lino menekan tombol kirim. Ia merasakan kepuasan yang dingin saat email itu melayang ke dunia maya, membawa kehancuran bersamanya.
Setelah menyelesaikan tugas pertamanya, Lino mengalihkan fokusnya sepenuhnya pada Yujin. Ia harus memastikan bahwa Yujin tidak akan pernah bisa melupakan dirinya.
Ia membuka chat Yujin, yang kini terasa begitu sepi. Yujin hanya merespons pesannya dengan jawaban satu kata atau emoji formal. Ia tahu bahwa Yujin berusaha keras untuk menjauhinya, namun ia tidak akan membiarkannya.
Lino memutuskan untuk mengabaikan upaya Yujin untuk menjaga jarak. Ia akan menggunakan taktik invasi yang lebih agresif dan tidak terduga. Ia akan membuat Yujin merasa bahwa ia tidak bisa melarikan diri darinya.
Lino segera melangkah ke Fakultas Desain, di mana ia tahu Yujin sedang mengikuti workshop praktik pola busana. Ia tahu bahwa Yujin akan merasa tidak nyaman dengan kehadirannya, dan itulah yang ia inginkan.
Ia tidak masuk ke ruang kelas, melainkan menunggu di luar. Setiap sepuluh menit, ia mengirim pesan kepada Yujin. Ia ingin membuatnya merasa diawasi dan tertekan.
Lino Lee:
Aku ada di luar. Aku melihatmu melalui jendela.
Lino Lee:
Kau terlihat cantik hari ini. Aku suka caramu mengikat rambut.
Lino Lee:
Kau butuh kopi? Aku akan membelikannya untukmu. Kau terlihat lelah.
Yujin, yang sedang fokus memotong kain, merasakan ponselnya bergetar tanpa henti. Ia melirik, melihat pesan-pesan Lino, dan rasa takutnya kembali muncul. Ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.
Ia menoleh ke jendela. Di sana, di dekat pohon pinus, Lino berdiri, mengenakan kacamata hitam, dengan santai menyilangkan tangan. Lino menatapnya. Tatapan itu tidak lagi tersembunyi, namun tatapan yang terang-terangan, posesif, dan menyeramkan.
Yujin segera membalik ponselnya ke bawah, hatinya berdebar tak karuan. Ia merasa telanjang dan tidak aman di dalam ruang kelasnya sendiri. Ia mencoba fokus pada pola kain, tetapi ia tidak bisa. Pikiran tentang Lino terus mengganggunya.
Ia merasakan tekanan psikologis yang luar biasa. Lino sengaja menciptakan atmosfer pengawasan, membuat Yujin sadar bahwa ia selalu berada dalam jangkauannya. Ia merasa seperti sedang berada dalam kandang, dan Lino adalah penjaganya.
Setelah workshop selesai, Yujin segera mengemasi barang-barangnya dan berjalan cepat. Ia berharap Lino tidak akan menunggunya, namun ia tahu bahwa itu hanya harapan kosong.
Lino tidak mencegatnya di depan pintu. Yujin merasa lega, tetapi kelegaan itu hanya berlangsung sesaat.
Lino muncul di tempat yang paling tidak terduga: area parkir sepi di belakang Butik Vanté. Ia tahu bahwa Yujin bekerja di sana, dan ia telah menunggu momen ini.
Yujin baru saja membuka pintu mobilnya, ketika Lino tiba-tiba muncul di sampingnya, menghalangi pintu mobilnya. Jantung Yujin berdegup kencang, dan ia merasa seperti sedang kehabisan napas.
"Aku tahu kau lari ke butik itu, Yujin," kata Lino, nadanya rendah dan intim. Ia menatap Yujin dengan tatapan yang intens dan menakutkan.
"Aku ada pekerjaan di sana, Oppa," Yujin berusaha bersikap tenang. Ia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya, namun ia tahu bahwa Lino bisa melihatnya.
"Tentu saja ada pekerjaan," Lino menyeringai. "Tapi itu tidak akan menghalangiku. Aku ingin kita makan malam. Malam ini. Aku ingin kita bicara secara terbuka tentang hubungan kita."
"Kita tidak punya hubungan, Oppa!" Yujin meninggikan suaranya, frustrasi. Ia tidak bisa mengerti mengapa Lino begitu terobsesi padanya.
"Tentu saja kita punya. Kau tidak bisa lari dari takdir kita, Yujin," Lino mendekat, tangannya menyentuh pintu mobil, menguncinya agar Yujin tidak bisa masuk. Ia ingin Yujin merasa terperangkap dan tidak berdaya.
"Kau harus tahu, aku sudah bebas. Jiya sudah pergi. Dan kau sendirian. Aku bisa menjadi apa pun yang kau mau. Kekasih, teman, atau bahkan kakak yang melindungimu dari dunia jahat ini," Lino berbisik, nadanya begitu meyakinkan. Ia tahu bahwa Yujin sedang mencari perlindungan, dan ia ingin menjadi orang yang memberikannya.
Yujin menatapnya, matanya dipenuhi ketakutan. Ia merasa seperti sedang berada di tepi jurang, dan Lino sedang berusaha mendorongnya jatuh. "Aku tidak mau kau menjadi apa-apa. Aku hanya ingin kau menjauh."
"Tidak bisa," Lino menggeleng. "Aku tidak akan menjauh. Aku mencintaimu, Yujin. Dan aku akan membuktikannya. Kau akan segera membutuhkan aku."
Lino kemudian melepaskan tangannya dari pintu mobil. Ia mundur dua langkah, memberikan ruang bagi Yujin untuk pergi, sebuah gestur yang licik. Ia ingin Yujin merasa bahwa ia memiliki pilihan, padahal sebenarnya tidak.
"Aku akan kembali besok pagi. Dan jika kau tidak mau keluar, aku akan menunggu di sana sampai kau setuju menemuiku," ancam Lino, nadanya santai. Ia ingin Yujin tahu bahwa ia tidak akan menyerah.
Lino berbalik dan berjalan pergi, meninggalkannya sendirian dalam ketakutan. Ia tahu bahwa ia telah berhasil menanamkan benih ketakutan di hati Yujin, dan ia akan terus menyiraminya sampai tumbuh menjadi pohon keputusasaan.
Yujin segera melompat ke kursi mobil, mengunci pintu, dan membiarkan air matanya mengalir deras. Perasaan terpojoknya kini total. Lino tidak lagi peduli dengan batasan, moral, atau pandangan orang lain. Kepergian Jiya telah memberinya kebebasan total untuk beraksi.
Yujin meraih ponselnya, ingin menelepon Christopher. Ia perlu perlindungan, ia perlu saran. Ia merasa seperti sedang tenggelam, dan Christopher adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkannya.
Saat ia membuka kontak Christopher, sebuah berita online kampus tiba-tiba muncul di layar ponselnya, berita dari Departemen Arsitektur.
𝗕𝗥𝗘𝗔𝗞𝗜𝗡𝗚: 𝗦𝗸𝗮𝗻𝗱𝗮𝗹 𝗣𝗹𝗮𝗴𝗶𝗮𝘁 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗰𝗮𝗻𝗴 𝗙𝗮𝗸𝘂𝗹𝘁𝗮𝘀 𝗔𝗿𝘀𝗶𝘁𝗲𝗸𝘁𝘂𝗿, 𝗠𝗮𝗵𝗮𝘀𝗶𝘀𝘄𝗮 𝗦𝗲𝗻𝗶𝗼𝗿 𝗖𝗵𝗿𝗶𝘀𝘁𝗼𝗽𝗵𝗲𝗿 𝗟𝗲𝗲 𝗗𝗶𝘁𝗮𝗿𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗿𝗼𝗴𝗿𝗮𝗺 𝗠𝗮𝗴𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗿𝗴𝗲𝗻𝗴𝘀𝗶.
Yujin membaca berita itu dengan mata membelalak, napasnya terhenti. Skandal. Plagiat. Christopher. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya merasa mual.
Kepalanya langsung berputar. 𝘐𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯. 𝘊𝘩𝘳𝘪𝘴𝘵𝘰𝘱𝘩𝘦𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶! Ia mengenal Christopher terlalu baik untuk mempercayai tuduhan itu.
Yujin merasa ada hawa dingin yang menusuknya, menyadari ada kaitan mengerikan antara ancaman Lino dan berita ini. Ia tahu bahwa Lino berada di balik semua ini.
.
.
.
.
.
.
.
ㅡ Bersambung ㅡ